Tafsir
secara bahasa ialah penjelasan atau keterangan. Kata Tafsir mulai muncul secara
istilah dikalangan para ulama Tafsir sebagai sebagai Ilmu yang diperlukan dalam
memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW, menerangkan
serta menjelaskan alqur’an tersebut juga membahas hokum serta hikmahnya. Inilah
pengertian yang dijabarkan oleh Zarkasyi.
Sedangkan para ulama Tafsir lain mendefinisikan bahwasanya Tafsir ialah:
Ilmu yang membahas tentang segala sesuatu tetang Al-Qur’an dari sisi dilalahnya
(sebagai landasan dasar atas dalil) sesuai dengan kemampuan manusia (yang
menafsirkannya).
SEJARAH
PERKEMBANGAN TAFSIR
Dalam
sejarah perkembangan Ilmu Tafsir ketika telah menjadi disipin ilmu tersendiri
dalam Islam, maka Tafsir mengalami berbagai pertanyaan, pemikiran bahan tak
jarang juga perdebatan. Terutama pada saat menafsirkan ayat-ayat yang di anggap
sulit dan belum ada keterangan baik secara riwayat maupun tertulis dari Nabi
Muhammad. Sebagaimana diketahui, penafsiran Nabi mengenai al-Qur’an yang berupa
riwayat dan sampai pada masa-masa setelahnya tidak sampai seperempat dari
jumlah ayat Al-qur’an. Disinilah terletak perdebatan itu atau menurut penulis,
rasa ingin tau bagaimana Nabi menafsirkan sejumlah ayat lain.
Setidaknya
ada dua pendapat mengenai apakah Nabi menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an atau
sebagian saja. Pendapat pertama yang
juga merupakan pendapat Ibn Taimiyah ialah bahwa al-Qur’an sudah ditafsirkan
secara keseluruhan pada masa Nabi dengan berbagai argumentasi dan dalil:
وانزلنا اليك الذكرى لتبين للناس ما نزل اليهم
ولعلهم يتفكرون
Penjelasan Nabi mengenai alQur’an mencakup dua hal, yaitu:
pertama, penjelasan makna-makna dan kedua, lafadz-lafadz yang terkandung dalam
al-Qur’an. Artinya Rasul saw diperintahkan untuk menjelaskan al-Qur,an baik
secara lafadz maupun makna karena jika Nabi belum menjelaskan seluruhnya maka
berarti Nabi tidak menjalankan perintah yang dibebankan kepadanya. Argumentasi
lainnya ialah bahwa dalam mengkaji al-Qur’an para sahabat tidak mau menambah
kajiannya satu ayatpun sebelum memahami dan mengamalkan ayat yang sedang
dipelajari. Bahkan sampai pada ayat terakhir yyang diturunkan Allah yaitu ayat
tentang riba, Umar meriwayatkan Nabi menafsirkannya. Ini merupakan beberapa argumentasi
kelompok yang menyatakan bahwa Nabi saw telah menafsirkan seluruh ayat
al-Qur’an meski yang sampai pada kita secara data hanya sedikit saja.
Kelompok
pertama termasuk al-Thufi menyatakan bahwa Nabi hanya menafsirkan ayat-ayat
tertentu untuk memberi peluang bagi umat Islam untuk mamahami dan bahkan
menafsirkannya dan agar al-Qur,an sholih likulli zaman wa makan. Menurut
yang berpegang pada pendapat ini juga bahwa tidak ada perintah yang secara
jelas menyatakan bahwa Nabi saw harus menjalaskan keseluruhan al-Qur’an. Nabi
juga pernah mendoakan Ibnu Abbas agar I diberi pemahaman agama dan
takwil/tafsir. Argumentasi terakhir ialah bahwa memang data yang sampai pada
kita hanya sedikit, ini menunjukkan bahwa Nabi memang tidak menafsirkan
keseluruhan ayat al-Qur’an.
