Kamis, 20 Oktober 2016

KOMPATIBILITAS SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA DENGAN TEKS AL-QUR’AN



Oleh : Lutfiyatun Nakiyah

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sistem politik pemerintahan berkembang demikian pesatnya dari masa ke masa. Dimulai dari jejak sistem pemerintahan monarkhi monarki/kerajaan, sampai pada sistem pemerintahan kontemporer yaitu demokrasi. Demokrasi yang digadang-gadang merupakan sistem pemerintahan modern kini sebenarnya memiliki banyak intepretasi serta aplikasi dalam suatu pemerintahan. Persoalan-persoalan yang ditimbulkan akibat sistem ini juga tidak sedikit.
Hampir semua Negara berkembang telah menganut sistem demokrasi dengan berbagai variasi demokrasi tergantung pada sejarah Negara-negara tersebut. Demi menyusul ketertinggalannnya dari Negara-negara maju, Indonesia sendiri sudah 3 kali membongkar pasang sistem demokrasinya. Hal ini menunjukkan bahwa wajah demokrasi sendiri terus berubah seiring dengan pergulatan politik dan geliat kemajuan yang tercapai dari waktu ke waktu.
Tanpa disadari, sesungguhnya wajah demokrasi Indonesia masih sangat jauh dari konsep ideal sebuah Negara demokrasi itu sendiri. Pada akhirnya, politik pembodohan atau pembohongan public masih dimainkan ditingkat atas demi menjaga wilayah kekuasaan “rezim” tertentu yang tak bernama ini. Demokrasi merupakan sebuah topeng cantik untuk memanipulasi wajah praktik politik yang ada dibaliknya. Indikasi ini dapat dilihat dari bermainnya para “mantan’ penguasa dalam wilayah kekuasaan.
Slogan dan citra melalui media bermain sangat apik. Inikah demokrasi sesungguhnya? Penggiringan opini public untuk mengunyah issu tertentu? Atau praktik politik transaksional yang terjadi? Inikah prinsip-prinsip membangun pemerintahan yang diajarkan Rasulullah saw? Pertanyaan selanjutnya sebagai umat Islam tentu sudah kompatibelkah sistem Prinsip-prinsip sistem demokrasi ini dengan Tafsir Teks-teks suci Al-Qur’an?
B.  Rumusan Masalah
Untuk mencegah meluasnya pembahasan tentang demokrasi yang dinamis ini, penulis akan membatasi tulisan ini pada satu rumusan persoalan:
1.      Bagaimana kompatibilitas sistem demokrasi Indonesia dengan Teks-teks Suci Al-Qur’an?



