Oleh : Lutfiyatun
Nakiyah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem politik pemerintahan berkembang demikian pesatnya dari masa ke
masa. Dimulai dari jejak sistem pemerintahan monarkhi monarki/kerajaan, sampai
pada sistem pemerintahan kontemporer yaitu demokrasi. Demokrasi yang
digadang-gadang merupakan sistem pemerintahan modern kini sebenarnya memiliki
banyak intepretasi serta aplikasi dalam suatu pemerintahan. Persoalan-persoalan
yang ditimbulkan akibat sistem ini juga tidak sedikit.
Hampir semua Negara berkembang telah menganut sistem demokrasi dengan
berbagai variasi demokrasi tergantung pada sejarah Negara-negara tersebut. Demi
menyusul ketertinggalannnya dari Negara-negara maju, Indonesia sendiri sudah 3
kali membongkar pasang sistem demokrasinya. Hal ini menunjukkan bahwa wajah
demokrasi sendiri terus berubah seiring dengan pergulatan politik dan geliat
kemajuan yang tercapai dari waktu ke waktu.
Tanpa disadari, sesungguhnya wajah demokrasi Indonesia masih sangat jauh
dari konsep ideal sebuah Negara demokrasi itu sendiri. Pada akhirnya, politik
pembodohan atau pembohongan public masih dimainkan ditingkat atas demi menjaga
wilayah kekuasaan “rezim” tertentu yang tak bernama ini. Demokrasi merupakan
sebuah topeng cantik untuk memanipulasi wajah praktik politik yang ada
dibaliknya. Indikasi ini dapat dilihat dari bermainnya para “mantan’ penguasa
dalam wilayah kekuasaan.
Slogan dan citra melalui media bermain sangat apik. Inikah demokrasi
sesungguhnya? Penggiringan opini public untuk mengunyah issu tertentu? Atau
praktik politik transaksional yang terjadi? Inikah prinsip-prinsip membangun
pemerintahan yang diajarkan Rasulullah saw? Pertanyaan selanjutnya sebagai umat
Islam tentu sudah kompatibelkah sistem Prinsip-prinsip sistem demokrasi ini
dengan Tafsir Teks-teks suci Al-Qur’an?
B. Rumusan Masalah
Untuk mencegah meluasnya pembahasan tentang demokrasi yang dinamis ini,
penulis akan membatasi tulisan ini pada satu rumusan persoalan:
1. Bagaimana kompatibilitas sistem demokrasi Indonesia
dengan Teks-teks Suci Al-Qur’an?
PEMBAHASAN
A. Sekilas tentang Demokrasi Dunia dan Indonesia
Istilah demokrasi ini pertama kali diperkenalkan oleh Herodotus ± 3000
tahun lalu. Sistem ini dahulu
diberlakukan di Yunani Kuno (Athena). Sedangkan yang menjadi lembaga
legislasinya ialah seluruh rakyat Athena. Setiap orang memiliki hak suara atas
regulasi, bahkan undang-undang negaranya sebagaimana parlemen saat ini. Hak
suara dimiliki oleh seluruh warga selain wanita, budak dan anak-anak. Meski
demikian sistem ini sangat mungkin untuk dijalankan mengingat bahwa
wilayah-wilayah daerah yang berada di bawah pemerintahan Athena kurang lebih
berjumlah sepuluh ribu jiwa.[1]
Perkembangan sistem demokrasi
merambah ke seluruh wilayah Eropa pada abad ke-16 melalui Nicollo Machiavelli
(1469-1527) selaku perintis pertama yang meletakkan sekularisasi sebagai bagian
dari sistem demokrasi. Kemudian dilanjutkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679)
dengan ide tentang Negara Kontrak. Selanjutnya gagasannya direkonstruksi oleh
John Locke (1632-1704) tentang pemisahan kekuasaan menjadi tiga bagian yakni
kekuasaan legislative, eksekutif dan lembaga federal dan disempurnakan oleh Baron
de Montesquieu. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) menambahkan ide tentang
kedaulatan rakyat dan kontrak sosial. Sistem Teokrasi dan monarki monarki
perlahan mulai ditinggalkan banyak Negara di Eropa dan Amerika. Perkembangan
sistem demokrasi secara cukup signifikan terutama terjadi sejak mencetusnya
revolusi Amerika tahun 1776 dan revolusi Prancis tahun 1789.[2]
Sejarah demokrasi di Indonesia tidak terpisahkan dari
peristiwa-peristiwa besar yang melatarbelakanginya. Indonesia sendiri telah
menjalankan tiga model/bentuk demokrasi.
