Kamis, 20 Oktober 2016

METODOLOGI TAFSIR AL-MISBAH



Oleh:
Lutfiyatun Nakiyah


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Tafsir merupakan kajian Islam tertua dan utama dalam upaya memahami teks suci Al-Qur’an. Sebagai sebuah Kitab pedoman, Al-Qur’an melahirkan banyak wilayah kajian lainnya, baik dari segi ibadah, muamalah, hukum, politik, pendidikan, sosial dan kemasyarakatan. Masyarakat kembali pada Al-Qur’an dan penafsiran Nabi terhadapnya untuk menjawab persoalan dan problematika yang terjadi. 15 abad yang lalu, Rasulullah saw sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya. Seiring dengan waktu, para sahabat juga mulai menjelaskan dan merevitalisasi pemaknaan atas teks dan konteks masa. Karenanya tafsir berkembang sedemikian rupa. Berbagai metode penafsiran dan corak bermunculan. Namun apakah tiap intepretasi yang dibangun para mufassir merupakan makna sesungguhnya dari Al-Qur’an? Sejauh mana keabsahan penafsiran/tafsir dengan maksud sesungguhnya yang terkandung didalam Al-Qur’an.
Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al-Qur’an dan meyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan kebutuhan dan harapan itu. Memang para pakar al-Qur’an telah berhasil melahirkan sekian banyak metode dan cara menghidangkan pesan-pesan al-Qur’an. Salah satu diantaranya adalah dengan adanya metode maudhu’i atau metode tematik [1] sebagai tuntutan bahwa al-Qur’an merupakan sumber jawaban atas segala permasalahan di waktu dan tempat dimana pun (Shohih likulli zaman wal makan).
            Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting dalam sejarah perkembangan Islam, tak luput dari sentuhan tafsir. Sehingga lahirlah berbagai karya tafsir dalam kurun waktu yang berbeda dengan corak, metode, dan subtansinya juga berbeda. Seiring dengan latarbelakang tokoh atau penciptanya serta diwarnai dengan alasan dibuatnya karya tersebut yang beragam pula maka perlu ditarik sebuah garis panjang yang menghubungkan antara satu karya tafsir dari awal hingga karya tafsir kontemporer.
Salah satu karya tafsir yang fenomenal di Indonesia adalah tafsir Al-Misbah hasil karya dari Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab
Berbagai problematika kontemporer mengharuskan umat Islam untuk dapat membumikan bahasa langit ini. Nama-nama mufassir terus ermunculan pada tiap masa. Di era saat ini, salah satu mufassir Indonesia yang ikut andil dalam upaya merelevansikan ruh teks suci ialah M. Quraish Shihab. Untuk lebih jelasnya pemakalah akan mengurai sekilas tentang Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.