PEMBAHASAN
A.  Sekilas tentang Demokrasi Dunia dan Indonesia
Istilah demokrasi ini pertama kali diperkenalkan oleh Herodotus ± 3000 tahun lalu.  Sistem ini dahulu diberlakukan di Yunani Kuno (Athena). Sedangkan yang menjadi lembaga legislasinya ialah seluruh rakyat Athena. Setiap orang memiliki hak suara atas regulasi, bahkan undang-undang negaranya sebagaimana parlemen saat ini. Hak suara dimiliki oleh seluruh warga selain wanita, budak dan anak-anak. Meski demikian sistem ini sangat mungkin untuk dijalankan mengingat bahwa wilayah-wilayah daerah yang berada di bawah pemerintahan Athena kurang lebih berjumlah sepuluh ribu jiwa.[1]
 Perkembangan sistem demokrasi merambah ke seluruh wilayah Eropa pada abad ke-16 melalui Nicollo Machiavelli (1469-1527) selaku perintis pertama yang meletakkan sekularisasi sebagai bagian dari sistem demokrasi. Kemudian dilanjutkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) dengan ide tentang Negara Kontrak. Selanjutnya gagasannya direkonstruksi oleh John Locke (1632-1704) tentang pemisahan kekuasaan menjadi tiga bagian yakni kekuasaan legislative, eksekutif dan lembaga federal dan disempurnakan oleh Baron de Montesquieu. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) menambahkan ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial. Sistem Teokrasi dan monarki monarki perlahan mulai ditinggalkan banyak Negara di Eropa dan Amerika. Perkembangan sistem demokrasi secara cukup signifikan terutama terjadi sejak mencetusnya revolusi Amerika tahun 1776 dan revolusi Prancis tahun 1789.[2]
Sejarah demokrasi di Indonesia tidak terpisahkan dari peristiwa-peristiwa besar yang melatarbelakanginya. Indonesia sendiri telah menjalankan tiga model/bentuk  demokrasi. Model demokrasi pertama yang diterapkan oleh Indonesia ialah Demokrasi Liberal / parlementer murni dari tahun 1950 sampai dengan 1959, kemudian demokrasi terpimpin (1959-1965). Lahirnya orde baru ditandai dengan diterapkannya model demokrasi pancasila dengan kekuasaan dan pengaruh terlama dalam sejarah Indonesia saat ini yakni 32 Tahun (1965-1998).[3] Pasca tumbangnya rezim orde baru, Indonesia menganut model demokrasi reformasi.
Demokrasi parlementer dimanifestasikan dengan demokrasi liberal.[4]Demokrasi parlementer mengandung tiga indikasi; pertama, kedaulatan rakyat sepenuhnya dilaksanakan oleh DPR. DPR memiliki wewenang dalam membentuk serta memberhentikan eksekutif/kabinet. Kedua, pembagian kekuasaan, DPR/parlemen memiliki kekuasaan yang sangat kuat dibandingkan dengan eksekutif, karenanya eksekutif/presiden seolah hanyalah simbol kepala Negara saja. Ketiga, mekanisme pengambilan keputusan diambil dengan jalan voting dengan suara terbanyak. Berbanding terbalik dengan sistem demokrasi parlementer, meskipun secara normatif-konstitusional, kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR, namun praktik politik pemerintahan pada demokrasi terpimpin ialah didominasi oleh presiden. Presiden bahkan berhak membentuk dan membubarkan parlemen. Kontroversi lainnya ialah masa jabatan presiden merupakan seumur hidup dan pengambilan keputusan harus melalui suara bulat parlemen. Demokrasi terpimpin ini dimanifestasikan dalam bentuk sosial.[5]
Selanjutnya, demokrasi pancasila meletakkan kekuasaan bahwa kedaulatan rakyat sepenuhnya dijalankan oleh MPR. MPR kemudian membagi kedaulatan tersebut dalam lembaga-lembaga Negara lainnya (Presiden, DPR, MA dan lainnya). Demokrasi pancasila secara resmi lahir pasca ketetapan MPRS No. XXXVII/MPRS/1968. Secara teori, demokrasi pancasila tidak memiliki pertentangan dengan hakikat demokrasi tentang kedaulatan rakyat. Namun pada prakteknya, demokrasi tidak berfungsi sebagai pelindung birokrasi melainkan sebaliknya. Pada akhirnya ketimpangan wewenang ini diprotes keras dan melahirkan demokrasi reformasi yang ditandai dengan berkurangnya kekuasaan suatu lembaga eksekutif kepada parlemen, begitu pula keduanya harus membagi kekuasaannya dengan lembaga yudikatif. Ruang dinamisasi ketiga lembaga pemerintahan sebagai bagaian dari ciri demokrasi ini mulai terbuka. Meskipun tentu masih banyak persoalan yang mengiringinya. Pada tahun 2011, Indonesia masuk dalam kategori 10 besar negara demokratis di dunia setelah Amerika Serikat dan India.[6]

B.  Arti ber-Demokrasi
Demokrasi  secara etimologi berasal dari dua kata yakni demos dan cretos. Demos berarti rakyat sedangkan kratos berarti kekuasaan. Dengan demikian secara terminologis demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai penentu kebijakan. Meski demikian, implementasi dari sistem demokrasi berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam literatur kenegaraan, dikenal berbagai variasi istilah demokrasi, yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer[7], demokrasi pancasila, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan lain sebagainya.
Sebagai suatu sistem pemerintahan, demokrasi stkurang-kurangnya mengandung 5 prinsip dasar[8]:
1.      Penyelenggara kekuasaan berasal dari rakyat;
2.      Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat dan harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakannya;
3.      Pemangku jabatan diwujudkan secara langsung maupun tidak langsung;
4.      Pergantian kekuasaan dilaksanakan dengan damai dan teratur;
5.      Adanya proses pemilu, dalam negara demokratis pemilu dilakukan secara teratur dalam menjamin hak politik rakyat untuk memilih dandipilih; dan
6.      Adanya kebebasan HAM, seperti hak untuk menyatakan pendapat, hak beragama, berorganisasi dan berpolitik.
Cendekiawan muslim Nurcholish Madjid menggambarkan bahwa berbicara  demokrasi ialah berbicara tentang sebuah rumah antik. Keantikannya terutama sejak demokrasi menjadi bahan bongkar pasang model pemerintahan. Demokrasi menjadi bahan perdebatan sengit antar pendiri negri ini. Hal ini terutama tercatat dalam sejarah panjang demokrasi Indonesia sejak deklarasi kemerdekaannya. [9]
Secara umum demokrasi dimaknai dengan sistem trias politica, yakni pembagian wilayah kekuasaan dalam tiga lembaga pemerintahan;
1.      Legislatif
2.      Yudikatif
3.      Eksekutif