Model demokrasi pertama yang diterapkan oleh Indonesia ialah Demokrasi Liberal
/ parlementer murni dari tahun 1950 sampai dengan 1959, kemudian demokrasi
terpimpin (1959-1965). Lahirnya orde baru ditandai dengan diterapkannya model
demokrasi pancasila dengan kekuasaan dan pengaruh terlama dalam sejarah
Indonesia saat ini yakni 32 Tahun (1965-1998).[3]
Pasca tumbangnya rezim orde baru, Indonesia menganut model demokrasi reformasi.
Demokrasi parlementer dimanifestasikan dengan demokrasi liberal.[4]Demokrasi
parlementer mengandung tiga indikasi; pertama, kedaulatan rakyat
sepenuhnya dilaksanakan oleh DPR. DPR memiliki wewenang dalam membentuk serta
memberhentikan eksekutif/kabinet. Kedua, pembagian kekuasaan,
DPR/parlemen memiliki kekuasaan yang sangat kuat dibandingkan dengan eksekutif,
karenanya eksekutif/presiden seolah hanyalah simbol kepala Negara saja. Ketiga,
mekanisme pengambilan keputusan diambil dengan jalan voting dengan suara
terbanyak. Berbanding terbalik dengan sistem demokrasi parlementer, meskipun
secara normatif-konstitusional, kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan
oleh MPR, namun praktik politik pemerintahan pada demokrasi terpimpin ialah
didominasi oleh presiden. Presiden bahkan berhak membentuk dan membubarkan parlemen.
Kontroversi lainnya ialah masa jabatan presiden merupakan seumur hidup dan
pengambilan keputusan harus melalui suara bulat parlemen. Demokrasi terpimpin
ini dimanifestasikan dalam bentuk sosial.[5]
Selanjutnya, demokrasi pancasila meletakkan kekuasaan bahwa kedaulatan
rakyat sepenuhnya dijalankan oleh MPR. MPR kemudian membagi kedaulatan tersebut
dalam lembaga-lembaga Negara lainnya (Presiden, DPR, MA dan lainnya). Demokrasi
pancasila secara resmi lahir pasca ketetapan MPRS No. XXXVII/MPRS/1968. Secara
teori, demokrasi pancasila tidak memiliki pertentangan dengan hakikat demokrasi
tentang kedaulatan rakyat. Namun pada prakteknya, demokrasi tidak berfungsi
sebagai pelindung birokrasi melainkan sebaliknya. Pada akhirnya ketimpangan
wewenang ini diprotes keras dan melahirkan demokrasi reformasi yang ditandai
dengan berkurangnya kekuasaan suatu lembaga eksekutif kepada parlemen, begitu
pula keduanya harus membagi kekuasaannya dengan lembaga yudikatif. Ruang
dinamisasi ketiga lembaga pemerintahan sebagai bagaian dari ciri demokrasi ini
mulai terbuka. Meskipun tentu masih banyak persoalan yang mengiringinya. Pada
tahun 2011, Indonesia masuk dalam kategori 10 besar negara demokratis di dunia
setelah Amerika Serikat dan India.[6]
B. Arti ber-Demokrasi
Demokrasi secara etimologi
berasal dari dua kata yakni demos dan cretos. Demos berarti
rakyat sedangkan kratos berarti kekuasaan. Dengan demikian secara
terminologis demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang menempatkan
rakyat sebagai penentu kebijakan. Meski demikian, implementasi dari sistem
demokrasi berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam literatur
kenegaraan, dikenal berbagai variasi istilah demokrasi, yaitu demokrasi
konstitusional, demokrasi parlementer[7],
demokrasi pancasila, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan lain
sebagainya.
Sebagai suatu sistem pemerintahan, demokrasi stkurang-kurangnya
mengandung 5 prinsip dasar[8]:
1. Penyelenggara kekuasaan berasal dari rakyat;
2. Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat dan
harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakannya;
3. Pemangku jabatan diwujudkan secara langsung maupun
tidak langsung;
4. Pergantian kekuasaan dilaksanakan dengan damai dan
teratur;
5. Adanya proses pemilu, dalam negara demokratis pemilu
dilakukan secara teratur dalam menjamin hak politik rakyat untuk memilih
dandipilih; dan
6. Adanya kebebasan HAM, seperti hak untuk menyatakan
pendapat, hak beragama, berorganisasi dan berpolitik.