Menyikapi
kedua hal yang terlihat kontradiksi diatas, penulis berpandangan bahwa
sebenarnya kedua pendapat tersebut dapat diselaraskan. Dengan beberapa sudut
pandang:
-
Saat zaman Nabi saw
memang Nabi saw telah menjelaskan keseluruhan ayat sebagaimana kebutuhan umat
Islam saat itu, mengingat berbagai permasalahan sampai yang mendetailpun telah
diselesaikan oleh Nabi maka al-Qur’an tidak mungkin tidak. Karna tujuan
diutusnya Nabi ialah menyampaikan risalah Allah swt. Meskipun begitu
dokumentasi bukanlah hal yang sangat urgen untuk dipikirkan umat Islam mengenai
penafsiran-penafsiran Nabi saw mengenai al-Qur’an karna dapat merujuk langsung
kepada Nabi saw dan berinteraksi secara langsung. Sehingga penafsiran Nabi yang
sampai pada generasi setelahnya hanya sedikit.
-
Bagaimanapun, meski
al-Qur’an telah dimaknai secara keseluruhan oleh Nabi saw, persoalan-persoalan
yang baru tumbuh dan timbul. Al-Qur’an juga memerlukan interpretasi yang sesuai
dengan kondisi zaman dengan begitu al-Qur’an menjadi sholih likulli zaman
wamakan. Bahwa ada hal yang bersifat aqidah dari penafsiran Nabi saw yang
tidak dapat diubah dan ada yang dapat diubah jika berkaitan dengan social
politik yang ada dimana umat Islam berada. Karenanya meskipun telah ditafsirkan
oleh Nabi saw secara keseluruhan (apalagi data yang sampai hanya sedikit) maka
tetap perlu upaya untuk merevitalisasi pemahaman umat Islam atas teks dalam hal
kemashlahatan.
Disinilah
kemudian pemahaman teks dan konteks diperlukan dalam rangka menjelaskan dan
memupus keraguan terhadap penafsiran Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana kita tahu
bahwa Nabi Muhammad saw adalah orang Quraisy yang lahir dan tinggal di Tanah
Arab ataupun Timur Tengah. Bahasa arab bukanlah hal yang patut untuk
diperselisihkan karena masing-masing orang Arab memahami bahasa Arab dan cita
rasa kebahasaannya sebagaimana orang Indonesia memahami bahasa dan cita rasa
kebahasaan indonesianya.
Jadi
penjelasan yang mendetail sebagaimana perkembangan Tafsir sekarang tidaklah
begitu diperlukan apalagi dituliskan mengingat setiap orang Arab memahami
bahasa Arab mereka . hanya sedikit saja para sahabat menuliskan keterangan dan
penjelasan Nabi tentang al-Qur’an. Secara logika ini masuk akal, karena Nabi
sendiri tidak secara khusus misalnya mengintruksikan agar penjelasannya tentang al-Qur’an dituliskan bahkan hal tersebut
dilarang kecuali sedikit orang. Dari segi sejarah social juga, ketika terjadi
kesulitan memahami al-Qur’an, maka para sahabat tersebut langsung bertanya
kepada Nabi dan berdiskusi tanpa menunggu sekertaris Nabi untuk kemudian
keterangan Nabi tersebut dicatat misalnya. Jadi, hal yang tidak tertulis
mengenai mengenai penafsiran Nabi terhadap al-Qur’an ialah karena pada saat itu
bahasa Arab sudah maklum.
Nabi
adalah penjelas atau Mufassir pertama yang mengetahui maksud dari ayat-ayat
al-Qur’an. Nabi belajar langsung dari malaikat mengenai makna dan maksud dari
suatu ayat karenanya sudah sepantasnya dan logis jika penafsiran Nabi merupakan
penafsiran yang paling otoritatif. Sahabat tidak demikian, meskipun hanya dalam
ruang lingkup Arab, banyak juga kata-kata bahasa arab yang dimengerti suku
tertentu kadang kurang dimengerti yang lain. Disinilah kemudian mereka belajar
langsung dari Nabi saw dan meminta penjelasan. Namun belakangan setelah
wafatnya Nabi dan meluasnya wilayah ke-Islam-an umat Islam maka semakin beragam
orang mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an. Dengan tidak menguasai bahasa Arab
dengan baik maka lahirlah pemaknaan-pemaknaan dan istilah baru yang semakin
meluas untuk menyesuaikan dengan bahasa masing-masing Negara diluar jazirah
Arab. Inilah yang menyebabkan berbeda bahkan bertambahnya pemaknaan baru yang
kadang tidak sesuai dengan bahasa Arab asli ataupun maksud al-Qur’an dan secara
otomatis penafsiran terhadap al-Qur’an semakin berkembang.