C.  Pro – Kontra Kompatibilitas Islam dan Demokrasi
Ellie Kedouri (1992:1) seorang ahli politik Islam, membuat generalisasi sederhana tentang keunikan Islam dan kaitannya dengan masyarakat dan politik. Ajaran, norma dan kecenderungan umat Islam telah membentuk paradigm politik yang jauh lebih modern. Menurutnya peradaban Islam bersifar unik: bahwa umat Islam bangga akan warisan masalalunya sehingga menutup diri dari mempelajari dan menghargai kemajuan politik dan social yang dicapai oleh peradaban lain (Barat).[10]
Lebih jauh Kedourie berpendapat bahwa masyarakat Muslim dimanapun mereka berada akan merasa menjadi bagian dari suatu aikatan  yakni ummah yang didalamnya hal temporal maupun spiritual menyatu. Sifat khas dari ummah ini membagi dunia dalam dua wilayah, yakni dār al-Islam (wilayah Islam) dan dār al-harb (wilayah perang). Walaupun ide Negara-negara telah diadopsi oleh masyarakat Muslim secara luas, namun ide ummah terpatri kuat dikalangan khususnya Timur Tengah sehingga mereka merasa perlu menggabungkan ide nasionalisme (baca: Nasionalisme dalam konteks agama Islam) tersebut. Sebagai bagian dari hasil gabungan ini, semangat romatisme untuk mengembalikan kejayaan masalalu menjadi menguat.[11] Pandangan ini selaras dengan fenomena yang terjadi saat ini dengan munculnya gerakan-gerakan yang berupaya mengembalikan Islam ke masalalu baik melalui sistem khilafah sebagaimana yang disebarkan oleh HTI ataupun ISIS. 
Sedangkan Bernard Lewis (2002: 100) menyatakan bahwa sikap umat Islam berpandangan bahwa Islam merupakan suatu tatanan yang telah mengatur berbagai aspek kehidupan umat manusia. Bagi umat Islam, tidak ada perbedaan bagi masyarakat Muslim antara hokum agama dan hokum Negara karena keduanya merupakan dua hal yang dapat bersinergi dengan dinamis. Sehingga konflik sebagaimana yang terjadi di abad pertengahan tentang kekuasaan agama sebagaimana teokrasi gereja atas Negara menjadi hal yang dapat dihindari. Sekularisasi menjadi hal yang tidak dapat diterima oleh umat Islam karena paripurnanya prinsip bahwa Islam telah mengatur berbagai aspek kehidupan umat termasuk diantaranya aspek politik.[12]
Kedua pemikir barat tersebut setidaknya mewakili pandangan bahwa Islam sangat tidak kompatibel dengan sistem demokrasi. Islam dengan prinsip the way of life-nya memandang bahwa perlunya membangun kembali romantisme masalalu. Pandangan tersebut mengental menjadi sebuah gerakan ideology atas nama Islam yang bertujuan mendirikan Negara-negara Islam semisal HTI (Hizbut Tahrir Internasional) dan pandangan radikal-militer lainnya semisal ISIS (Islamic State Irak-Syiria). Pada prakteknya gerakan ini bahkan mendapat tentangan dari umat Islam sendiri. Kalau perdebatan sebelumnya menganggap bahwa pemisahan agama dan Negara (sekularisme)[13] diperlukan atau tidak, maka kini penyatuan umat Islam melewati batas Negara sebagai suatu kesatuan “ummat” melahirkan gerakan-gerakan ekstrim kanan yang mengakibatkan konflik berkepanjangan di wilayah Timur Tengah.
Dikalangan umat Islam sendiri, setidaknya ada tiga kelompok umat Islam yang memandang demokrasi ini. Pertama, pandangan Islam konservatif atau “blok kontra”. Mereka menolak keterpaduan antara Islam dan Demokrasi, karena demokrasi dinilai sebagai produk pemikiran barat. Antara keduanya memiliki dan menempati dunianya masing-masing. Blok ini diwakili oleh pemikir-pemikir Islam semisal Syaikh Fadlallah Nuri dan Muhammad Husain Thaba’thaba’I dari Iran, Sayyid Quthb (1906-1966) dan al-Sya’rawi dari Mesir, Ali Benhaj dan Abdelkader Moghni dari Aljazair, Hasan Al-Turabi dari Sudan, dan Adnan Aly Ridha Al-Nahwy, Ali Al-Qadim Zallum. Diantara alas an penolakan terhadap demokrasi ini ialah persamaan seluruh warga Negara. Bagi Nuri, tidak ada persamaan antara yang kaya dan yang miskin, berpengetahuan dan tidak dan seterusnya. Lebih jauh Nuri menolak legislasi oleh manusia. Hokum Islam sudah ditentukan dan tidak dibenarkan jika hokum diatur oleh manusia.[14]
Demikian halnya dengan sayyid Quthb yang menyatakan dengan tegas bahwa gagasan demokrasi barat merupakan gagasan yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat, hal ini berarti mengingkari dan menentang kekuasaan Tuhan. Karena Tuhan telah menetapkan seluruh sistem dalam berbgai lini kehidupan. Sedikit berbeda dengan keduanya, Ali Behnaji melihat bahwa sistem demokrasi hanyalah alat Barat semata untuk meraih hegemoni dari dunia Islam. Hal ini dua alasan, pertama sistem demokrasi dilandaskan pada kepentingan golongan, kedua sistem demokrasi ini didasarkan pada nalar (akal) manusia yang terbatas kemampuannya. Lebih keras Zallum berpendapat bahwa demokrasi ‘dipasarkan’ Barat ke dunia Muslim ini merupakan sistem kufur. Kontradiksi demokrasi dengan Islam bisa dilihat dari sumber kemunculannya, akidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya serta peraturan yang dihasilkan darinya.[15]
Kontroversi ini dipahami Huttington, Lewis, Kedaurie sebagai sebuah pengaruh negatif Islam terhadap partisipasi sistem politik.[16] Akibatnya, kemajuan politik umat Islam menjadi terhambat. Huntington mengelaborasi beberapa unsur yang melandasi pandangannya terhadap masyarakat Islam, diantaranya; kegagalan untuk saling mempercayai dan toleransi sesame warga Negara merupakan unsur pertama yang membuat umat Islam menolak sistem demokrasi. Berikutnya ialah Islam memiliki hubungan negatif bagi keterlibatan warga dalam politik, institusi dan juga dukungan terhadap nilai-nilai demokrasi.[17]
Kedua, pandangan Islam Liberal atau bisa dikategorikan “blok pro”. Kelompok ini diwakili oleh Muhammad Abduh (1845-1905) dan muridnya Rasyid Ridha (1865-1935), Sayyid Muhammad Syaltut, Ali Abd. Razzaq (1988-1966), Khalid Muhammad Khalid, Muhammad Husein Haikal, Toha Husein (1891), Fazlurrahman, Yusuf Qardhawy dan banyak lainnya. Pemikir Indonesia yang juga masuk kelompok ini diantaranya Munawir Syadzali, Abdurrahman Wahid, M. Syafi’I Ma’arif, Kuntowijoyo, M. Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra dan lainnya.[18]
Menurut Yusuf Qardhawy, substansi demokrasi berjalan seiring dengan prinsip-prinsip Islam sebagaimana berikut[19]:
“… bahwa rakyat memilih orang yang akan memerintah dan menata persoalan mereka, tidak boleh dipaksakan kepada mereka penguasan yang tidak mereka sukai atau rezim yang mereka benci. Mereka diberi hak untuk mengoreksi penguasa bila ia keliru, diberi hak untuk mencabut dan menggantinya bila ia menyimpang, mereka tidak boleh digiring secara paksa untuk mengikuti sistem ekonomi, sosial dan politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka sukai. Bila sebagian dari mereka menolak, mereka tidak boleh disiksa, dianiaya dan dibunuh”