Cendekiawan muslim Nurcholish Madjid menggambarkan bahwa berbicara demokrasi ialah berbicara tentang sebuah
rumah antik. Keantikannya terutama sejak demokrasi menjadi bahan bongkar pasang
model pemerintahan. Demokrasi menjadi bahan perdebatan sengit antar pendiri
negri ini. Hal ini terutama tercatat dalam sejarah panjang demokrasi Indonesia
sejak deklarasi kemerdekaannya. [9]
Secara umum demokrasi dimaknai dengan sistem trias politica, yakni
pembagian wilayah kekuasaan dalam tiga lembaga pemerintahan;
1. Legislatif
2. Yudikatif
3. Eksekutif
C. Pro – Kontra Kompatibilitas Islam dan Demokrasi
Ellie Kedouri
(1992:1) seorang ahli politik Islam, membuat generalisasi sederhana tentang
keunikan Islam dan kaitannya dengan masyarakat dan politik. Ajaran, norma dan
kecenderungan umat Islam telah membentuk paradigm politik yang jauh lebih
modern. Menurutnya peradaban Islam bersifar unik: bahwa umat Islam bangga akan
warisan masalalunya sehingga menutup diri dari mempelajari dan menghargai
kemajuan politik dan social yang dicapai oleh peradaban lain (Barat).[10]
Lebih jauh
Kedourie berpendapat bahwa masyarakat Muslim dimanapun mereka berada akan
merasa menjadi bagian dari suatu aikatan
yakni ummah yang didalamnya hal temporal maupun spiritual
menyatu. Sifat khas dari ummah ini membagi dunia dalam dua wilayah, yakni dār
al-Islam (wilayah Islam) dan dār al-harb (wilayah perang).
Walaupun ide Negara-negara telah diadopsi oleh masyarakat Muslim secara luas,
namun ide ummah terpatri kuat dikalangan khususnya Timur Tengah sehingga
mereka merasa perlu menggabungkan ide nasionalisme (baca: Nasionalisme dalam
konteks agama Islam) tersebut. Sebagai bagian dari hasil gabungan ini, semangat
romatisme untuk mengembalikan kejayaan masalalu menjadi menguat.[11]
Pandangan ini selaras dengan fenomena yang terjadi saat ini dengan munculnya
gerakan-gerakan yang berupaya mengembalikan Islam ke masalalu baik melalui
sistem khilafah sebagaimana yang disebarkan oleh HTI ataupun ISIS.
Sedangkan
Bernard Lewis (2002: 100) menyatakan bahwa sikap umat Islam berpandangan bahwa
Islam merupakan suatu tatanan yang telah mengatur berbagai aspek kehidupan umat
manusia. Bagi umat Islam, tidak ada perbedaan bagi masyarakat Muslim antara
hokum agama dan hokum Negara karena keduanya merupakan dua hal yang dapat
bersinergi dengan dinamis. Sehingga konflik sebagaimana yang terjadi di abad
pertengahan tentang kekuasaan agama sebagaimana teokrasi gereja atas Negara
menjadi hal yang dapat dihindari. Sekularisasi menjadi hal yang tidak dapat
diterima oleh umat Islam karena paripurnanya prinsip bahwa Islam telah mengatur
berbagai aspek kehidupan umat termasuk diantaranya aspek politik.[12]
Kedua pemikir barat tersebut setidaknya mewakili pandangan bahwa Islam
sangat tidak kompatibel dengan sistem demokrasi. Islam dengan prinsip the
way of life-nya memandang bahwa perlunya membangun kembali romantisme
masalalu. Pandangan tersebut mengental menjadi sebuah gerakan ideology atas
nama Islam yang bertujuan mendirikan Negara-negara Islam semisal HTI (Hizbut
Tahrir Internasional) dan pandangan radikal-militer lainnya semisal ISIS
(Islamic State Irak-Syiria). Pada prakteknya gerakan ini bahkan mendapat
tentangan dari umat Islam sendiri. Kalau perdebatan sebelumnya menganggap bahwa
pemisahan agama dan Negara (sekularisme)[13]
diperlukan atau tidak, maka kini penyatuan umat Islam melewati batas Negara
sebagai suatu kesatuan “ummat” melahirkan gerakan-gerakan ekstrim kanan
yang mengakibatkan konflik berkepanjangan di wilayah Timur Tengah.