B.  Rumusan Masalah
            Dari pembahasan makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah, di antaranya:
1.    Siapakah M. Quraish Shihab?
2.    Bagaimanakah metodologi yang digunakan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan Tafsir al-Mishbah?
PEMBAHASAN
A.      Sekilas Tentang M. Quraish Shihab
1.    Latar Belakang Keluarga M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944. Ia merupakan anak kelima dari dua belas bersaudara, keturunan arab terpelajar. Pakar tafsir ini meraih MA untuk spesialisasi bidang tafsir al-Qur’an di Universitas al-Azhar Cairo Mesir pada tahun 1969.  Pada tahun 1982 meraih gelar doktor di bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan Tingkat Pertama di Universitas yang sama.[2] Ia adalah putra dari Abdurrahman Shihab (1905-1986 M), seorang guru besar dalam bidang tafsir yang pernah menjadi Rektor IAIN Alauddin  Makasar. Seperti diketahui, IAIN Alauddin Makasar termasuk perguruan tinggi Islam yang mendorong tumbuhnya Islam moderat di Indonesia. Abdurrahman Shihab juga salah seorang penggagas berdirinya UMI (Universitas Muslim Indonesia) yaitu universitas Islam swasta terkemuka di Makasar. [3]
Pengaruh ayahnya Abdurrahman Shihab begitu kuat. M. Quraish Shihab sendiri mengaku bahwa dorongan untuk memperdalam studi Al-Qur’an, terutama tafsir adalah datang dari ayahnya, yang seringkali mengajak dirinya bersama saudara-saudaranya yang lain duduk bercengkrama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan. Banyak dari petuah itu yang kemudian ia ketahui sebagai ayat Al-Qur’an atau petuah Nabi, sahabat atau pakar-pakar Al-Qur’an. Dari sinilah mulai bersemi benih cinta dalam diri M. Quraish Shihab terhadap studi Al-Qur’an.[4]
Prof. KH. Abdurrahman Sihab mempunyai cara tersendiri untuk mengenalkan putra-putrinya tentang islam, yaitu beliau sering sekali mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak petuah yang kemudian oleh Quraish Shihab ditelaah sehingga beliau mengetahui petuah itu berasal dari al-Qur’an, Nabi, Sahabat atau pakar al-Qur’an yang sampai saat ini menjadi sesuatu yang membimbingnya. Petuah-petuah tersebut menumbuhkan benih kecintaan terhadap tafsir di jiwanya. Maka ketika belajar di Universitas al-Azhar Mesir, dia bersedia untuk mengulang setahun guna mendapatkan kesempatan melanjutkan studinya di jurusan tafsir, walaupun kesempatan emas dari berbagai jurusan di fakultas lain terbuka untuknya.[5]
Ayahnya senantiasa menjadi motivator baginya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih lanjut. Mengenang ayahnya M. Quraish Shihab menuturkan: “Beliau adalah pecinta ilmu. Walau sibuk berwiraswasta, beliau selalu menyempatkan diri untuk berdakwah dan mengajar. Bahkan belaiu mengajar di masjid. Sebagian hartanya benar-benar dipergunakan untuk kepentingan ilmu. Beliau menyumbangkan buku-buku bacaan dan membiayai lembaga-lembaga pendidikan Islam di wilayah Sulawesi”.[6]
Kesuksesan M. Quraish Shihab dalam karier tidak terlepas dari dukungan dan motivasi keluarga. Fatmawati istrinya, adalah wanita yang setia dan penuh cinta kasih dalam mendampinginya memimpin bahtera rumahtangga. Kemudian anak-anak mereka Najela, Najwa, Nasywa, Nahla dan Ahmad adalah pihak-pihak yang turut andil bagi keberhasilannya.[7]

2.    Riwayat Pendidikan M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Ujung Pandang. Sejak masa kanak-kanak M. Quraish Shihab telah terbiasa mengikuti pengjian tafsir yang diasuh ayahnya. Kemudian ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Fiqhiyyah.[8]
Pada Tahun 1958, ketika usianya 14 tahun ia berangkat ke Kairo, Mesir. Ia diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Sembilan tahun kemudian ketika ia berusia 23 tahun pada tahun 1967, pendidikan strata satu diselesaikan di Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits. Dua tahun kemudian pada tahun 1969 gelar MA diraihnya di universitas yang sama,[9] dalam spesialis bidang tafsir Al-Qur’an dengan tesis berjudul al-I’jaz al-Tasyri’I li Al-Qur’an al-Karim.[10]
Kepulangannya ke Indonesia setelah membawa pulang gelar S2 ini, oleh ayahnya Quraish Shihab ditarik sebagai Dosen IAIN Alauddin Makasar, kemudian mendampingi ayahnya sebagai wakil rektor (1972-1980). Semasa mendampingi ayahnya yang berusia lanjut, ia menjabat sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertis) wilayah VII Indonesia Timur.[11]
Pada tahun 1980 M. Quraish Shihab kembali lagi ke Universitas Al-Azhar untuk menempuh program doctoral. Hanya dua tahun waktu yang dibutuhkannya untuk merampungkan jenjang pendidikan strata tiga itu. Pada tahun 1982 dengan disertasi berjudul Nazhm al-Durar li al-Baqa’iy, Tahqiq wa Dirasah. Dia meraih gelar doctornya dengan nilai akademik terbilang istimewa. Yudisiumnya mendapat predikat summa cum laude dengan penghargaan tingkat I. walhasil, ia tercatat sebagai orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doctor dalam  ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas Al-Azhar.[12]