Jika Yusuf Qardhawy melihat bahwa demokrasi merupakan keniscayaan, maka terkait demokrasi, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menitik beratkan peran yang dimainkan Islam di bidang Hak Asasi Manusia  ditentukan oleh 3 kutub; yakni Islam sebagai suatu agama yang secara klaim universalnya melampaui Hak-Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, Hak Asasi manusia didasarkan pada konsep modern dan sekuler, dan kutub ketiga ialah intepretasi dasar-dasar Hak Asasi Manusia yang diatur oleh Negara sesuai kepentingan nasionalnya.[20]
            Ketiga, pandangan Islam moderat, yang bisa disebut kategori “non-blok”. Pandangan kelompok ini tidak memihak pada baik blok pro maupun kontra. Mereka berdiri ditengah dua kelompok tersebut. Mereka juga mengupayakan titik temu antara keduanya. Pemikir muslim yang masuk kategori kelompok ini diantaranya ialah, ‘Abul A’la Al-Maududi  dan Muhammad Iqbal (1876-1938) dari Pakistan, Imam Khomeini dari Iran, serta Muhammad Dhiya Al-Din Rais dari Mesir.[21]
Menurut Al-Maududi dan Iqbal, Islam dan demokrasi memiliki sisi kesamaan dan perbedaannya. Keduanya memiliki kesamaan dalam memperjuangkan diantaranya, keadilan sosial (QS: Al-Syūra: 15), pesamaan antara kaum muslimin, akuntabilitas/tanggungjawab pemerintahan, permusyawaratan, ketaatan dalam kebajikan dan lainnya. Namun segi perbedaan dari keduanya juga ada, dalam prinsip Barat, negara demokratis memiliki prinsip bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat sementara dalam Islam, kedaulatan mutlak hanya dimiliki oleh Tuhan.[22]
Disatu sisi Imam Khomeini berpandangan demokrasi liberal yang diterapkan Barat mengabaikan restu Tuhan. Khomeini mengakui otoritas rakyat namun otoritas tersebut harus diikat dalam kehendak ilahiah (ikatan yang kemudian dimanifestasikan sebagai wilayatul Faqih). Khomeini menamakan dempkrasi ini sebagai sebuah “Demokrasi Islam atau Demokrasi Sejati”. [23]