TAHAP
PERTAMA PENAFSIRAN
Pada
tahap pertama penafsiran ini telah dimaulai sejak masa Nabi Muhammad saw sampai
pada masa sahabat. Dasar penafsiran yang dapat dirumusakan diantaranya ialah
yang pertama ialah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an. Penafsiran dengan
menggunakan al-Qur’an merupakan penafsiran dengan derajat yang paling tinggi
karena penjelasan antar ayat dalam al-Qur’an sebenarnya masih saling terkait,
sebagaimana contoh:
`ÏiB ¾Ïmͬ!#uur æL©èygy_ 4s+ó¡ãur `ÏB &ä!$¨B 7Ï|¹ ÇÊÏÈ ¼çmãã§yftFt wur ß%x6t ¼çmäóÅ¡ç ÏmÏ?ù'tur ßNöqyJø9$# `ÏB Èe@à2 5b%s3tB $tBur uqèd ;MÍhyJÎ/ ( ÆÏBur ¾Ïmͬ!#uur ë>#xtã ÔáÎ=yñ ÇÊÐÈ
16. di hadapannya ada Jahannam dan Dia akan diberi minuman
dengan air nanah,
17. diminumnnya air nanah itu dan hampir Dia tidak bisa
menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi
Dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada azab yang berat.
Rasul
saw menjelasan tentang 7Ï|¹ &ä!$¨B adalah
dengan $VJÏHxq ä!$tB
ã@sW¨B Ïp¨Ypgø:$# ÓÉL©9$# yÏããr tbqà)GßJø9$# ( !$pkÏù Ö»pk÷Xr& `ÏiB >ä!$¨B Îöxî 9`Å#uä Ö»pk÷Xr&ur `ÏiB &ûtù©9 óO©9 ÷¨tótGt ¼çmßJ÷èsÛ Ö»pk÷Xr&ur ô`ÏiB 9÷Hs~ ;o©%©! tûüÎ/Ì»¤±=Ïj9 Ö»pk÷Xr&ur ô`ÏiB 9@|¡tã y"|ÁB ( öNçlm;ur $pkÏù `ÏB Èe@ä. ÏNºtyJ¨V9$# ×otÏÿøótBur `ÏiB öNÍkÍh5§ ( ô`yJx. uqèd Ó$Î#»yz Îû Í$¨Z9$# (#qà)ßur ¹ä!$tB $VJÏHxq yì©Üs)sù óOèduä!$yèøBr& ÇÊÎÈ
15. (apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan
kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air
yang tiada beubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak
beubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya
dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya
segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang
kekal dalam Jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga
memotong ususnya?
Rasul
saw juga menjelasan tentang 7Ï|¹ &ä!$¨B
dengan ayat lain:
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%Ï#uß 4 bÎ)ur (#qèVÉótGó¡o (#qèO$tóã &ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 [ø©Î/ Ü>#u¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB
29. dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa
yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan
bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika
mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi
yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan
tempat istirahat yang paling jelek.
Dasar penafsiran yang kedua ialah al-Qur’an dengan hadits
Nabi saw, dan hal ini juga bernilai marf’ mengingat bahwa apa-apa yang
diucapkan Nabi saw (kecuali hal duniawi) ialah wahyu, dan fungsi dari hadits
sendiri selain sebagai penjelas al-Qur’an ia juga merupakan penguat al-Qur’an.
Sebagaimna contoh penafsiran ayat dengan hadits qudsi:
(#qä9$s%ur
xsªB$#
ª!$#
#V$s!ur
3 ¼çmoY»ysö7ß
( @t/
¼ã&©!
$tB
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
( @@ä.
¼ã&©!
tbqçFÏ^»s%
ÇÊÊÏÈ
116. mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai
anak". Maha suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah
kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.
