Minggu, 01 April 2012

Sayyid Quthb


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sayyid Qutub merupakan salah satu mufassir kontemporer yang berusaha mensinergikan kekuatan penafsiran dan kebutuhan zaman atas pencerahan. Kecerdasan yang diimbangi oleh keteguhan iman membawa Sayyid Qutub pada ketajamannya menganalisa kondisi zamannya terutama masyarakatnya agar tak terbawa pada arus materialisme. Kajian tentang beliau semakin menarik tatkala ke-anti-baratannya bukan karena Sayid Qutub tidak mengenali betul barat namun justru karena ia mengenyam pendidikan di berbagai universitas barat dan berkunjung ke berbagai belahan dunia Amerika maupun Eropa.
Pengalaman, pendidikan, serta lingkungan dimana karakter Sayyid Qutub dibentuk sangat mempengaruhi pemikiran radikalisme kekanananya. Karya-karyanya terutama dalam bidang Tafsir sangat berpengaruh. Fi Dzilalil Qur’an adalah kajian Tafsir yang belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan dan zaman. Karena ketajaman dan ketegasan penafsirannya dalam menjawab tantangan dan penjajahan Barat terutama pada masanya.
B.     Rumusan Masalah
Kajian mengenai Sayid Qutub dan juga karya-karyanya sangatlah luas, karenanya penulis akan membatasi kajian ini pada dua garis besar yang akan dirumuskan sebagai berikut:
1.      Siapakah sebenarnya sosok Sayyid Qutub?
2.      Bagaimanakah karya Tafsir Fi Dzilalil Qur’an Sayid Qutub?

PEMBAHASAN
A.  Sekilas tentang Sayyid Quthb
Nama lengkapnya adalah sayyid Quthb Ibrahim Husain Syadzili. Lahir pada tanggal 09 Oktober 1906 di desa Musya, dekat kota Asyru, Mesir atas. Quthb adalah seorang kritikus sastra, novelis, pujangga, pemikiran Islam dan aktivis Islam Mesir paling terkenal pada abad ke-20. Beliau adalah anak sulung dari lima bersaudara, dengan seorang saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Ayahnya bernama Al-Hajj Quthb Ibrahim, seorang anggota al-Hizb al-Wathani (Partai Nasional), pimpinan Mushthafa Kamil. Meskipun keadaan keuangan keluarga Quthb sedang menurun pada saat dia lahir, keluarga ini tetap berwibawa berkat status ayahnya yang berpendidikan.
Quthb adalah anak yang cerdas, beliau mampu menghafal seluruh al-Qur’an pada usia sepuluh tahun. Nama Sayyid Quthb begitu akrab dengan gerakan Islam, memang tokoh ini amat popular dalam gerakan islam di Mesir bernama al-Ikhwan al-Muslimun, bahkan kepopulerannya mengungguli tokoh yang mendirikannya yaitu Hasan Al-Bana. Tulisannya yang menggebu mengandung citra yang kuat tentang penyakit masyarakat Islam kontemporer dan idealisasi iman melalui kata-kata teks suci.[1]
Quthb bersekolah di daerahnya selama 4 tahun. Usia 13 tahun Quthb dikirim untuk belajar ke Kairo. Beliau lulus dari Dar al-ulum dengan gelar S1 dalam bidang sastra. Pada tahun 1951 M ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah Mesir ke Amerika Serikat. Ia menenyam beberapa kampus favorit: Stanford University di California, Greenly Collage di Colordo, dan Wilson’s Teacher College di Washington.[2]
Sayyid Quthb adalah pemikir radikal sekaligus aktifis yang militan dalam gerakan islam modern kontemporer. Pemikirannya telah mempengaruhi para aktifis islam di berbagai dunia islam lainnya. Aktivitas dan pemikirannya telah membawa Ikhwanal Muslimin kedalam kancah gerakan yang amat diperhitungkan oleh rezim yang memerintah di mesir, sekaligus mengilhami berdirinya cabang-cabang Ikhwan di berbagai Negara, karya di baca oleh banyak kalangan, terutama para aktivis gerakan islam. Hampir semua karyanya berdimensi politis dan memggerakan kebangkitan.[3]
Militansi dan idealismenya membawanya turut aktif dalm gerakan Ikhwanul Muslimin. Hingga pada tahun 1945 saat Ikhwan berlawanan dengan revolusi pemerintah maka Sayyid Quthb menjadi orang urutan pertama yang ditangkap. Ia dan kelompoknya ditangkap dengan tuduhan akan membunuh Abdun Nashir. Mereka kemudian disiksa dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.setelah 10 tahun menjalani hukuman, Abdus salam Arif, pemimpin Irak pada tahun 1964 berupaya mendesak Abdu Nashir agar membebaskan sayid. Namun tak lama seteah keluar penjara, Sayid di dakwa dengan tuduhan lain yang mengharuskannya dan dua tokoh pergerakan lainnya di esksekusi. Yakni tuduhan konspirasi atau kudeta penggulingan kekuasaan pemerintah Mesir saat itu. [4]Maka pada tahun 1965 Sayid dan Abdul Fatah Ismail serta M. Yusuf Hawassy di hukum gantung dengan diiringi duka dari kaum muslim di berbagai belahan dunia. Perjuangan dan keberaniaannya menyingkap kebenaran dan keadilan yang seharusnya ditegakkan di negaranya mengispirasi jutaan umat Islam untuk bangkit melawan penjajahan dan kebodohan.