D.  Ayat-Ayat Al-Qur’an terkait Demokrasi
{QS. Ali ‘Imrān: 159}
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# 
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

{QS. An Nisā’: 59 }
*   $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(59)”

{QS. Al-Ahzab: 36}
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 Ÿwur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# ô`ÏB öNÏd̍øBr& 3 `tBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7B ÇÌÏÈ  
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.”

{QS. Asy Syūra: 38}
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZム 
dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

E.  Tafsir Ayat dalam Pandangan Mufassir Kontemporer
Pada konteks surah Ali Imran: 159, Ayat ini turun saat perang Uhud. Ayat diatas merupakan tuntunan Allah saw langsung kepada Nabi Muhammad saw untuk bersikap lemah lembut meskipun sebagian sahabat Nabi melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam perang Uhud yang berakibat pada kekalahan perang. Kondisi saat perang Uhud mengundang banyak sekali emosi untuk marah namun Nabi Muhammad saw tetap menunjukkan sikap lemah lembutnya. Sebelum memutuskan berperang, Nabi bermusyawarah dengan para sahabat terlebih dahulu, hasil musyawarah tersebut Nabi memutuskan untuk menerima usulan mayoritas, meskipun ia kurang berkenan. meskipun berakhir dengan kekalahan karena para pemanah memilih meninggalkan markas untuk mengejar ghanimah[24], Nabi hanya menegurnya dengan lembut. [25]
Sikap lemah lembut dan tidak berlaku kasar kepada para sahabat yang berbuat salah bahkan setelah mereka menyepakatinya dalam musyawarah perang ini, merupakan penegasan bahwa Allah-lah yang melembutkan hati Nabi Muhammad saw. Indikasi bahwa sikap itu diajarkan langsung oleh Allah bisa dilihat pada kalimat dalam ayat yang berarti“... maka ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu”, yakni urusan dunia dan peperangan. Jika engkau telah melakukan musyawarah, selanjutnya bulatkan tekad dan bertawakkal-lah kepada Allah saw. Hak ini karena Allah menyukai orang yang bertawakkal dan akan membantu dan membimbingnya.[26]
Kajian tafsir klasik yang terwakili oleh Ath-Thabari (w. 310 H), menjelaskan konteks syura dalam skala global. Yakni musyawarah harus dilakukan terutama dalam kondisi genting semisal peperangan dan bertemu dengan musuh. Penafsiran ini sesuai dengan konteks sebab turunnya ayat. Selain itu, hendaklah para sahabat juga bermusyawarah dalam berbagai persoalan. Karena musyawarah yang dilakukan suatu kaun lebih baik bagi semuanya. Ketika telah menyelesaikan persoalan dengan cara bermusyawarah satu sama lainnya, hendaklah ber-azam dan kemudian berserah diri kepada Allah.[27]
Adapun Muhammad Rasyid Ridha melihat konteks Syura dalam ayat ini ialah suatu strategi politik kamu muslim baik dalam situasi perang maupun tidak. Selain itu musyawarah juga digunakan untuk persoalan kemaslahatan dunia lainnya. Jika terjadi kesalahan setelah diadakannya musyawarah, maka hal tersebut masih merupakan kebaikan daripada tidak dimusyawarahkan. Prinsipnya adalah kesalahan/kekeliruan yang dilakukan umat setelah melalui musyawarah lebih baik daripada kebenaran yang dilakukan seseorang tanpa musyawarah.[28]
Pesan inti yang disampaikan oleh ayat tersebut ialah tentang pentingnya melakukan musyawarah. Petaka yang terjadi dalam perang uhud berawal dari musyawarah serta disetujui oleh suara mayoritas. Meskipun hasilnya ialah kegagalan, namun ini bukan menyiratkan kesia-sia-an musyawarah. Justru sebaliknya, karena kesalahan yang dilakukan pasca musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah.[29] Para ulama kontemporer sebagaimana yang Al-Maududi dan Iqbal  juga menggunakan ayat ini sebagai bagian dari dasar berdemokrasi.[30] Karena prinsip dasar dalam demokrasi ialah bermusyawarah dengan mengutamakan suara mayoritas (baca: suara rakyat).