3.    Riwayat Karir M. Quraish Shihab
Sekembalinya ke Indonesia setelah meraih Doktor dari al-Azhar sejak tahun 1984 M. Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana dan akhirnya jadi Rektor IAIN yang sekarang menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1992-1998). Pada tahun 1970 M. Quraish Shihab juga sempat dipercaya untuk memegang jabatan sebagai pembantu rektor bidang akademisi dan kemahasiswaan pada IAIN Alauddin Makasar (1974-1980).
Selain itu di luar kampus dia juga di percaya untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat tahun (1985-1998), anggota Lajnah Pentashih Al-Qur’an Depatemen Agama (1989-sekarang), Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1988-1996). Anggota MPR RI (1992-1987, 1987-2002), anggota Badan Akreditasi Nasional (1994-1998), Direktur Pengkaderan Ulama MUI (1994-1997), anggota Dewan Riset Nasional (1994-1998), anggota Dewan Syari’ah Bank Muamalat Indonesia (1992-1999) dan Direktur Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta. Guru Besar Ilmu Tafsir di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1993). Beliau juga pernah menjabat sebagai mentri agama RI masa pemerintahan Soeharto. Pada masa pemerintahan BJ. Habibi ia mendapat jabatan baru sebagai duta besar Indonesia untuk pemerintah Mesir, Jibuti dan Somalia. Pernah juga ia meraih bintang maha putra.[13]
Keilmuan yang dimiliki Qurais Shihab mengantarnya terlibat dalam beberapa organisasi profesional antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah; Pengurus Konsorsum Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Mulsim Indoneisa (ICMI).  Di sela-sela kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.[14]
Meski disibukkan dengan berbagai aktifitas akademik dan non-akademik, M. Quraish Shihab masih sempat menulis. Bahkan ia termasuk penulis yang produktif, baik menulis di media massa maupun menulis buku. Di harian Pelita ia mengasuh rubrik “Tafsir al-Amanah”. Ia juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama.[15]

4.    Karya-karya M. Quraish Shihab
Karya-karya tulis ilmiah M. Quraish Shihab sangat banyak. Pemikiran dan penafsirannya mewarnai tulisan dan buku yang diterbitkan. Mufassir yang diangkat menjadi Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga aktif dalam berbagai forum keilmuan Islam. Beliau mengisi berbagai forum keislaman terutama dalam Tafsir dan bidang literatur pemikiran Islam. Karya-karyanya tersebar, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negeri tetangga, seperti Malaysia dan Brunai Darussalam. Diantara karya-karya itu adalah sebagai berikut:
  1. Karya Ilmiah M. Quraish Shihab dibidang ilmu Tafsir antara lain :
1.        Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung pandang, IAIN Alauddin, 1984)
2.        Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994);
3.        Membumikan al-Qur'ân Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati, Februari 2011);
4.        Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996);
5.        Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996);
6.        Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997);
7.        Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999);
8.        Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (15 Volume, Jakarta: Lentera Hati, 2003);
9.        Al Lubab; Tafîr Al-Lubâb; Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur'ân (Boxset terdiri dari 4 buku) (Jakarta: Lentera Hati, Juli 2012)
10.    Al-Lubâb; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fâtihah dan Juz 'Amma (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2008);
11.    Al-Qur'ân dan Maknanya; Terjemahan Makna disusun oleh M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2010);
b.      Karya Tulis yang telah diterbitkan diantaranya:
1.        Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (1994)[16]
2.        Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Karya ini merupakan kumpulan makalah dan artikel selama rentang waktu tahun 1976-1992. Isinya mengenai berbagai persoalan kehidupan.[17]
3.        Untaian Permata buat Anakku: Pesan Al-Qur’an untuk Mempelai (Bandung: al-Bayan, 1995). Latar belakang terbitnya buku ini adalah permintaan putrinya yang akan melangsungkan pernikahan. Anak putrinya mengharapkan agar ayahnya menggoreskan pena untuk mereka, nasehat dan petuah yang berkaitan dengan peristiwa bahagia yang akan mereka hadapi.[18]
4.        Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: 1994). Isinya merupakan kumpulan rubric “Pelita Hati”, yang diasuhnya pada harian Pelita, yang terbit di Ibukota.[19]
5.        Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 1996). Buku tersebut berisi wawasan Al-Qur’an tentang pokok-pokok keimanan, kebutuhan pokok manusia dan masyarakat, aspek-aspek kegiatan manusia, soal-soal penting umat.[20]
6.        Sahur Bersama M. Quraish Shihab di RCTI (Bandung: Mizan, 1997). Buku ini memuat dua puluh topic yang semuanya berkaitan dengan puasa dan dikemas dengan metode dialog.[21]
7.        Mu’jizat Al-Qur’an ditinjau dari aspek kebahasan, Isyarat Ilmiah dan pemberitaan ghaib (1997)
8.        Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Ibadah dan Muamalah (Bandung: Mizan, 1999). Berisi kumpulan jawaban atas pertanyaan seputar shalat, puasa, zakat dan haji yang diajukan oleh pembaca harian republika melalui rubric dialog jum’at.[22]
9.        Tafsir al-Mishbah: Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000).
10.    Perempuan (2005). Dalam buku ini dijelaskan berbagai persoalan yang menjadi bahan pembicaraan dan diskusi tentang perempuan.[23]
11.    Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1998);
12.    Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998);
13.    Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999);
14.    Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999);
15.    Panduan Puasa bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit Republika, Nopember 2000);
16.    Panduan Shalat bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit Republika, September 2003);
17.    Anda Bertanya,Quraish Shihab Menjawab Berbagai Masalah Keislaman (Mizan Pustaka)
18.    Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987);
19.    Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987);
20.    Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990);
21.    Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departemen Agama);
22.    Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur'an (Bandung; Mizan, 1999)
23.    Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000);
24.    Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT. (Jakarta: Lentera Hati, 2003)
25.    Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
26.    Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan di balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
27.    Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
28.    Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
29.    Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
30.    Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
31.    Wawasan al-Qur'an Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
32.    Asmâ' al-Husnâ; Dalam Perspektif al-Qur'an (4 buku dalam 1 boks) (Jakarta: Lentera Hati);
33.    Sunnah - Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2007);
34.    M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008);
35.    M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2010);
36.    Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, dalam sorotan Al-Quran dan Hadits Shahih (Jakarta: Lentera Hati, Juni 2011);
B.       TAFSIR AL-MISHBAH
            Karya yang paling monumental M. Quraish Shihab ialah Tafsir al-Mishbah. Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini mulai ditulis pada hari Jum’at tanggal 4 Rabi’ul Awal 1420 H/18 Juni 1999 M di Kairo dan selesai pada hari Jum’at tanggal 8 Rajab 1423/5 September 2003 M di Jakarta.[24] Tafsir al-Mishbah adalah sebuah tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz lengkap. Penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khazanah pemahaman dan penghayatan umat Islam terhadap rahasia makna ayat Allah swt.[25] Tafsir yang berbahasa Indonesia ini merupakan Tafsir yang banyak dikaji para intelektual Islam nusantara. Beberapa hal yang berkaitan dengan Tafsir al-Mishbah, antara lain:

1.        Motivasi Penulisan Tafsir al-Mishbah
Motivasi penulisan tafsir al-Mishbah diantaranya adalah keprihatinan M. Quraish Shihab atas sikap yang berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia tentang ketertarikannya terhadap Al-Qur’an, tetapi sebagian besar mereka hanya berhenti pada pesona bacaan Al-Qur’an ketika dilantunkan, seakan-akan kitab suci ini diturunkan hanya untuk dibaca. Padahal tidak hanya dibaca, hendaknya disertai dengan kesadaran bertadzakkur dan bertadabbur. Selain itu tidak sedikit umat islam di Indonesia memiliki ketertarikan luar biasa terhadap makna-makna Al-Qur’an, namun dihadapkan pada kendala waktu yang tidak cukup untuk terlebih dahulu membekali diri dengan ilmu pendukung guna memahami Al-Qur’an secara langsung dan langkanya buku-buku rujukan yang memadai dari segi cakupan informasi, kejelasan dan bahasa yang tidak bertele-tele mengenai Al-Qur’an.[26]
Dari kenyataan tersebut melahirkan motivasi M.Quraish Shihab untuk menulis sebuah tafsir Al-Qur’an untuk membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar mengenai pesan-pesan Al-Qur’an. Maka ditulislah Tafsir al-Mishbah yang salah satu kekuatannya terletak pada kemampuannya menjelaskan tema pokok surah-surah Al-Qur’an dan tujuan utama dari pesan-pesan yang terdapat dalam ayat-ayatnya, dengan harapan bisa menjadi penerang bagi mereka yang mencari petunjuk dan pedoman hidup.[27]

2.        Motivasi Penamaan Tafsir al-Mishbah
Keputusan pengarang memilih kata al-Mishbah untuk menamai kitab tafsirnya bisa ditelusuri dalam kata pengantar karya tersebut. Di sana ditemukan penjelasan mengenai arti kata al-Mishbah, yaitu lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yang intinya adalah memberi penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Dengan memilih nama ini, bisa diduga, dengan tafsirnya tersebut Muhammad Quraish Shihab berharap dapat memberikan penerangan kepada siapa saja yang sedang mencari petunjuk dan pedoman hidup, terutama mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara langsung karena kendala bahasa.[28]