a.    Pemikiran kalam dan fiqh Quthb
Dalam pandangannya dalan tentang Islam menyatakan bahwa agama Islam berkepentingan untuk memacu pembaruan, peningkatan, dan pengembangan kehidupan. Beliau berkepentingan untuk mendorong seluruh potensi manusia agar dapat berkreasi, membesar dan meningkat. Selain itu Quthb juga berpendapat bahwa islam sama sekali tidak mengingkari adanya kelemahan manusia , tetapi pada waktu yang sama beliau juga menyatakan adanya kekuatan manusia, islam menuntut agar penganutnya selalu memperbesar kekuatan seraya memperkecil kelemahan. Beliau ingin meningkatkan dan memajukan harkat manusia, bukan menyetujui atau menghiasi kelemahan mereka. Ia mengharuskan umatnya agar mengikis habis kelemahan itu bila memang dirasakan.[5]
Adapun sikap sayyid Quthb terhadap fiqh, beliau menyatakan bahwa kita sekali-kali tidak terikat dan berpegang dengan fiqh Islam dalam menciptakan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan. Akan tetapi hanya terikat dengan syariat dan manhaj Islam karena fiqh merupakan sesuatu yang terpisah dari zaman.[6] Lebih jauh dan secara pasti apa aliran fiqh yang beliau anut, penulis belum menemukan referensinya. Bagaimanapun sayyid Quthb sangat sepakat dengan terbukanya pintu ijtihad termasuk dalam hal fiqh.

b.   Karya-karya Sayyid Quthb
Karya-karya beliu selain beredar di Negara-ngara islam, juga beredar dikawasan Eropa, Afrika, Asia dan Amerika. Dimana terdapat pengikut-pengikut Ikhwanul Muslimin, hamper dipastikan disana ada buku-buku Quthb, karna belliu adalah tokoh Ikhwan terkemuka. Diantara karya-karyanya adalah:
1.      Fi Zhilalil Qur’an, cetakan pertama juz pertama terbit oktober 1953.
2.      Ma’alim fith-thariq
3.      Asywak, terbit tahun 1947
4.      Muhimmatus Sya’ir fil hayyawa syi’ir jailal-hadir, terbit tahun 1933
5.      As-salam al-islami wa al-islam, terbit tahun 1951[7]

B.            Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Pada mulanya penulisan tafsir oleh Quthb dituangkan di majalah al-Muslimun edisi ke-3, Yang terbit pada Februari 1952. Quthb mulai menulis tafsir secara serial di majalah  itu, dimulai dari surah al-fatihah dan di teruskan dengan surah al-Baqarah dalam episode-episode berikutnya.[8]
Dalam pengantar tafsirnya, Quthb  mengatakan bahwa hidup dalam nauangan al-Qur’an itu suatu kenikmatan. Sebuah kenikmatan yang tidak di ketahui kecuali oleh orang yang telah merasakannya suatu kenikmatan yang mengangkat umur (hidup), memberkatinya dan menyucikannya. Quthb merasa telah mengalami kenikmatan hidup di bawah naungan al-Qur’an itu, sesuatu yang belum dirasakan sebelummya.[9]
Jadi judul Tafsir Sayyid Quthb merupakan cermin pemikiran serta perasaannya akan al-Qur’an ketika beliau merasakan hidup dibawah naungannya dan beliau hendak mengatakan kepada kita melalui judulnya bahwa sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an mempunyai naungan yang rindang dibalik makna-maknanya.[10]
a.              Tujuan  penulisan
a)    Menghilangkan jurang yng dalam antara kaum muslimin sekarang ini dengan al-Qur’an
b)   Mengenalkan kepada kaum muslimin sekarang ini pada fungsi amaliyah harakiyah al-Qur’an.
c)    Membekali orang Muslim sekarang ini dengan petunjuk amaliah tertulis menuju ciri-ciri Islami yang Qur’ani.
d)   Mendidik orang muslim dengn pendidikan Qur’ani yang integral; membangun kepribadian yang Islam yang efektif , menjelaskan karakteristik dan ciri-cirinya, factor-faktor pembentukan dan kehidupannya.
e)    Menjelaskan ciri-ciri masyarakat Islami yang di bentuk oleh al-Qur’an, mengenalkan asas-asas yang menjadi pijakan masyarakat Islami, menggariskan jalan yang bersifat gerakan dan jihad untuk membangunnya.[11]

b.         Sistematika penulisan Tafsir
Dalam sistematika penulisan Tafsirnya, Sayyid Quthb terlebih dahulu mengabstraksikan sekumpulan ayat yang akan di tafsirkan. Lalu kemudian menerangkan ayat-ayat tersebut dan memberinya sub-sub judul. Pengelompokan ayat-ayat dalam suatu penafsiran ini dikarenakan masih terdapat munasabah antara ayat sebelum atau sesudahnya. Dalam bahasa Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi Sayyid Quthb  memberikan suatu prolog yang menjelaskan tema surat dan jawaban persoalan-persoalajnnya juga tujuannya. Lalu menjabarkan kata perkata dan menomorduakan israiliyat.[12]