Dikalangan umat Islam sendiri, setidaknya ada tiga kelompok umat Islam
yang memandang demokrasi ini. Pertama, pandangan Islam konservatif atau
“blok kontra”. Mereka menolak keterpaduan antara Islam dan Demokrasi, karena
demokrasi dinilai sebagai produk pemikiran barat. Antara keduanya memiliki dan
menempati dunianya masing-masing. Blok ini diwakili oleh pemikir-pemikir Islam
semisal Syaikh Fadlallah Nuri dan Muhammad Husain Thaba’thaba’I dari Iran,
Sayyid Quthb (1906-1966) dan al-Sya’rawi dari Mesir, Ali Benhaj dan Abdelkader
Moghni dari Aljazair, Hasan Al-Turabi dari Sudan, dan Adnan Aly Ridha Al-Nahwy,
Ali Al-Qadim Zallum. Diantara alas an penolakan terhadap demokrasi ini ialah
persamaan seluruh warga Negara. Bagi Nuri, tidak ada persamaan antara yang kaya
dan yang miskin, berpengetahuan dan tidak dan seterusnya. Lebih jauh Nuri
menolak legislasi oleh manusia. Hokum Islam sudah ditentukan dan tidak
dibenarkan jika hokum diatur oleh manusia.[14]
Demikian halnya dengan sayyid Quthb yang menyatakan dengan tegas bahwa
gagasan demokrasi barat merupakan gagasan yang menyatakan bahwa kedaulatan
berada ditangan rakyat, hal ini berarti mengingkari dan menentang kekuasaan
Tuhan. Karena Tuhan telah menetapkan seluruh sistem dalam berbgai lini
kehidupan. Sedikit berbeda dengan keduanya, Ali Behnaji melihat bahwa sistem
demokrasi hanyalah alat Barat semata untuk meraih hegemoni dari dunia Islam.
Hal ini dua alasan, pertama sistem demokrasi dilandaskan pada kepentingan
golongan, kedua sistem demokrasi ini didasarkan pada nalar (akal) manusia yang
terbatas kemampuannya. Lebih keras Zallum berpendapat bahwa demokrasi ‘dipasarkan’
Barat ke dunia Muslim ini merupakan sistem kufur. Kontradiksi demokrasi dengan
Islam bisa dilihat dari sumber kemunculannya, akidah yang melahirkannya, asas
yang mendasarinya serta peraturan yang dihasilkan darinya.[15]
Kontroversi ini dipahami Huttington, Lewis, Kedaurie sebagai sebuah
pengaruh negatif Islam terhadap partisipasi sistem politik.[16]
Akibatnya, kemajuan politik umat Islam menjadi terhambat. Huntington
mengelaborasi beberapa unsur yang melandasi pandangannya terhadap masyarakat
Islam, diantaranya; kegagalan untuk saling mempercayai dan toleransi sesame
warga Negara merupakan unsur pertama yang membuat umat Islam menolak sistem
demokrasi. Berikutnya ialah Islam memiliki hubungan negatif bagi keterlibatan
warga dalam politik, institusi dan juga dukungan terhadap nilai-nilai
demokrasi.[17]
Kedua, pandangan Islam Liberal atau bisa
dikategorikan “blok pro”. Kelompok ini diwakili oleh Muhammad Abduh (1845-1905)
dan muridnya Rasyid Ridha (1865-1935), Sayyid Muhammad Syaltut, Ali Abd. Razzaq
(1988-1966), Khalid Muhammad Khalid, Muhammad Husein Haikal, Toha Husein
(1891), Fazlurrahman, Yusuf Qardhawy dan banyak lainnya. Pemikir Indonesia yang
juga masuk kelompok ini diantaranya Munawir Syadzali, Abdurrahman Wahid, M.
Syafi’I Ma’arif, Kuntowijoyo, M. Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra dan lainnya.[18]
Menurut Yusuf Qardhawy, substansi demokrasi berjalan seiring dengan
prinsip-prinsip Islam sebagaimana berikut[19]:
“… bahwa rakyat memilih orang yang akan memerintah dan menata persoalan
mereka, tidak boleh dipaksakan kepada mereka penguasan yang tidak mereka sukai
atau rezim yang mereka benci. Mereka diberi hak untuk mengoreksi penguasa bila
ia keliru, diberi hak untuk mencabut dan menggantinya bila ia menyimpang,
mereka tidak boleh digiring secara paksa untuk mengikuti sistem ekonomi, sosial
dan politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka sukai. Bila sebagian
dari mereka menolak, mereka tidak boleh disiksa, dianiaya dan dibunuh”
Jika Yusuf Qardhawy melihat bahwa demokrasi merupakan keniscayaan, maka
terkait demokrasi, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menitik beratkan peran yang