Musyawarah berasal dari akar kata (شور) syawara secara etimologi bermakna mengeluarkan madu dari sarang. Makna ini berkembang, sehingga berarti segala sesuatu yang dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Sejalan dengan akar katanya, kata musyawarah digunakan untuk hal-hal baik. Madu dihasilkan oleh lebah yang bukan saja manis namun menyembuhkan banyak penyakit, karenanya bermusyawarah diumpamakan sebagaimana lebah. Lebah memiliki kecenderungan bekerjasama, disiplin, makannya terbaik yakni sari kembang sehingga hasilnya baik yaitu madu. Selain itu lebah juga tidak merusak merusak apa yang dihinggapinya kecuali ia diganggu. Demikian halnya dengan manusia yang melakukan musyawarah, meskipun pada akhirnya akan mengalami kegagalan, namun kegagalan itu lebih baik ketimbang tidak melalui jalan musyawarah.
Terkait dengan ayat kedua yakni surah An-Nisa: 59 ialah perintah untuk mentaati perintah Allah sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an dan juga perintah Rasul saw sebagaiman yang diajarkan yakni Sunnah. Perintah taat kepada Rasul disini menyangkut perintah yang bersumber dari Allah swt, bukan yang Rasul perintahkan sebagai manusia biasa. Urutan kalimat “taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)…” merupakan dasar bahwa Nabi memiliki wewenang dan hak untuk ditaati. Sedangkan kalimat berikutnya “…dan ulil amri di antara kamu” tidak disertai kalimat perintah taatilah, menurut Quraish Shihab karena ulil amri[31] tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Allah swt dan Rasulnya.[32]
Ayat selanjutnya [al-Ahzab: 36] menegaskan bahwa dalam ketetapan yang telah diputuskan melalui petunjuk Allah secara tegas dan jelas, baik langsung melalui Al-Qur’an dan Sunnah, maka persoalan terbut tidak dibuka ruang untuk bermusyawarah. Musyawarah hanya dilakukan dalam lapangan persoalan yang belum ada ketetapan langsung. Diantaranya ialah persoalan politik dan kemasyarakatan. Sebagai contoh saat Nabi saw memilih lokasi pasukan kaum Muslimin pada perang Badar. Al-khubbab Ibn Mundzir bertanya apakah ketentuan tersebut adalah wahyu, Nabi saw menjawab tidak. Maka Al-Khubbab menyarankan lokasi lain yang lebih stategis dan Nabi saw menyetujuinya.[33]
Perintah untuk bermusyawarah lebih tegas terdapat pada surah Asy-Syura: 38.  Huruf س  dan ت pada kalimat  استجابواberfungsi untuk menguatkan penerimaan tulus terhadap perintah mendirikan Shalat, bermusyawarah diantara mereka serta berinfaq. Kata syura (شورى) secara terminologi berarti mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan mengperhadapkan satu pendapat dengan pendapat lainnya. Sedangkan amruhum menegaskan wilayah musyawarah tersebut ialah berkaitan dengan persoalan-persoalan sesama mereka serta persoalan yang berada dibawah wewenang mereka. Adapun persoalan ibadah mahdhah / murni sepenuhnya berapa dalam wewenang Allah dan bukanlah wilayah yang dimusyawarahkan.[34]
Mufassir Indonesia yang dikenal dengan sebutan Buya Hamka menjelaskan bahwa aplikasi keimanan bukan semata-mata hubungan diri seseorang dengan dirinya saja melainkan bahwa tanda berimannya seseorang ialah ia juga memiliki hubungan yag erat dengan masyarakat yang ada. Hamka melihat pentingnya prinsip musyawarah berkaitan penyelesaian persoalan-persoalan kemasyarakatan. Dalam tradisi Indonesia, musyawarah tersebut juga meluas menjadi sebuah tanggungjawab kolektif yakni sikap gotong royong, dan pada akhirnya menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi termasuk dalam hal ber-infaq. Selain itu, Hamka menambahkan beberapa tehnik dalam prinsip musyawarah diantaranya adanya keterwakilan pihak tertentu ketika berunding dengan lainnya. Adapun lebih jauh, musyawarah dapat berkembang sesuai dengan zaman, ruang dan waktunya.[35]
Dengan demikian beberapa kesimpulan penafsiran kontemporer terkait asas musyawarah untuk persoalan-persoalan diluar peribadatan secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya menjelaskan secara eksplisit prinsip dasar dalam menghadapi suatu permasalahan yang belum dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yakni dengan jalan perundingan/musyawarah.
F.   Analisis Kompatibilitas Teks Al-Qur’an dengan Sistem Demokrasi Indonesia