c.         Metode dan Sumber penafsiran
Sayyid Quthb mengambil metode penafsiran dengan Tahili/tartib mushafy. Sedangkan sumber penafsiran terdiri dari dua tahapan yakni: mengambil sumber penafsiran bil ma’tsur, kemudian baru menafsirkan dengan pemikiran, pendapat ataupun kutipan pendapat sebagai penjelas dari argumentasinya.[13] Meskipun secara garis besar Tafsir beliau termasuk bersumber pada bil ra’yi karna muatan pemikiran social masyarakat dan sastra yang cenderung lebih banyak. Selain kedua sumber tersebut, beliau juga mengambil referensi dari berbagai dsiplin ilmu, yakni sejarah, biografi, fiqh, bahkan social, ekonomi, psikologi, dan filsafat.

d.         Corak Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an masuk dalam kategori penafsiran dengan corak baru yang khas dan unik serta langkah baru yang jauh dalam Tafsir serta memuat banyak sekali tema penting --yang juga dimuat oleh para mufassir terdahulu-- serta menambahkan hal-hal mendasar yang esensial. Karenanya Tafsir Fi zhilalil qur’an dapat dikategorikan sebagai aliran (faham) khusus dalam Tafsir yang disebut “aliran Tafsir pergerakan”. Ini disebabkan metode pergerakan –metode relistis serius—tidak ada selain pada Zhilal.[14] Dengan kata lain, sebagaimana para reformis sebelumnya, M. abduh maupun Rasyid Ridha corak yang terdapat dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an juga mengandung unsur corak adaby ijtima’I yakni sastra dan social kemasyarakatan.

e.         Karakteristik Tafsir
Karakteristik yang menonjol yang dalam penafsiran Sayyid Quthb ialah nuansa sastranya yang kental selain dari konsep-konsep dan motivasi pererakan dan Hida’inya. Lebih jauh dari itu Sayyid Quthb berusaha membumikan al-Qur’an melalui analog-analogi yang terjadi di masyarakat saat itu. Perjuangan dan pembebasan dari segala tirani merupakan sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan umat Islam. Jadi ada satu pendekatan dilakukan Sayyid Quthb dalam Tafsirnya yakni bagaimana sastra yang merupakan unsur mukjizat al-Qur’an mampu mempengaruhi kaum Muslimin dan memotivasinya untuk bangkit dan berjuang.

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sayyid Quthb lahir pada tanggal 09 Oktober 1906 di desa Musya, dekat kota Asyru, Mesir atas. Sayyid Quthb adalah seorang ulama islam kontemporer dan juga aktivis yang turut memperjungkan negararanya dari kalangan penjajah barat. Sayyid Quthb adalah pemikir radikal sekaligus aktifis yang militan dalam gerakan islam modern kontemporer. Pemikirannya telah mempengaruhi para aktifis islam di berbagai dunia islam lainnya
Karya Tafsirnya juga tak kalah berpengaruh yakni Fii Zhilalil Qur’an yang sebagian besar terinspirasi dari kondisi sosiaal masyarakat pada masanya. Metode yang digunakan ialah Ijmali dengan tartib mushafi. Sedangkan coraknya ialah adaby ijtima’i. Adapun sumber penafsiran ialah bil ma’tsur dan bil ra’yi. Kemudan sistematika pnulisan ialah dengan memberi prolog pada awal surat dan mengelompokkan beberapa ayat yang berkaitan untuk kemudian diterjemahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khalidi, Shalah Abdul Fatah. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Penj: Salafuddin Abu Sayyid. Surakarta: era Intermedia, 2001
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. Ulumul Qur’an, penj: amirul Hasan an M. Halabi, Yogyajarta: Titian Olahi Pres, 1996
Esposito, John L.  Ansiklopedi Islam Modern, jilid 5. Bandung: Mizan 2001
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008
Hidayat, Nuim. Sayyid Quthb Biografi dan kejernian pemikirannya. Jakarta: Gema Insani 2005
Saefuddin, Didin. Pemikiran Modern dan Post-Modern Islam. Jakarta: PT. Grasindo , anggota Ikapi 2003
Qardhawi, Yusuf,  Ijtihad Kontemporer, penj: Abu Barzani, surabaya: Risalah Gusti, 1995