3.        Metode Penafsiran
Setidaknya ada tiga metode penafsiran yang digunakan oleh M. Quraish Shihab. Tiga metode penafsiran ini telah berkembang di kalangan penulis tafsir al-Qur’an, yaitu metode tahlili, muqaran dan maudhu’i. metode pertama dilakukan dengan cara menafsirkan berdasarkan urutan ayat yang ada pada al-Qur’an. Metode kedua yang merupakan metode komparatif dilakukan dengan cara memaparkan berbagai pendapat orang lain, baik yang klasik maupun pendapat kontemporer. Akhirnya metode semi maudhu’i dilakukan dalam bentuk memberikan penjelasan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar disekeliling ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar. Mengenai alasan mengapa ia menggabungkan ketiga metode penafsiran secara sekaligus, dijelaskan di dalam muqaddimah tafsirnya.[29]

4.        Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran yang digunakan pada tafsir al-Mishbah ada dua: pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari fatwa dan pendapat para ulama, baik ulama terdahulu maupun ulama kontemporer.[30] Selain mengutip pendapat para ulama, ia juga mempergunakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW sebagai bagian dari tafsir yang dilakukannya. Oleh karena itu tafsir al-Mishbah ini dapat dikategorikan sebagai tafsir bi al-Ra’yi.[31]



5.        Corak Tafsir
Sesuai dengan maksud penulisannya sebagai penerang bagi para pencari petunjuk dan pedoman hidup, tafsir ini memiliki corak adabi ijtima’i, yaitu tafsir yang memeiliki kecenderungan menginterpretasi persoalan seputar sosial kemasyarakatan atau tafsir yang hadir dengan senantiasa memberikan jawaban terhadap segala sesuatu yang menjadi persoalan umat, sehingga dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an memang sangat tepat untuk dijadikan pedoman dan petunjuk. Al-Qur’an dalam pandangan M.Quraish Shihab memiliki tiga aspek: 1) aspek aqidah, 2) aspek syariah dan 3) aspek akhlak. Dalam upaya pencapaian ketiga aspek ini, Al-qur’an memiliki 3 cara, yaitu:[32]
a.         Perintah untuk memperhatikan/ber-tadabbur terhadap alam raya;
b.         Perintah untuk mengamati pertumbuhan dan perkembangan manusian;
c.         Kisah-kisah (sebuah pelajaran, uswah, ibrah da sekaligus peringatan lembut);
d.        Janji serta ancaman baik duniawi maupun ukhrawi.
Corak tersebut sangat terlihat jelas, sebagai contoh ketika Quraish Shihab menafsirkan kata هوناَ  dalam surat al-Furqan ayat 63:
ߊ$t7Ïãur Ç`»uH÷q§9$# šúïÏ%©!$# tbqà±ôJtƒ n?tã ÇÚöF{$# $ZRöqyd #sŒÎ)ur ãNßgt6sÛ%s{ šcqè=Îg»yfø9$# (#qä9$s% $VJ»n=y
dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.

“Kata (هوناَ) human berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah masdar/indifinite nun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemaha lembutan. Kini, pada masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam pengertian kata (هوناَ) human, disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri hingga dengan cepat dan melecehkan kiri dan kanannya. Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan tergesa-gesa. Karena Nabi Muhammad saw, dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.
Orientasi kemasyarakatan dalam tafsir ini nampak jelas pada sorotannya atas masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Penjelasan-penjelasan yang dihidangkan hampir selalu relevan dengan persoalan-persoalan yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, penjelasan-penjelasan tersebut dimaksudkan sebagai upaya menangani atau sebagai jalan keluar dari masalah-masalah tersebut.[33]
Diantara penafsiran tentang corak sosial-kemasyarakatan tercermin pada penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat berikut:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Laksanakanlah shalat (dengan sempurna), dan tunaikan zakat, serta rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”