Dalam perdebatan pro-kontra kompatibilitas terlihat bahwa persoalan mendasar yang menjadi landasan untuk menolak syura (baca: demokrasi) diantaranya ialah:  mempersoalkan antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan, Menganggap bahwa sistem [sistem kafir] ini adalah alat untuk menguasai dan membodohi Umat Islam, Islam sudah paripurna ajarannya sehingga tidak memerlukan cangkokan sistem dari non Islam [Barat] dan ingin mengembalikan romantisme masalalu tentang kejayaan masa khulafa’urrasyidin.
Persoalan-persoalan tersebut mengemuka seiring dengan menggeliatnya berbagai negara dalam mengaplikasikan sistem demokrasi. Menanggapi persoalan tersebut, penulis akan melakukan beberapa analisa yang sedikit banyak sependapat dengan kelompok pro atau netral terhadap demokrasi. Persoalan kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan misalnya, kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan memiliki porsi yang berbeda. Dalam konteks spiritual dan ke-Tuhan-an, kedaulatan Tuhan tentu tidak dapat diganggu gugat. Hal ini terutama tercermin dari sikap kebebasan beragama, berkeyakinan, beribadah dan menjalankan pokok-pokok syariat Islam. Adapun wilayah kedaulatan rakyat sebagaimana yang disampaikan oleh Abdurrahman Wahid, Yusuf Qardhawy, bahkan Al-Maududi, wilayah ini mencakup Hak Asasi Manusia, kebebasan berpendapat, berorganisasi, ber-sosial, kebebasan berpolitik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Meskipun dalam Islam mengajarkan nilai-nilai tersebut, namun secara sistemik Islam tidak mengarahkan pada faham atau sistem tertentu. Dengan demikian hal ini yang menjadi wilayah ijtihad bagi umat Islam. Kalau pemerintahan Nabi bersifat teokrasi maka Nabi tidak akan menerima usul Khabab bin Mundzir dalam perang badar dan juga tidak menerima pendapat para sahabat dalam masalah tawanan perang setelah perang badar. Seandainya kaum muslimin memilki sisteme politik yang baku, niscaya tertera dalam Al-Qur’an atau setidaknya Nabi akan menjelaskan kaidah-kaidahnya. Dengan demikian maka umat Islam akan mematuhinya tanpa berdiskusi ataupun bertukar pendapat lagi. Namun kenyataannya sistem politik ini hanya garis besarnya saja dan diserahkan kepada kaum muslimin untuk menyelesaikannnya. Dengan demikian, sistem politik Islam memiliki bentuk yang unik dan dinamis. Keharusan untuk melihat kemaslahatan orang banyak dalam membuat suatu regulasi ini sejalan dengan keharusan umat Islam untuk mengikuti syariat Islam itu sendiri.[36]
Sebagai sebuah dasar nilai pandangan hidup, Islam memang sudah sempurna, namun seiring dengan zaman banyak persoalan yang memerlukan reintepretasi dari teks-teks Suci untuk dapat menjawabnya. Karenanya diperlukan langkah dinamis untuk mengjawantahkan tata nilai Islam menjadi sebuah sistem yang maslahah bagi umat Islam khususnya dan manusia pada umumnya. Menanggapi persoalan bahwa ini merupakan sistem kafir, penulis berpandangan bahwa kegagalan suatu kelompok sosial biasanya ditandai dengan kegagalannya dalam menyerasikan langkah taktis dan strategis yang sedang dihadapi. Jika memang sistem ini dicetuskan oleh orang kafir, dan itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar dalam Islam, maka itu bukanlah persoalan. Bahkan pada masa pemerintah khalifah al-Makmun dan Harun Al-Rasyid, umat Islam belajar tidak hanya dari kawasan umat Islam namun melakukan transfer keilmuan dan budaya besar-besaran dari Barat. Persoalan pembodohan tentu dikembalikan pada seberapa kuat ukhuwah yang terjalin diantara sesam umat Islam. Kekuatan persatuan dan dinamisasi politik Islam inilah yang menjadi titik penentu seberapa besar kemungkinan pembodohan tersebut.
Hal terakhir terkait romantisme masalalu dan juga penolakan total terhadap demokrasi. Pemikiran yang telah menjelma menjadi gerakan kebangkitan [baca: ekstrim] ini justru akan mengoyak persatuan dari umat Islam sendiri. Politik perpecahan menjadi langkah strategis untuk memecahbelah umat Islam sendiri. Gerakan ekstrim yang kita lihat di Timur Tengah hanya akan merugikan umat Islam sendiri, sementara pihak yang berkepentingan akan mengambil keuntungan politis dari tragedi tersebut. Bukan tidak mungkin meluasnya kekerasan akan menyebabkan pergolakan politik yang lebih ekstrim semisal Perang Dunia.