[1] John L. Esposito. Ensiklopedi Islam Modern, jilid 5 (Bandung: Mizan 2001)
[2] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008, hal: 183)
[3] Didin saefuddin. Pemikiran Modeern dan PostModern Islam ( Jakarta: PT. Grasindo , anggota Ikapi 2003), hal 111-112
[4] Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Penj: Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: era Intermedia, 2001, hal: 31-34)
[5] Didin saefuddin. Pemikiran Modeern dan PostModern Islam … hal. 111
[6] Yusuf Qardhawi, ijtihad Kontemporer, penj: Abu Barzani, (surbaya: Risalah Gusti, 1995, hal: 173)
[7]Nuim Hidayat, Sayyid Quthb Biografi dan kejernian pemikirannya. ( Jakarta: Gema Insani 2005), hal. 21-24
[8] Nuim Hidayat, Sayyid Quthb Biografi dan kejernian pemikirannya… hal. 25
[9] Nuim Hidayat, Sayyid Quthb Biografi dan kejernian pemikirannya… hal. 27
[10] Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Penj: Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: era Intermedia, 2001, hal: 116)
[11] Nuim Hidayat, Sayyid Quthb Biografi dan kejernian pemikirannya. ( Jakarta: Gema Insani 2005), hal. 27-29
[12] Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an, penj: amirul Hasan an M. Halabi, (Yogyajarta: Titian Olahi Pres, 1996, hal: 215-216)
[13] Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Penj: Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: era Intermedia, 2001, hal: 116)
[14] Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,… hal: 346