Pada ayat diatas, M. Quraish Shihab menyebutkan perinth utamanya ialah menunaikan shalat dengan sempurna memenuhi rukun dan syaratnya serta berkesinambungan dan menunaikan zakat dengan sempurna tanpa mengurangi dan menangguhkan serta menyampaikan zakat tersebut dengan baik kepada yang berhak menerimanya. Dua kewajiban pokok tersebut merupakan suatu tanda harmoni antara hubungan baik dengan Allah dan hubungan baik terhadap manusia. Keduanya ditekankan, sementara potongan ayat setelahnya, yang berbunyi rukuklah bersama orang-orang yang rukuk; berarti tunduk dan taatlah kepada Allah swt sebagaimaa orang-orang yang tunduk kepada Allah. [34]

6.    Sistematika Penulisan 
Sebelum mulai menafsirkan surah, M. Quraish Shihab terlebih dahulu memberi pengantar. Isinya antara lain, nama surah dan nama lain surah tersebut, jumlah ayat (terkadang disertai penjelasan tentang perbedaan penghitungan dan sebabnya), tempat turun surah (makiyyah dan madaniyyah) disertai pengecualian ayat-ayat yang tidak termasuk kategori, alasan penamaan surah, nomor surah berdasarkan urutan mushaf dan urutan turun, tema pokok, keterkaitan atau munasabah antara surah sebelum dan sesudahnya dan sebab turunnya ayat.[35]
Setelah menyajikan pengantar, M. Quraish Shihab mulai menafsirkan dengan menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan urutan bacaan mushaf. Hal ini dilakukannya untuk membuktikan bahwa ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur’an mempunyai keserasian yang sempurna dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. M. Quraish Shihab adalah salah satu mufassir yang sangat memberikan perhatian besar kepada munasabatul ayat. Hal ini dapat dilihat dalam seluruh penafsirannya yang selalu berusaha mengaitkan kata demi kata dalam surah, kaitan kandungan ayat dengan fashilat yakni penutup ayat, kaitan hubungan ayat dengan ayat berikutnya, kaitan uraian awal satu surah dengan penutupnya, kaitan penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya dan juga kaitan tema surah dengan nama surah.[36]
            Sistematika yang digunakan dalam penulisan tafsirnya adalah sebagai berikut:
Ø  Dimulai dengan penjelasan surat secara umum
Ø  Pengelompokkan ayat sesuai tema-tema tertentu yang disesuaikan dengan tema besar keterkaitan ayat-ayat tersebut, lalu diikuti uraian ayat, terjemah dan tafsir ayat
Ø  Munasabah antara ayat/tema ayat-ayat sebelumnya dengan ayat yang akan ditafsirkan.
Ø  Menguraikan kosakata yang dianggap perlu dalam penafsiran makna ayat
Ø  Penyisipan kata penjelas sebagai penjelasan makna atau sisipan tersebut merupakan bagian dari kata atau kalimat yang digunakan Al-Qur’an
Ø  Ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW yang dijadikan penguat atau bagian dari tafsirnya hanya ditulis terjemahannya saja
Ø  Menjelaskan ayat dengan penafsiran M. Quraish Shihab dan juga menyuguhkan penafsiran mufassir-mufassir lainnya, sebagian besar diungkapkan untuk tujuan memperkuat atau mengkopromikan penafsiran-penafsiran tersebut
Ø  Menutup penafsiran satu ayat dengan memaparkan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dan ayat sesudahnya.[37]
              Tafsir al-Mishbah terdiri dari 15 volume, dengan rincian:
v  Volume 1 : Al-Fatihah s/d Al-Baqarah, Halaman : 624 + xxviii halaman
v  Volume 2 : Ali-‘Imran s/d An-Nisa, Halaman : 659 + vi halaman
v  Volume 3 : Al-Ma’idah, Halaman : 257 + v halaman
v  Volume 4 : Al-An’am, Halaman : 367 + v halaman
v  Volume 5 : Al-A’raf s/d At-Taubah, Halaman : 765 + vi halaman
v  Volume 6 : Yunus s/d Ar-Ra’d, Halaman : 613 + vi halaman
v  Volume 7 : Ibrahim s/d Al-Isra’, Halaman : 585 + vi halaman
v  Volume 8 : Al-Kahf s/d Al-Anbiya’, Halaman : 524 + vi halaman
v  Volume 9 : Al-Hajj s/d Al-Furqan, Halaman : 554 + vi halaman
v  Volume 10 : Asy-Syu’ara s/d Al-‘Ankabut, Halaman : 547 + vi halaman
v  Volume 11 : Ar-Rum s/d Yasin, Halaman : 582 + vi halaman
v  Volume 12 : Ash-Shaffat s/d Az-Zukhruf, Halaman : 601 + vi halaman
v  Volume 13 : Ad-Dukhan s/d Al-Waqi’ah, Halaman : 586 + vii halaman
v  Volume 14 : Al-Hadid s/d Al-Mursalat, Halaman : 695 + vii halaman
v  Volume 15 : Juz ‘Amma, Halaman : 646 + viii halaman