PENUTUP
Kesimpulan
Demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang kompatibel dengan ajaran agama Islam. Prinsip syura adalah tolak ukurnya. Tidak ada sistem baku tertentu yang ditetapkan oleh Islam, karenanya umat Islam berhak untuk berunding tentang persoalan-persoalan diluar kerangka Aqidah dan ibadah mahdhah/murni. Diantara persoalan yang perlu dirundingkan dalam konteks saat ini ialah sistem/tata kelola pemerintahan/politik, sistem ekonomi, sosial, edukasi, seni dan budaya. Prinsip yang sama berlaku pada aspek-aspek tersebut, dengan mengambil nilai dasarnya dari Al-Qur’an dan Sunnah.


[1] Saifullah, Islam dan Demokrasi, Jurnal Al-Fikr, Volume 15, Nomor 3, Tahun 2011, Hal: 529
[2] Saifullah …. Hal: 529
[3] Saifullah, … hal: 536
[4] Saifullah, … hal: 537
[5] Saifullah, … hal: 537
[6] Saifullah, …. Hal: 537
[7] Muntoha, Demokrasi dan Negara Hukum, Jurnal Hukum, Nomor. 3, 16 Juli, 2009, hal: 380-381
[8] Muntoha, … hal: 381
[9] Badri Keruman dkk, Islam dan Demokrasi: Mengungkap Fenomena Golput sebagai Alternative Partisipasi Politik Umat, Jakkarta: PT. Nimas Multima, 2004, hal: 1-2
[10] Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru,  Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hal: 13-14
[11] Saiful Munjani … hal: 16
[12] Saiful Mujani, hal: 13
[13] Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004, hal: 77
[14] Idris Thaha, Demokrasi Religius, Jakarta: Teraju, 2005, hal: 41
[15] Idris Thaha, … hal: 43
[16] Saiful Munjani, … hal: 26
[17] Saiful Mujani, … 26-27
[18] Idris Toha, … 44-45
[19] Idris Toha, … hal: 44-45
[20] Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999, hal 26-27
[21] Idris Thaha, Demokrasi Religius, Jakarta: Teraju, 2005, hal: 47-48
[22] Idris Toha, … hal: 48
[23] Idris Toha, … hal: 49
[24] Ghanimah ialah harta rampasan perang.
[25] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol 2, Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007, Volume 2, hal: 255-256
[26] Quraish Shihab, ... Vol:2, Hal: 256
[27] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari,  Jilid ke-3, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999, hal: 495
[28] Rasyid Ridha, Tafsir Al-Mannar, Juz 4, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999, hal:161-162
[29] Quraish Shihab, ... Vol:2, Hal: 258
[30] Idris Thaha, Demokrasi Religius, Jakarta: Teraju, 2005, hal: 48
[31] Orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslimin
[32] Quraish Shihab,… Vol.2, hal: 483
[33] Quraish Shihab,… Vol.2, hal: 261
[34] Quraish shihab, … vol.12, hal: 511-512
[35] Hamka, Tafsir Al-Azhar, cet. Ke-V, Singapura: Pustaka Nasional, 2003, hal: 66520-66521
[36] Abdul Ghafar Aziz, Islam Politik: Pro & Kontra, tt. Al-Islam al-Siasi baina al-Rafidhina lahu wa al-Mughalina fihi, Penj. M. Thaha, A, Jakarta: Pustaka Firdaus, hal: 101-105

KOMPATIBILITAS SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA DENGAN TEKS AL-QUR’AN

Oleh : Lutfiyatun Nakiyah PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Sistem politik pemerintahan berkembang demikian pesatnya dari masa...