Senin, 19 Maret 2012

Resume Pengertian dan Sejarah Tafsir




Tafsir secara bahasa ialah penjelasan atau keterangan. Kata Tafsir mulai muncul secara istilah dikalangan para ulama Tafsir sebagai sebagai Ilmu yang diperlukan dalam memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW, menerangkan serta menjelaskan alqur’an tersebut juga membahas hokum serta hikmahnya. Inilah pengertian yang dijabarkan oleh Zarkasyi.  Sedangkan para ulama Tafsir lain mendefinisikan bahwasanya Tafsir ialah: Ilmu yang membahas tentang segala sesuatu tetang Al-Qur’an dari sisi dilalahnya (sebagai landasan dasar atas dalil) sesuai dengan kemampuan manusia (yang menafsirkannya).
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
Dalam sejarah perkembangan Ilmu Tafsir ketika telah menjadi disipin ilmu tersendiri dalam Islam, maka Tafsir mengalami berbagai pertanyaan, pemikiran bahan tak jarang juga perdebatan. Terutama pada saat menafsirkan ayat-ayat yang di anggap sulit dan belum ada keterangan baik secara riwayat maupun tertulis dari Nabi Muhammad. Sebagaimana diketahui, penafsiran Nabi mengenai al-Qur’an yang berupa riwayat dan sampai pada masa-masa setelahnya tidak sampai seperempat dari jumlah ayat Al-qur’an. Disinilah terletak perdebatan itu atau menurut penulis, rasa ingin tau bagaimana Nabi menafsirkan sejumlah ayat lain.
Setidaknya ada dua pendapat mengenai apakah Nabi menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an atau sebagian saja.  Pendapat pertama yang juga merupakan pendapat Ibn Taimiyah ialah bahwa al-Qur’an sudah ditafsirkan secara keseluruhan pada masa Nabi dengan berbagai argumentasi dan dalil:
وانزلنا اليك الذكرى لتبين للناس ما نزل اليهم ولعلهم يتفكرون
Penjelasan Nabi mengenai alQur’an mencakup dua hal, yaitu: pertama, penjelasan makna-makna dan kedua, lafadz-lafadz yang terkandung dalam al-Qur’an. Artinya Rasul saw diperintahkan untuk menjelaskan al-Qur,an baik secara lafadz maupun makna karena jika Nabi belum menjelaskan seluruhnya maka berarti Nabi tidak menjalankan perintah yang dibebankan kepadanya. Argumentasi lainnya ialah bahwa dalam mengkaji al-Qur’an para sahabat tidak mau menambah kajiannya satu ayatpun sebelum memahami dan mengamalkan ayat yang sedang dipelajari. Bahkan sampai pada ayat terakhir yyang diturunkan Allah yaitu ayat tentang riba, Umar meriwayatkan Nabi menafsirkannya. Ini merupakan beberapa argumentasi kelompok yang menyatakan bahwa Nabi saw telah menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an meski yang sampai pada kita secara data hanya sedikit saja.
Kelompok pertama termasuk al-Thufi menyatakan bahwa Nabi hanya menafsirkan ayat-ayat tertentu untuk memberi peluang bagi umat Islam untuk mamahami dan bahkan menafsirkannya dan agar al-Qur,an sholih likulli zaman wa makan. Menurut yang berpegang pada pendapat ini juga bahwa tidak ada perintah yang secara jelas menyatakan bahwa Nabi saw harus menjalaskan keseluruhan al-Qur’an. Nabi juga pernah mendoakan Ibnu Abbas agar I diberi pemahaman agama dan takwil/tafsir. Argumentasi terakhir ialah bahwa memang data yang sampai pada kita hanya sedikit, ini menunjukkan bahwa Nabi memang tidak menafsirkan keseluruhan ayat al-Qur’an.
Menyikapi kedua hal yang terlihat kontradiksi diatas, penulis berpandangan bahwa sebenarnya kedua pendapat tersebut dapat diselaraskan. Dengan beberapa sudut pandang:
-          Saat zaman Nabi saw memang Nabi saw telah menjelaskan keseluruhan ayat sebagaimana kebutuhan umat Islam saat itu, mengingat berbagai permasalahan sampai yang mendetailpun telah diselesaikan oleh Nabi maka al-Qur’an tidak mungkin tidak. Karna tujuan diutusnya Nabi ialah menyampaikan risalah Allah swt. Meskipun begitu dokumentasi bukanlah hal yang sangat urgen untuk dipikirkan umat Islam mengenai penafsiran-penafsiran Nabi saw mengenai al-Qur’an karna dapat merujuk langsung kepada Nabi saw dan berinteraksi secara langsung. Sehingga penafsiran Nabi yang sampai pada generasi setelahnya hanya sedikit.
-          Bagaimanapun, meski al-Qur’an telah dimaknai secara keseluruhan oleh Nabi saw, persoalan-persoalan yang baru tumbuh dan timbul. Al-Qur’an juga memerlukan interpretasi yang sesuai dengan kondisi zaman dengan begitu al-Qur’an menjadi sholih likulli zaman wamakan. Bahwa ada hal yang bersifat aqidah dari penafsiran Nabi saw yang tidak dapat diubah dan ada yang dapat diubah jika berkaitan dengan social politik yang ada dimana umat Islam berada. Karenanya meskipun telah ditafsirkan oleh Nabi saw secara keseluruhan (apalagi data yang sampai hanya sedikit) maka tetap perlu upaya untuk merevitalisasi pemahaman umat Islam atas teks dalam hal kemashlahatan.
Disinilah kemudian pemahaman teks dan konteks diperlukan dalam rangka menjelaskan dan memupus keraguan terhadap penafsiran Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana kita tahu bahwa Nabi Muhammad saw adalah orang Quraisy yang lahir dan tinggal di Tanah Arab ataupun Timur Tengah. Bahasa arab bukanlah hal yang patut untuk diperselisihkan karena masing-masing orang Arab memahami bahasa Arab dan cita rasa kebahasaannya sebagaimana orang Indonesia memahami bahasa dan cita rasa kebahasaan indonesianya.