Ayat diatas ditafsirkan dengan menggunakan hadits qudsi
oleh Nabi saw;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال
إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ كَذَّبَنِي عَبْدِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ لِيُكَذِّبَنِي
وَشَتَمَنِي عَبْدِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَتْمِي فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَيَقُولُ
لَنْ يُعِيدَنِي كَالَّذِي بَدَأَنِي وَلَيْسَ آخِرُ الْخَلْقِ أَهْوَنُ عَلَيَّ أَنْ
أُعِيدَهُ مِنْ أَوَّلِهِ فَقَدْ كَذَّبَنِي إِنْ قَالَهَا وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ
فَيَقُولُ اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا أَنَا اللَّهُ أَحَدٌ الصَّمَدُ لَمْ أَلد
“Sesungguhnya Allah azza wa Jalla berfirman: ‘keturunan
Adam mendusta-Ku dan tidaklah benar baginya hal itu, ia mencercaku dan tidaklah
benar baginya hal itu’. Adapun pendustaannya kepada-Ku ialah kata-katanya:
“tidak akan Ia mengembalikanku sebagaimana Ia menciptakanku, padahal bukanlah
penciptaan pertama lebih mudah padaku dari pengembaliannya”. Adapun cercaannyya
kepada-Ku ialah kata-katanya bahwa “Allah mengambil seorang putra” padahal
Akuah Yang Esa, Maha Tumpuan, tak memperanakkan dan diperanakkan, dan tidak ada
satu pun bagi-Ku tandingan.’”
Dasar penafsiran yang ketiga ialah
dengan ijtihad dan kemampuan istinbath. Apabila para sahabat sepeninggal Nabi
saw tidak dapat menemukan solusi permasalahan yang muncul dari al-Qur’an dan
hadits maka para sahabat sebagaimana perintah dalam hadits Nabi saw berijtihad
dengan nalar. Bahasa Arab dan juga segala aspek penguasaan dalam kebahasa-an
yang teah dikuasai --karna asal mereka yang asli Arab juga-- mempermudah
sahabat untuk semakin mendalami makna yang tersirat dalam al-Qur’an. Diantara
para sahabat yang melakukan ijtihad ini ialah: empat khalifah, Ibnu Mas’ud,
Ibbnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah
bin Zubair, Anas bin Malik, Abudullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah
bin ‘Amr bin ‘Ash dan termasuk Aisyah istri Nabi Muhammad saw.
Empat nama sahabat yang dikenal ahli
tafsir dari kalangan sahabat: Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ali bin
Abi Thalib dan Ubay bin Ka’ab. Meskipun tafsir dari kalangan sahabat mempunyai
nilai tersendiri bahkan marfu’ (disandarkan pada rasul saw) menurut
jumhur, namun para ulama berbeda pendapat mengenai status hukum yang
disandarkan kepada para sahabat ini. Jika mengenai hal yang bersifat
periwayatan semisal asbab nuzul, maka termasuk kategori marfu’, namun jika
telah memasuki wilayah bil ra’yi maka masuk kategori mauquf (terhenti)
pada masa sahabat saja selama tidak disandarkan pada Rasulullah saw.
Sebagian ulama berpendapat bahwa
tafsir dari kalangan sahabat meskipun bersifat ra’yi tetap harus
dipertimbangkan dalam melakukan penafsiran, karena bagaimanapun sahabat ialah
orang terdekat Nabi saw yang mengetahui persis bagaimana perjalanan kisah dan
keilmuan al-Quran Nabi saw. Selain itu, para sahabat ialah asli orang Arab yang
mengerti cita rasa bahasa Arab terutama dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun
sebagian lain menyatakan bahwa ijtihad sahabat ialah sama dengan ijtihad para
mujtahid dan mufassir setelahnya bahkan sekarang jadi tidak mengharuskan untuk
mengambil referensi dari para sahabat.
Secara umum, karakteristik Tafsir Masa Nabi dan Sahabat adalah: (1)
Al-Qur’an belum ditafsirkan seluruhnya. Karena pada masa Nabi hidup, ketika
sahabat tidak tahu makna ayat, ia langsung tanya pada Nabi. (2) Perbedaan dalam
penafsiran belum banyak. Karenanya tidak terjadi banyak perselisihan dalam Tafsir.
(3) Penafsirannya Ijmaly/global. Permasalahan yang ada juga masih bersifat umum
dan tidak sekompleks masa setelah Nabi saw bahkan sekarang (4) Bila ada
penjelasan kebahasaan, itu singkat aja. Mengingat tiap orang dimana al-Qur’an
ialah orang Arab asli yang mengenal bahasa mereka dengan baik, kecuali dalam
beberapa kata-kata yang terkadang merupakan bahasa yang dipahami sebagian suku
saja. (5) Jarang dilakukan istimbath Ilmy lil Ahkam Syariyah. Dan Istimbtah
Hukum di sini belum terpengaruh perbedaan madzhab fiqh. Karena selain belum ada
perpecahan madzhab aqidah dan bahkan fiqh, para sahabat juga belum menyusun
Tafsir dalam kajian tersendiri. Tafsir masih merupakan cabang dari ilmu Hadits.