dimainkan Islam di bidang Hak Asasi Manusia
ditentukan oleh 3 kutub; yakni Islam sebagai suatu agama yang secara
klaim universalnya melampaui Hak-Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, Hak Asasi manusia
didasarkan pada konsep modern dan sekuler, dan kutub ketiga ialah intepretasi
dasar-dasar Hak Asasi Manusia yang diatur oleh Negara sesuai kepentingan
nasionalnya.[20]
Ketiga, pandangan Islam moderat, yang bisa
disebut kategori “non-blok”. Pandangan kelompok ini tidak memihak pada baik
blok pro maupun kontra. Mereka berdiri ditengah dua kelompok tersebut. Mereka
juga mengupayakan titik temu antara keduanya. Pemikir muslim yang masuk
kategori kelompok ini diantaranya ialah, ‘Abul A’la Al-Maududi dan Muhammad Iqbal (1876-1938) dari Pakistan,
Imam Khomeini dari Iran, serta Muhammad Dhiya Al-Din Rais dari Mesir.[21]
Menurut Al-Maududi dan Iqbal, Islam dan demokrasi memiliki sisi kesamaan
dan perbedaannya. Keduanya memiliki kesamaan dalam memperjuangkan diantaranya,
keadilan sosial (QS: Al-Syūra: 15), pesamaan antara kaum muslimin,
akuntabilitas/tanggungjawab pemerintahan, permusyawaratan, ketaatan dalam
kebajikan dan lainnya. Namun segi perbedaan dari keduanya juga ada, dalam
prinsip Barat, negara demokratis memiliki prinsip bahwa kedaulatan ada ditangan
rakyat sementara dalam Islam, kedaulatan mutlak hanya dimiliki oleh Tuhan.[22]
Disatu sisi Imam Khomeini berpandangan demokrasi liberal yang diterapkan
Barat mengabaikan restu Tuhan. Khomeini mengakui otoritas rakyat namun otoritas
tersebut harus diikat dalam kehendak ilahiah (ikatan yang kemudian
dimanifestasikan sebagai wilayatul Faqih). Khomeini menamakan dempkrasi
ini sebagai sebuah “Demokrasi Islam atau Demokrasi Sejati”. [23]
D. Ayat-Ayat Al-Qur’an terkait Demokrasi
{QS. Ali ‘Imrān: 159}
$yJÎ6sù
7pyJômu
z`ÏiB
«!$#
|MZÏ9
öNßgs9
(
öqs9ur
|MYä.
$àsù
xáÎ=xî
É=ù=s)ø9$#
(#qÒxÿR]w
ô`ÏB
y7Ï9öqym
(
ß#ôã$$sù
öNåk÷]tã
öÏÿøótGó$#ur
öNçlm;
öNèdöÍr$x©ur
Îû
ÍöDF{$#
(
#sÎ*sù
|MøBztã
ö@©.uqtGsù
n?tã
«!$#
4
¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$#
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
{QS. An Nisā’:
59 }
* $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(59)”
{QS. Al-Ahzab:
36}
$tBur
tb%x.
9`ÏB÷sßJÏ9
wur
>puZÏB÷sãB
#sÎ)
Ó|Ós%
ª!$#
ÿ¼ã&è!qßuur
#·øBr&
br&
tbqä3t
ãNßgs9
äouzÏø:$#
ô`ÏB
öNÏdÌøBr&
3
`tBur
ÄÈ÷èt
©!$#
¼ã&s!qßuur
ôs)sù
¨@|Ê
Wx»n=|Ê
$YZÎ7B
ÇÌÏÈ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah
Dia telah sesat, sesat yang nyata.”
{QS. Asy Syūra:
38}
tûïÏ%©!$#ur
(#qç/$yftGó$#
öNÍkÍh5tÏ9
(#qãB$s%r&ur
no4qn=¢Á9$#
öNèdãøBr&ur
3uqä©
öNæhuZ÷t/
$£JÏBur
öNßg»uZø%yu
tbqà)ÏÿZã
“dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka.”
E. Tafsir Ayat dalam Pandangan Mufassir Kontemporer
Pada konteks
surah Ali Imran: 159, Ayat ini turun saat perang Uhud. Ayat diatas merupakan
tuntunan Allah saw langsung kepada Nabi Muhammad saw untuk bersikap lemah
lembut meskipun sebagian sahabat Nabi melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam
perang Uhud yang berakibat pada kekalahan perang. Kondisi saat perang Uhud
mengundang banyak sekali emosi untuk marah namun Nabi Muhammad saw tetap
menunjukkan sikap lemah lembutnya. Sebelum memutuskan berperang, Nabi
bermusyawarah dengan para sahabat terlebih dahulu, hasil musyawarah tersebut
Nabi memutuskan untuk menerima usulan mayoritas, meskipun ia kurang berkenan.
meskipun berakhir dengan kekalahan karena para pemanah memilih meninggalkan
markas untuk mengejar ghanimah[24],
Nabi hanya menegurnya dengan lembut. [25]
Sikap lemah lembut dan tidak
berlaku kasar kepada para sahabat yang berbuat salah bahkan setelah mereka
menyepakatinya dalam musyawarah perang ini, merupakan penegasan bahwa Allah-lah
yang melembutkan hati Nabi Muhammad saw. Indikasi bahwa sikap itu diajarkan
langsung oleh Allah bisa dilihat pada kalimat dalam ayat yang berarti“...