7.        Referensi Tafsir al-Mishbah
Banyak pandangan mufassir yang dikemukakan oleh M. Quraih Shihab. Sebagaimana madzhab mufassir, sebagian besar merupakan kalangan dari Sunni, meski demikian adapula pandangan yang didiskusikan dalam penafsirannya dari Syi’i . Diantara referensi yang digunakan M. Quraish Shihab dalam tafsirnya ialah[38]:
*   Tafsir Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i (karya tafsir yang masih berbentuk manuskrip dan sekaligus bahan disertasi M. Quraish Shihab)
*   Tafsir Mutawalli al-Sya’rawi
*   Tafsir Fi Dzilalil Qur’an karya Sayyid Qutb
*   Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur
*   Tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i
*   Jawahir fi Tafsir al-Qur’an Karim karya Thanthawi Jauhari
*   Al-Kasysyaf karya az-Zamakhsary
8.        Kelebihan dan Kekurangan Tafsir al-Mishbah
Di antara kelebihan yang terdapat dalam Tafsir al-Misbah adalah:
*   Penafsirannya yang bersifat konstekstual didasarkan pada pendekatan sosiologis-antrpologis yang memberikan kemudahan kepada pembacanya untuk memahami makna yang tersirat di dalam al-Qur'an.[39]
*   Dalam menganalisis hal kebahasan sangat bagus karena ditampilkan juga pendapat para ulama seputar kebahasan itu.
*   menjelaskan munasabah secara luas dan rinci.
Sedangkan diantara kekurangannya adalah:

*   Banyaknya menampilkan pendapat para ulama tetapi tidak menyimpulkan pendapat yang unggul sehingga untuk kalangan awam akan membingungkan.


9.    Contoh-Contoh Penafsiran
Ayat Aqidah (QS. Al-Baqarah: 29):
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia-lah ( Allah), yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu kemudian Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

           Kata اسْتَوَى berarti tegak, lurus, tidak bengkok. Kemudian kata itu dipahamii secara majazi yang berarti menuju ke sesuatu dengan cepat dan penuh tekad bagaikan yang berjalan tegak lurus tidak menoleh ke kiri dan ke kanan. Makna Allah menuju ke langit adalah kehendak-Nya untuk mewujudkan sesuatu seakan-akan kehendak tersebut seperti seseorang yang yang menuju kepada sesuatu untuk mewujudkannya dalam bentuk seanggun mungkin dan sebaik mungkin. Karena itu, potongan kalimat setelahnya,  (فَسَوَّاهُنَّ)   yakni lalu dijadikan-Nya dalam bentuk sebaik mungkin tanpa aib atau kekurangan sedikitpun. Beliau lalu mengutip pendapat Sayyid Qutb, dan menyimpulkannya bahwa tidak ada tempat untuk mempersoalkan hakikat maknanya, karena kta itu adalah lambing yang menunjukkan ‘kekuasaan’. Demikian juga halnyya dengan berkehendak menuju penciptaan sebagaimana tidak ada tempat membahas apa yang dimaksud dengan ‘tujuh langit’ serta bentuk jaraknya. Cukup kita memahami bahwa pesan ayat ini mengecam orang-orang kafir yang mempersekutukan Allah padahal Dia pencipta Yang Menguasai alam raya.[40]

Ayat Fiqh (QS.Al-Baqarah: 185 )
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’n sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang ha dan yang batil). Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negri tempat tinggalnya) bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblahh baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari lain. Allah Maha menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu, supaya kamu bersyukur.”