Jadi penjelasan yang mendetail sebagaimana perkembangan Tafsir sekarang tidaklah begitu diperlukan apalagi dituliskan mengingat setiap orang Arab memahami bahasa Arab mereka . hanya sedikit saja para sahabat menuliskan keterangan dan penjelasan Nabi tentang al-Qur’an. Secara logika ini masuk akal, karena Nabi sendiri tidak secara khusus misalnya mengintruksikan agar penjelasannya tentang al-Qur’an dituliskan bahkan hal tersebut dilarang kecuali sedikit orang. Dari segi sejarah social juga, ketika terjadi kesulitan memahami al-Qur’an, maka para sahabat tersebut langsung bertanya kepada Nabi dan berdiskusi tanpa menunggu sekertaris Nabi untuk kemudian keterangan Nabi tersebut dicatat misalnya. Jadi, hal yang tidak tertulis mengenai mengenai penafsiran Nabi terhadap al-Qur’an ialah karena pada saat itu bahasa Arab sudah maklum.
Nabi adalah penjelas atau Mufassir pertama yang mengetahui maksud dari ayat-ayat al-Qur’an. Nabi belajar langsung dari malaikat mengenai makna dan maksud dari suatu ayat karenanya sudah sepantasnya dan logis jika penafsiran Nabi merupakan penafsiran yang paling otoritatif. Sahabat tidak demikian, meskipun hanya dalam ruang lingkup Arab, banyak juga kata-kata bahasa arab yang dimengerti suku tertentu kadang kurang dimengerti yang lain. Disinilah kemudian mereka belajar langsung dari Nabi saw dan meminta penjelasan. Namun belakangan setelah wafatnya Nabi dan meluasnya wilayah ke-Islam-an umat Islam maka semakin beragam orang mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an. Dengan tidak menguasai bahasa Arab dengan baik maka lahirlah pemaknaan-pemaknaan dan istilah baru yang semakin meluas untuk menyesuaikan dengan bahasa masing-masing Negara diluar jazirah Arab. Inilah yang menyebabkan berbeda bahkan bertambahnya pemaknaan baru yang kadang tidak sesuai dengan bahasa Arab asli ataupun maksud al-Qur’an dan secara otomatis penafsiran terhadap al-Qur’an semakin berkembang.
TAHAP PERTAMA PENAFSIRAN
Pada tahap pertama penafsiran ini telah dimaulai sejak masa Nabi Muhammad saw sampai pada masa sahabat. Dasar penafsiran yang dapat dirumusakan diantaranya ialah yang pertama ialah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an. Penafsiran dengan menggunakan al-Qur’an merupakan penafsiran dengan derajat yang paling tinggi karena penjelasan antar ayat dalam al-Qur’an sebenarnya masih saling terkait, sebagaimana contoh:
`ÏiB ¾Ïmͬ!#uur æL©èygy_ 4s+ó¡ãƒur `ÏB &ä!$¨B 7ƒÏ|¹ ÇÊÏÈ   ¼çmã㧍yftFtƒ Ÿwur ߊ%x6tƒ ¼çmäóŠÅ¡ç ÏmÏ?ù'tƒur ßNöqyJø9$# `ÏB Èe@à2 5b%s3tB $tBur uqèd ;MÍhyJÎ/ ( ÆÏBur ¾Ïmͬ!#uur ë>#xtã ÔáŠÎ=yñ ÇÊÐÈ  
16. di hadapannya ada Jahannam dan Dia akan diberi minuman dengan air nanah,
17. diminumnnya air nanah itu dan hampir Dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi Dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada azab yang berat.
Rasul saw menjelasan tentang 7ƒÏ|¹ &ä!$¨B adalah dengan  $VJŠÏHxq ä!$tB
ã@sW¨B Ïp¨Ypgø:$# ÓÉL©9$# yÏããr tbqà)­GßJø9$# ( !$pkŽÏù ֍»pk÷Xr& `ÏiB >ä!$¨B ÎŽöxî 9`Å#uä ֍»pk÷Xr&ur `ÏiB &ûtù©9 óO©9 ÷Ž¨tótGtƒ ¼çmßJ÷èsÛ Ö»pk÷Xr&ur ô`ÏiB 9÷Hs~ ;o©%©! tûüÎ/̍»¤±=Ïj9 ֍»pk÷Xr&ur ô`ÏiB 9@|¡tã y"|ÁB ( öNçlm;ur $pkŽÏù `ÏB Èe@ä. ÏNºtyJ¨V9$# ×otÏÿøótBur `ÏiB öNÍkÍh5§ ( ô`yJx. uqèd Ó$Î#»yz Îû Í$¨Z9$# (#qà)ßur ¹ä!$tB $VJŠÏHxq yì©Üs)sù óOèduä!$yèøBr& ÇÊÎÈ  
15. (apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada beubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak beubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?
Rasul saw juga menjelasan tentang 7ƒÏ|¹ &ä!$¨B dengan ayat lain:
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%ÏŠ#uŽß  4 bÎ)ur (#qèVŠÉótGó¡o (#qèO$tóム&ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 š[ø©Î/ Ü>#uŽ¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB  
29. dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Dasar penafsiran yang kedua ialah al-Qur’an dengan hadits Nabi saw, dan hal ini juga bernilai marf’ mengingat bahwa apa-apa yang diucapkan Nabi saw (kecuali hal duniawi) ialah wahyu, dan fungsi dari hadits sendiri selain sebagai penjelas al-Qur’an ia juga merupakan penguat al-Qur’an. Sebagaimna contoh penafsiran ayat dengan hadits qudsi:
(#qä9$s%ur xsƒªB$# ª!$# #V$s!ur 3 ¼çmoY»ysö7ß ( @t/ ¼ã&©! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( @@ä. ¼ã&©! tbqçFÏ^»s% ÇÊÊÏÈ  
116. mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.
Ayat diatas ditafsirkan dengan menggunakan hadits qudsi oleh Nabi saw;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال
                إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ كَذَّبَنِي عَبْدِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ لِيُكَذِّبَنِي وَشَتَمَنِي عَبْدِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَتْمِي فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَيَقُولُ لَنْ يُعِيدَنِي كَالَّذِي بَدَأَنِي وَلَيْسَ آخِرُ الْخَلْقِ أَهْوَنُ عَلَيَّ أَنْ أُعِيدَهُ مِنْ أَوَّلِهِ فَقَدْ كَذَّبَنِي إِنْ قَالَهَا وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَيَقُولُ اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا أَنَا اللَّهُ أَحَدٌ الصَّمَدُ لَمْ أَلد