maka ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu”, yakni urusan dunia dan peperangan. Jika
engkau telah melakukan musyawarah, selanjutnya bulatkan tekad dan
bertawakkal-lah kepada Allah saw. Hak ini karena Allah menyukai orang yang
bertawakkal dan akan membantu dan membimbingnya.[26]
Kajian tafsir
klasik yang terwakili oleh Ath-Thabari (w. 310 H), menjelaskan konteks syura
dalam skala global. Yakni musyawarah harus dilakukan terutama dalam kondisi
genting semisal peperangan dan bertemu dengan musuh. Penafsiran ini sesuai
dengan konteks sebab turunnya ayat. Selain itu, hendaklah para sahabat juga
bermusyawarah dalam berbagai persoalan. Karena musyawarah yang dilakukan suatu
kaun lebih baik bagi semuanya. Ketika telah menyelesaikan persoalan dengan cara
bermusyawarah satu sama lainnya, hendaklah ber-azam dan kemudian
berserah diri kepada Allah.[27]
Adapun Muhammad
Rasyid Ridha melihat konteks Syura dalam ayat ini ialah suatu strategi politik
kamu muslim baik dalam situasi perang maupun tidak. Selain itu musyawarah juga
digunakan untuk persoalan kemaslahatan dunia lainnya. Jika terjadi kesalahan
setelah diadakannya musyawarah, maka hal tersebut masih merupakan kebaikan
daripada tidak dimusyawarahkan. Prinsipnya adalah kesalahan/kekeliruan yang
dilakukan umat setelah melalui musyawarah lebih baik daripada kebenaran yang
dilakukan seseorang tanpa musyawarah.[28]
Pesan inti yang
disampaikan oleh ayat tersebut ialah tentang pentingnya melakukan musyawarah.
Petaka yang terjadi dalam perang uhud berawal dari musyawarah serta disetujui
oleh suara mayoritas. Meskipun hasilnya ialah kegagalan, namun ini bukan
menyiratkan kesia-sia-an musyawarah. Justru sebaliknya, karena kesalahan yang
dilakukan pasca musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa
musyawarah.[29]
Para ulama kontemporer sebagaimana yang Al-Maududi dan Iqbal juga menggunakan ayat ini sebagai bagian dari
dasar berdemokrasi.[30]
Karena prinsip dasar dalam demokrasi ialah bermusyawarah dengan mengutamakan
suara mayoritas (baca: suara rakyat).
Musyawarah berasal
dari akar kata (شور)
syawara secara etimologi bermakna
mengeluarkan madu dari sarang. Makna ini berkembang, sehingga berarti segala
sesuatu yang dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Sejalan dengan akar katanya, kata musyawarah digunakan untuk hal-hal
baik. Madu dihasilkan oleh lebah yang bukan saja manis namun menyembuhkan
banyak penyakit, karenanya bermusyawarah diumpamakan sebagaimana lebah. Lebah
memiliki kecenderungan bekerjasama, disiplin, makannya terbaik yakni sari
kembang sehingga hasilnya baik yaitu madu. Selain itu lebah juga tidak merusak
merusak apa yang dihinggapinya kecuali ia diganggu. Demikian halnya dengan
manusia yang melakukan musyawarah, meskipun pada akhirnya akan mengalami
kegagalan, namun kegagalan itu lebih baik ketimbang tidak melalui jalan
musyawarah.
Terkait dengan
ayat kedua yakni surah An-Nisa: 59 ialah perintah untuk mentaati perintah Allah
sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an dan juga perintah Rasul saw sebagaiman
yang diajarkan yakni Sunnah. Perintah taat kepada Rasul disini menyangkut
perintah yang bersumber dari Allah swt, bukan yang Rasul perintahkan sebagai
manusia biasa. Urutan kalimat “taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)…” merupakan dasar bahwa Nabi memiliki wewenang dan hak
untuk ditaati. Sedangkan kalimat berikutnya “…dan ulil amri di
antara kamu” tidak disertai kalimat perintah taatilah, menurut
Quraish Shihab karena ulil amri[31]
tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan
dengan ketaatan kepada Allah swt dan Rasulnya.[32]
Ayat selanjutnya
[al-Ahzab: 36] menegaskan bahwa dalam ketetapan yang telah diputuskan melalui
petunjuk Allah secara tegas dan jelas, baik langsung melalui Al-Qur’an dan
Sunnah, maka persoalan terbut tidak dibuka ruang untuk bermusyawarah.
Musyawarah hanya dilakukan dalam lapangan persoalan yang belum ada ketetapan
langsung. Diantaranya ialah persoalan politik dan kemasyarakatan. Sebagai
contoh saat Nabi saw memilih lokasi pasukan kaum Muslimin pada perang Badar.