Dasar penafsiran yang terakhir ialah
Ahlul Kitab. Hal ini seenarnya telah terjadi dimasa Nabi saw. Karenanya ada
sebuah Hadits yang meriwayatkan bahwa jika memang kisah-kisah Yahudi-Nashrani
sesuai dengan al-Qur’an maka dperbolehkan membenarkannya, jika tidak ada dalil
dalam al-Qur’an maupun hadits maka diperintahkan untuk mendiamkannya (tidak
membenarkan maupun menyalahkan) dan jika terbukti bertentangan dengan al-Qur’an
maupun hadits Nabi saw maka haram untuk diikuti.
TAHAP PENAFSIRAN KEDUA
Sebagaimana diketahui bahwa rasulullah
saw menafsirkan sesuai dengan kebutuhan umat dimasanya dengan kondisi sosial
politik yang permsalahannya juga belum begitu kompleks. Seiring dengan
perkembangan waktu dan penyebaran umat Islam ke berbagai belahan dunia non-
Arab, maka angka kesulitan memahami bahasa arab pun bertambah. Hal inilah yang
kemudian memunculkan suatu disiplin ilmu Tafsir dalam kategori ilmu
ke-al-Qur’an-an secara terpisah. Pada masa sahabat telah banyak sahabat yang
menafsirkan al-Qur’an semisal Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ali bin
Abi Thalib dan Ubay bin Ka’ab. Penafsiran para sahabat ini kemudian dikaji dan
didalami dan bahkan ditambahi oleh Tabi’in. Kajian Tafsir menjadi semakin
diperlukan dan diminati oleh umat Islam dari berbagai penjuru. Dasar
Penafsiran periode ke-dua ini ialah sama dengan pada masa Nabi saw, hanya saja
ditambah dengan Tafsir pada masa Sahabat.
Semakin meluasnya wilayah Islam
membawa para sahabat dan tokoh-tokoh Islam membawa mereka untuk menyebar dan
mengajarkan berbagai ilmu ke-Islam-an di daerah-daerah taklukannya. Dari para
Ulama yang menyebar inilah lahir diantaranya Tafsir-tafsir Tabi’in yang
kemudian menjadi berbagai madzhab atau perguruan Tafsir. Di Makkah isalnya
berdiri perguruan Ibnu Abbas. Diantara muridnya yang terkenal ialah Sa’id bin
Jubair, Mujahid, Ikrimah, Thawus bin Kaisan, ‘Ata’ bin Abi Rabah. Di Madinah,
Ubai bin Ka’ab sangat terkenal ahli dalam Tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang
tafsir juga dirujuk ole generasi sesudahnya. Diantara muridnya yang terkenal ialah
Zaid bin Aslam, Abu aliyah dan Muhammad bin ka’ab al-Qurazi. Sedangkan di Irak,
berdirilah perguruan Tafsir Ibn Mas’ud yang dinilai para Ulama sebagai bibit
dari madzhahb ahl ra’yi. Diantara murd dari kalangan tabi’in yang
terkenal ialah ‘alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bn Yazid, Murrah al-Hamazi,
Amir asy-sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Begitu pesatnya perkembanan Tafsir
sehingga banyak Tafsir pada masa Tabi’in ini bermunculan. Akan tetapi dalam hal
memandang bahwa apakah Tafsir masa Tabi’’in dapat diikuti atau tidak, para
Ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa Tafsir Tab’in tidak dapat
diikuti karena mereka tidak menyaksikan seara langsung konteks turunnya
al-Qur’an, sehngga kekeliruan itu sangatlah mungkin mengingat wilayah kekuasaan
yang semakin meluas juga menimbulkan pemahaman atas bahasa Arab asli semakin
berkurang. Namun bagi yang berpendapat bahwa tafsir tabi’in dapat dipegang
ialah karena mereka menerima langsung dari sahabat. Bagaimanapun pendapat yang
paling kuat ialah bahwa jika para Tabi’in sepakat dalam suatu penafsiran, maka
sudah barang tentu hal tersebut mendekati kebenaran jadi umat Islam mesti
mengikutinya.