“Sesungguhnya Allah azza wa Jalla berfirman: ‘keturunan Adam mendusta-Ku dan tidaklah benar baginya hal itu, ia mencercaku dan tidaklah benar baginya hal itu’. Adapun pendustaannya kepada-Ku ialah kata-katanya: “tidak akan Ia mengembalikanku sebagaimana Ia menciptakanku, padahal bukanlah penciptaan pertama lebih mudah padaku dari pengembaliannya”. Adapun cercaannyya kepada-Ku ialah kata-katanya bahwa “Allah mengambil seorang putra” padahal Akuah Yang Esa, Maha Tumpuan, tak memperanakkan dan diperanakkan, dan tidak ada satu pun bagi-Ku tandingan.’”
Dasar penafsiran yang ketiga ialah dengan ijtihad dan kemampuan istinbath. Apabila para sahabat sepeninggal Nabi saw tidak dapat menemukan solusi permasalahan yang muncul dari al-Qur’an dan hadits maka para sahabat sebagaimana perintah dalam hadits Nabi saw berijtihad dengan nalar. Bahasa Arab dan juga segala aspek penguasaan dalam kebahasa-an yang teah dikuasai --karna asal mereka yang asli Arab juga-- mempermudah sahabat untuk semakin mendalami makna yang tersirat dalam al-Qur’an. Diantara para sahabat yang melakukan ijtihad ini ialah: empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibbnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abudullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan termasuk Aisyah istri Nabi Muhammad saw.
Empat nama sahabat yang dikenal ahli tafsir dari kalangan sahabat: Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Ubay bin Ka’ab. Meskipun tafsir dari kalangan sahabat mempunyai nilai tersendiri bahkan marfu’ (disandarkan pada rasul saw) menurut jumhur, namun para ulama berbeda pendapat mengenai status hukum yang disandarkan kepada para sahabat ini. Jika mengenai hal yang bersifat periwayatan semisal asbab nuzul, maka termasuk kategori marfu’, namun jika telah memasuki wilayah bil ra’yi maka masuk kategori mauquf (terhenti) pada masa sahabat saja selama tidak disandarkan pada Rasulullah saw.
Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir dari kalangan sahabat meskipun bersifat ra’yi tetap harus dipertimbangkan dalam melakukan penafsiran, karena bagaimanapun sahabat ialah orang terdekat Nabi saw yang mengetahui persis bagaimana perjalanan kisah dan keilmuan al-Quran Nabi saw. Selain itu, para sahabat ialah asli orang Arab yang mengerti cita rasa bahasa Arab terutama dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun sebagian lain menyatakan bahwa ijtihad sahabat ialah sama dengan ijtihad para mujtahid dan mufassir setelahnya bahkan sekarang jadi tidak mengharuskan untuk mengambil referensi dari para sahabat.
Secara umum, karakteristik Tafsir Masa Nabi dan Sahabat adalah: (1) Al-Qur’an belum ditafsirkan seluruhnya. Karena pada masa Nabi hidup, ketika sahabat tidak tahu makna ayat, ia langsung tanya pada Nabi. (2) Perbedaan dalam penafsiran belum banyak. Karenanya tidak terjadi banyak perselisihan dalam Tafsir. (3) Penafsirannya Ijmaly/global. Permasalahan yang ada juga masih bersifat umum dan tidak sekompleks masa setelah Nabi saw bahkan sekarang (4) Bila ada penjelasan kebahasaan, itu singkat aja. Mengingat tiap orang dimana al-Qur’an ialah orang Arab asli yang mengenal bahasa mereka dengan baik, kecuali dalam beberapa kata-kata yang terkadang merupakan bahasa yang dipahami sebagian suku saja. (5) Jarang dilakukan istimbath Ilmy lil Ahkam Syariyah. Dan Istimbtah Hukum di sini belum terpengaruh perbedaan madzhab fiqh. Karena selain belum ada perpecahan madzhab aqidah dan bahkan fiqh, para sahabat juga belum menyusun Tafsir dalam kajian tersendiri. Tafsir masih merupakan cabang dari ilmu Hadits.
Dasar penafsiran yang terakhir ialah Ahlul Kitab. Hal ini seenarnya telah terjadi dimasa Nabi saw. Karenanya ada sebuah Hadits yang meriwayatkan bahwa jika memang kisah-kisah Yahudi-Nashrani sesuai dengan al-Qur’an maka dperbolehkan membenarkannya, jika tidak ada dalil dalam al-Qur’an maupun hadits maka diperintahkan untuk mendiamkannya (tidak membenarkan maupun menyalahkan) dan jika terbukti bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadits Nabi saw maka haram untuk diikuti.
TAHAP PENAFSIRAN KEDUA
Sebagaimana diketahui bahwa rasulullah saw menafsirkan sesuai dengan kebutuhan umat dimasanya dengan kondisi sosial politik yang permsalahannya juga belum begitu kompleks. Seiring dengan perkembangan waktu dan penyebaran umat Islam ke berbagai belahan dunia non- Arab, maka angka kesulitan memahami bahasa arab pun bertambah. Hal inilah yang kemudian memunculkan suatu disiplin ilmu Tafsir dalam kategori ilmu ke-al-Qur’an-an secara terpisah. Pada masa sahabat telah banyak sahabat yang menafsirkan al-Qur’an semisal Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Ubay bin Ka’ab. Penafsiran para sahabat ini kemudian dikaji dan didalami dan bahkan ditambahi oleh Tabi’in. Kajian Tafsir menjadi semakin diperlukan dan diminati oleh umat Islam dari berbagai penjuru. Dasar Penafsiran periode ke-dua ini ialah sama dengan pada masa Nabi saw, hanya saja ditambah dengan Tafsir pada masa Sahabat.