Al-khubbab Ibn Mundzir bertanya apakah ketentuan tersebut adalah wahyu, Nabi
saw menjawab tidak. Maka Al-Khubbab menyarankan lokasi lain yang lebih stategis
dan Nabi saw menyetujuinya.[33]
Perintah untuk
bermusyawarah lebih tegas terdapat pada surah Asy-Syura: 38. Huruf س dan ت pada
kalimat استجابواberfungsi
untuk menguatkan penerimaan tulus terhadap perintah mendirikan Shalat,
bermusyawarah diantara mereka serta berinfaq. Kata syura (شورى)
secara terminologi berarti mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik
dengan mengperhadapkan satu pendapat dengan pendapat lainnya. Sedangkan amruhum
menegaskan wilayah musyawarah tersebut ialah berkaitan dengan
persoalan-persoalan sesama mereka serta persoalan yang berada dibawah wewenang
mereka. Adapun persoalan ibadah mahdhah / murni sepenuhnya berapa dalam
wewenang Allah dan bukanlah wilayah yang dimusyawarahkan.[34]
Mufassir
Indonesia yang dikenal dengan sebutan Buya Hamka menjelaskan bahwa aplikasi
keimanan bukan semata-mata hubungan diri seseorang dengan dirinya saja melainkan
bahwa tanda berimannya seseorang ialah ia juga memiliki hubungan yag erat
dengan masyarakat yang ada. Hamka melihat pentingnya prinsip musyawarah
berkaitan penyelesaian persoalan-persoalan kemasyarakatan. Dalam tradisi
Indonesia, musyawarah tersebut juga meluas menjadi sebuah tanggungjawab
kolektif yakni sikap gotong royong, dan pada akhirnya menempatkan kepentingan
bersama diatas kepentingan pribadi termasuk dalam hal ber-infaq. Selain itu,
Hamka menambahkan beberapa tehnik dalam prinsip musyawarah diantaranya adanya
keterwakilan pihak tertentu ketika berunding dengan lainnya. Adapun lebih jauh,
musyawarah dapat berkembang sesuai dengan zaman, ruang dan waktunya.[35]
Dengan demikian
beberapa kesimpulan penafsiran kontemporer terkait asas musyawarah untuk persoalan-persoalan
diluar peribadatan secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya
menjelaskan secara eksplisit prinsip dasar dalam menghadapi suatu permasalahan
yang belum dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yakni dengan jalan
perundingan/musyawarah.
F. Analisis Kompatibilitas Teks Al-Qur’an dengan Sistem Demokrasi Indonesia
Dalam perdebatan pro-kontra kompatibilitas terlihat bahwa persoalan
mendasar yang menjadi landasan untuk menolak syura (baca: demokrasi)
diantaranya ialah: mempersoalkan antara
kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan, Menganggap bahwa sistem [sistem kafir]
ini adalah alat untuk menguasai dan membodohi Umat Islam, Islam sudah paripurna
ajarannya sehingga tidak memerlukan cangkokan sistem dari non Islam [Barat] dan
ingin mengembalikan romantisme masalalu tentang kejayaan masa khulafa’urrasyidin.
Persoalan-persoalan tersebut mengemuka seiring dengan menggeliatnya
berbagai negara dalam mengaplikasikan sistem demokrasi. Menanggapi persoalan
tersebut, penulis akan melakukan beberapa analisa yang sedikit banyak
sependapat dengan kelompok pro atau netral terhadap demokrasi. Persoalan
kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan misalnya, kedaulatan rakyat dan
kedaulatan Tuhan memiliki porsi yang berbeda. Dalam konteks spiritual dan
ke-Tuhan-an, kedaulatan Tuhan tentu tidak dapat diganggu gugat. Hal ini
terutama tercermin dari sikap kebebasan beragama, berkeyakinan, beribadah dan
menjalankan pokok-pokok syariat Islam. Adapun wilayah kedaulatan rakyat
sebagaimana yang disampaikan oleh Abdurrahman Wahid, Yusuf Qardhawy, bahkan
Al-Maududi, wilayah ini mencakup Hak Asasi Manusia, kebebasan berpendapat,
berorganisasi, ber-sosial, kebebasan berpolitik, ekonomi, pendidikan dan lain
sebagainya. Meskipun dalam Islam mengajarkan nilai-nilai tersebut, namun secara
sistemik Islam tidak mengarahkan pada faham atau sistem tertentu. Dengan
demikian hal ini yang menjadi wilayah ijtihad bagi umat Islam. Kalau
pemerintahan Nabi bersifat teokrasi maka Nabi tidak akan menerima usul Khabab
bin Mundzir dalam perang badar dan juga tidak menerima pendapat para
sahabat dalam masalah tawanan perang setelah perang badar. Seandainya kaum
muslimin memilki sisteme politik yang baku, niscaya tertera dalam Al-Qur’an
atau setidaknya Nabi akan menjelaskan kaidah-kaidahnya. Dengan demikian maka
umat Islam akan mematuhinya tanpa berdiskusi ataupun bertukar pendapat lagi.