Sedangkan Ibn Taimiyah berkata:
bahwasanya syu’bah bin Hajjaj: “pendapat para Tabi’’in bukanlah Hujjah” namun
jika memang mereka bersepakat terhadap suatu pendapat maka hal tersebut ialah
Hujjah. Jika tidak (hal ini berlaku pada masa Tabiin maupun sesudahnya) maka
dikembalikan pada bahasa al-Qur’an, sunnah, keumuman bahasa Arab dan juga pendapat
sahabat.
Karakteristik Tafsir Tabi’in: (1) Mulai banyak terpengaruh
oleh Israiliyyat dan penafsiran orang-orang Nashrani.
Hal ini
terjadi karena para Tabi’in ingin mengkaji dan mengumpulkan informasi yang
lebih banyak mengenai segala sesuatu tentang al-Qur’an danbanyaknya para rahib
dan juga golongan non-muslim yang masuk Islam atau sekedar berinteraksi
langsung dengan umat islam menyebabkan timbul dialog satu sama lain. (2) Tafsir
masih didominasi dengan cara talaqqi dan riwayah. Meski manambahkan informasi
dari berbagai pihak termasuk luar Islam, namun hal tersebut masih bersifat
riwayat. Adapu periwayatan dari para Sahabat juga menjadi pegangan Tabi’in. (3)
Mulai muncul pengaruh perbedaan madzhab dalam penafsiran. Hal ini disebabkan
kondisi sosial politik yang Umat islam yang mulai terpecah terutaa pasca
pemerintahan Ali bin Abi Thalib-Muawiyah. Kondisi keterpecahan umat mulai
menimbulkan terjadinya banyak perbedaan dalam penafsiran.
TAHAP KETIGA PENAFSIRAN
Masa pembukuan Tafsir dimulai seja
akhir dinasti Umaiyah dan awal dinasti Abbasiyah. Pembukuan Hadits masih lebih
diprioritaskan mengingat banyak terjadi pemalsuan hadits. Sedangkan tafsir
penulisannya tidak dipisahkan secara khusus dengan al-Qur’an. Tokoh terkemuka
dalam bidang ini diantaranya ialah Yazid bin Harun as-Sulami, Syu’bah bin
Hajjaj, Waki’ bin Jarrah, Sufyan bn Umaiyah dan Rauh bin Ubadah. Sesudah
golongan ini maka Tafsir ditulis secara khusus dan menjadi disiplin ilmu
tersendiri oleh para Tokoh setelahnya semisal Ibn Majah, Ibn Jarir ath-Thabari,
Ibn Abi Hatim, al-Hakim dan Abu Bakar bin Mardawaih.
Penafsiran generasi tersebut memuat
riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi saw, sahabat, Tabi’in, Tab’it Tabi’in dan terkadang juga
memuat pentarjihan terhadap pendapat yang diriwayatan tersebut dengan
penyimpulan (Istinbath) berbagai hukum serta penjelasan kedudukan
kalimat. Ini seperti yang didapati dalm
karya Ibn Jarir ath-thabari. Hal inilah yang kemudian hari dikategorikan Tafsir
bil ma’tsur karena sebagian besar memuat riwayat-riwayat yang disandarkan dari
Nabi maupun sahabat. Perkembangan Tafsir dan penafsiran yang semakin pesat,
mulai dari pembukuannya, cabang-cabangnya perbedaan yang semakin meningkat antara
stu mufassir dengan yang lain, aliran ‘kalam’ yang semakin mengerucut
masing-masing dan berkobar bahkan fanatisme madzhab menyebabkan
bertumbuhkembangnya corak rasional dan/ naqli. Sehingga setelah periode Tafsir
bi ma’tsur maka lahirlah masa dimana Tafsir didominasi oleh bil ra’yi atau
corak pemikiran. Orak rasional ini sangat beragam, mulai dari aliran kalam yang
mengurai suatu konsep keber-Islam-an, madzhab fiqh, ilmu pengetahuan, ilmu
qira’at dan sebagainya. Kemudian banyak pakar-pakar yang ahli dibidangnya
mengaitkan keilmuan tersebut dengan Tafsir. Hal ini memperluas keilmuan dan
wawasan al-Qur’an serta penafsiran dengan kondisi perkembangan keilmuan dan
social budaya saat itu.