Semakin meluasnya wilayah Islam membawa para sahabat dan tokoh-tokoh Islam membawa mereka untuk menyebar dan mengajarkan berbagai ilmu ke-Islam-an di daerah-daerah taklukannya. Dari para Ulama yang menyebar inilah lahir diantaranya Tafsir-tafsir Tabi’in yang kemudian menjadi berbagai madzhab atau perguruan Tafsir. Di Makkah isalnya berdiri perguruan Ibnu Abbas. Diantara muridnya yang terkenal ialah Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Thawus bin Kaisan, ‘Ata’ bin Abi Rabah. Di Madinah, Ubai bin Ka’ab sangat terkenal ahli dalam Tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang tafsir juga dirujuk ole generasi sesudahnya. Diantara muridnya yang terkenal ialah Zaid bin Aslam, Abu aliyah dan Muhammad bin ka’ab al-Qurazi. Sedangkan di Irak, berdirilah perguruan Tafsir Ibn Mas’ud yang dinilai para Ulama sebagai bibit dari madzhahb ahl ra’yi. Diantara murd dari kalangan tabi’in yang terkenal ialah ‘alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bn Yazid, Murrah al-Hamazi, Amir asy-sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Begitu pesatnya perkembanan Tafsir sehingga banyak Tafsir pada masa Tabi’in ini bermunculan. Akan tetapi dalam hal memandang bahwa apakah Tafsir masa Tabi’’in dapat diikuti atau tidak, para Ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa Tafsir Tab’in tidak dapat diikuti karena mereka tidak menyaksikan seara langsung konteks turunnya al-Qur’an, sehngga kekeliruan itu sangatlah mungkin mengingat wilayah kekuasaan yang semakin meluas juga menimbulkan pemahaman atas bahasa Arab asli semakin berkurang. Namun bagi yang berpendapat bahwa tafsir tabi’in dapat dipegang ialah karena mereka menerima langsung dari sahabat. Bagaimanapun pendapat yang paling kuat ialah bahwa jika para Tabi’in sepakat dalam suatu penafsiran, maka sudah barang tentu hal tersebut mendekati kebenaran jadi umat Islam mesti mengikutinya.
Sedangkan Ibn Taimiyah berkata: bahwasanya syu’bah bin Hajjaj: “pendapat para Tabi’’in bukanlah Hujjah” namun jika memang mereka bersepakat terhadap suatu pendapat maka hal tersebut ialah Hujjah. Jika tidak (hal ini berlaku pada masa Tabiin maupun sesudahnya) maka dikembalikan pada bahasa al-Qur’an, sunnah, keumuman bahasa Arab dan juga pendapat sahabat.
Karakteristik Tafsir Tabi’in: (1) Mulai banyak terpengaruh oleh Israiliyyat dan penafsiran orang-orang Nashrani. Hal ini terjadi karena para Tabi’in ingin mengkaji dan mengumpulkan informasi yang lebih banyak mengenai segala sesuatu tentang al-Qur’an danbanyaknya para rahib dan juga golongan non-muslim yang masuk Islam atau sekedar berinteraksi langsung dengan umat islam menyebabkan timbul dialog satu sama lain. (2) Tafsir masih didominasi dengan cara talaqqi dan riwayah. Meski manambahkan informasi dari berbagai pihak termasuk luar Islam, namun hal tersebut masih bersifat riwayat. Adapu periwayatan dari para Sahabat juga menjadi pegangan Tabi’in. (3) Mulai muncul pengaruh perbedaan madzhab dalam penafsiran. Hal ini disebabkan kondisi sosial politik yang Umat islam yang mulai terpecah terutaa pasca pemerintahan Ali bin Abi Thalib-Muawiyah. Kondisi keterpecahan umat mulai menimbulkan terjadinya banyak perbedaan dalam penafsiran.
TAHAP KETIGA PENAFSIRAN
Masa pembukuan Tafsir dimulai seja akhir dinasti Umaiyah dan awal dinasti Abbasiyah. Pembukuan Hadits masih lebih diprioritaskan mengingat banyak terjadi pemalsuan hadits. Sedangkan tafsir penulisannya tidak dipisahkan secara khusus dengan al-Qur’an. Tokoh terkemuka dalam bidang ini diantaranya ialah Yazid bin Harun as-Sulami, Syu’bah bin Hajjaj, Waki’ bin Jarrah, Sufyan bn Umaiyah dan Rauh bin Ubadah. Sesudah golongan ini maka Tafsir ditulis secara khusus dan menjadi disiplin ilmu tersendiri oleh para Tokoh setelahnya semisal Ibn Majah, Ibn Jarir ath-Thabari, Ibn Abi Hatim, al-Hakim dan Abu Bakar bin Mardawaih.
Penafsiran generasi tersebut memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi saw, sahabat,  Tabi’in, Tab’it Tabi’in dan terkadang juga memuat pentarjihan terhadap pendapat yang diriwayatan tersebut dengan penyimpulan (Istinbath) berbagai hukum serta penjelasan kedudukan kalimat. Ini seperti yang didapati dalm karya Ibn Jarir ath-thabari. Hal inilah yang kemudian hari dikategorikan Tafsir bil ma’tsur karena sebagian besar memuat riwayat-riwayat yang disandarkan dari Nabi maupun sahabat. Perkembangan Tafsir dan penafsiran yang semakin pesat, mulai dari pembukuannya, cabang-cabangnya perbedaan yang semakin meningkat antara stu mufassir dengan yang lain, aliran ‘kalam’ yang semakin mengerucut masing-masing dan berkobar bahkan fanatisme madzhab menyebabkan bertumbuhkembangnya corak rasional dan/ naqli. Sehingga setelah periode Tafsir bi ma’tsur maka lahirlah masa dimana Tafsir didominasi oleh bil ra’yi atau corak pemikiran. Orak rasional ini sangat beragam, mulai dari aliran kalam yang mengurai suatu konsep keber-Islam-an, madzhab fiqh, ilmu pengetahuan, ilmu qira’at dan sebagainya. Kemudian banyak pakar-pakar yang ahli dibidangnya mengaitkan keilmuan tersebut dengan Tafsir. Hal ini memperluas keilmuan dan wawasan al-Qur’an serta penafsiran dengan kondisi perkembangan keilmuan dan social budaya saat itu.

KOMPATIBILITAS SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA DENGAN TEKS AL-QUR’AN

Oleh : Lutfiyatun Nakiyah PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Sistem politik pemerintahan berkembang demikian pesatnya dari masa...