Namun kenyataannya sistem politik ini hanya garis besarnya saja dan diserahkan
kepada kaum muslimin untuk menyelesaikannnya. Dengan demikian, sistem politik
Islam memiliki bentuk yang unik dan dinamis. Keharusan untuk melihat
kemaslahatan orang banyak dalam membuat suatu regulasi ini sejalan dengan
keharusan umat Islam untuk mengikuti syariat Islam itu sendiri.[36]
Sebagai sebuah dasar nilai pandangan hidup, Islam memang sudah sempurna,
namun seiring dengan zaman banyak persoalan yang memerlukan reintepretasi dari
teks-teks Suci untuk dapat menjawabnya. Karenanya diperlukan langkah dinamis
untuk mengjawantahkan tata nilai Islam menjadi sebuah sistem yang maslahah bagi
umat Islam khususnya dan manusia pada umumnya. Menanggapi persoalan bahwa ini
merupakan sistem kafir, penulis berpandangan bahwa kegagalan suatu kelompok
sosial biasanya ditandai dengan kegagalannya dalam menyerasikan langkah taktis
dan strategis yang sedang dihadapi. Jika memang sistem ini dicetuskan oleh
orang kafir, dan itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar dalam Islam, maka
itu bukanlah persoalan. Bahkan pada masa pemerintah khalifah al-Makmun dan
Harun Al-Rasyid, umat Islam belajar tidak hanya dari kawasan umat Islam namun
melakukan transfer keilmuan dan budaya besar-besaran dari Barat. Persoalan
pembodohan tentu dikembalikan pada seberapa kuat ukhuwah yang terjalin
diantara sesam umat Islam. Kekuatan persatuan dan dinamisasi politik Islam
inilah yang menjadi titik penentu seberapa besar kemungkinan pembodohan
tersebut.
Hal terakhir terkait romantisme masalalu dan juga penolakan total
terhadap demokrasi. Pemikiran yang telah menjelma menjadi gerakan kebangkitan
[baca: ekstrim] ini justru akan mengoyak persatuan dari umat Islam sendiri.
Politik perpecahan menjadi langkah strategis untuk memecahbelah umat Islam
sendiri. Gerakan ekstrim yang kita lihat di Timur Tengah hanya akan merugikan
umat Islam sendiri, sementara pihak yang berkepentingan akan mengambil
keuntungan politis dari tragedi tersebut. Bukan tidak mungkin meluasnya
kekerasan akan menyebabkan pergolakan politik yang lebih ekstrim semisal Perang
Dunia.
PENUTUP
Kesimpulan
Demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang kompatibel dengan ajaran
agama Islam. Prinsip syura adalah tolak ukurnya. Tidak ada sistem baku
tertentu yang ditetapkan oleh Islam, karenanya umat Islam berhak untuk
berunding tentang persoalan-persoalan diluar kerangka Aqidah dan ibadah mahdhah/murni.
Diantara persoalan yang perlu dirundingkan dalam konteks saat ini ialah
sistem/tata kelola pemerintahan/politik, sistem ekonomi, sosial, edukasi, seni
dan budaya. Prinsip yang sama berlaku pada aspek-aspek tersebut, dengan
mengambil nilai dasarnya dari Al-Qur’an dan Sunnah.
[8] Muntoha, … hal: 381
[9]
Badri Keruman dkk, Islam dan Demokrasi:
Mengungkap Fenomena Golput sebagai Alternative Partisipasi Politik Umat,
Jakkarta: PT. Nimas Multima, 2004, hal: 1-2
[10]
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya
Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama, 2007,
hal: 13-14
[13]
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara:
Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2004, hal: 77
[20]
Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi,
dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999, hal 26-27
[25]
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol 2,
Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007, Volume 2, hal: 255-256
[26]
Quraish Shihab, ... Vol:2, Hal: 256
[27] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jilid ke-3, Lebanon: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1999, hal: 495
[36]
Abdul Ghafar Aziz, Islam Politik: Pro &
Kontra, tt. Al-Islam al-Siasi baina al-Rafidhina lahu wa al-Mughalina
fihi, Penj. M. Thaha, A, Jakarta: Pustaka Firdaus, hal: 101-105