           Beberapa hari yang ditentukan yakni dua puluh Sembilan atau tiga puluh hari saja selama bulan Ramadhan. Bulan tersebut dipilih karena ia bulan yang mulia. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia terkait akidah dan juga penjelasan-penjelasan petunjuk itu dalam rincian hukum-hukum syariat. Banyak nilai universalnya, namun nilai-nilai itu dilengkapi dengan penjelasan mengenai petunjuk, keterangan dan rinciannya. Penegasan Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan menisyaratkan sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari Al-Qur’an selama bulan Ramadhan. Quraish Shihab kemudian menerangkan tentang kawasan-kawasan yang dapat melihat bulan sabit. Ia juga menerangkan jarak waktu antara terlihatnya bulan di berbagai benua dengan Indonesia. Ia menjelaskan kajian ilmiah tentang fenomena dan proses perhitungan awal bulan ramadhan dan juga kajian selisihnya bulan Hijriah dan Masehi. Terkait keringanan qadha puasa dihari lain, Quraish Shihab berpandangan bahwa tujuannya agar puasa 29 atau 30 hari tersebut dapat terpenuhi. Ia melanjutkan ayat diatas merupakan penjelasan tentang hokum berpuasa Ramadhan, keistimewaan, manfaat, waktu dan bilangannya. Kewajiban berpuasa sangat jelas, karena jika ada halangan yang menundanya wajib baginya untuk menggantikan puasa ramadhan tersebut. Quraish Shihab menutup penafsirannya dengan uraian hadis qudsi; Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan member ganjarannya.[41]
Ayat Israiliyyat (QS. Al-Kahfi : 65 )                         
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah kami anugrahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya dari sisi Kami ilmu.”

           Siapakah abd’ atau ‘hamba’ dalam ayat diatas? Quraish Shihab berpandangan banyak ulama berpendapat bahwa hamba Allah yang dimaksud diatas ialah nabi yang bernama al-Khidr. Tetapi riwayat tentang beliau sangat beragam dan seringkali dibumbui dengan hal-hal yang bersifat irrasional. Apakah beliau Nabi/bukan, dari Bani Isra’il atau bukn, masih hidup atau telah wafat, Quraish Shihab hanya menyebutkan, rinciannya bisa dibaca diseian buku Tafsir. Kada al-Khidr sendiri bermakna hijau. Nabi saw bersabda bahwa penamaan itu desebabkan karena suatu ketika ia duduk di atas bulu yang berwarna putih, tiba-tiba bulunya berubah menjadi hijau (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah). Quraish Shihab menambahkan agaknya penamaan seta warna itu adalah sebagai symbol keberkahan yang menyertai hamba Allah yang istimewa ini.[42] Dari ayat kisah diatas, terlihat bahwa M. Quraish Shihab tidak banyak mengutip kisah-kisah israiliyyat dalam penafsiran ayat dan kisah. Ia cenderung rasional dan mencoba membawa nilai-nilai yang terkandung dalam suatu ayat dengan konteks zaman sekarang. Penafsiran tentang ayat diatas misalnya, Quraish Shihab menjelaskan lebih jauh tentang keilmuan dan ilmu ladunniy. Isyarat tentang ilmu ladunniy menurutnya ada dalam ayat lain yakni QS. Al—Alaq: 4-5.


PENUTUP

Kesimpulan

1.   Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944. Putra dari Abdurrahma Shihab, seorang guru besar ahli tafsir. Ayahnya adalah motivator sejak kecil dalam mendalami ilmu-ilmu Al-Qur’an. Sejak kecil ia sudah memperdalami ilmu agama hingga sampai pendidikan tingkat perguruannya di selesaikan dalam bidang Tafsir Al-qur’an di Kairo, Mesir. Ia termasuk ulama yang produktif dalam menulis, berbagai karyanya telah diterbitkan dan dikenal terutama di wilayah Nusantara. Pendiri Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) ini masih aktif dalam berbagai kegiatan akademik dan juga penafsiran.
2.   Tafsir al-Mishbah merupakan karya yang paling monumental. Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini mulai ditulis pada hari Jum’at tanggal 4 Rabi’ul Awal 1420 H/18 Juni 1999 M di Kairo dan selesai pada hari Jum’at tanggal 8 Rajab 1423/5 September 2003 M di Jakarta. Pengarang Tafsir bercorak al-Adabi al-Ijtima’i ini menghabiskan waktunya selama 4 tahun dalam menyusun karya monumental ini. Metode yang digunakan adalah perpaduan antara tiga metode (tahlili, muqarran dan maudhu’i). Tafsir al-Mishbah adalah tafsir yang memberikan perhatian besar kepada munasabatul ayat. Tafsir Al-Mishbah termasuk tafsir bi al-Ra’yi dengan corak adabi ijtima’i. Adapun sistematika yang digunakan dalam penafsirannya ialah dengan mengumpulkan beberapa ayat yang memiliki satu kesatuan tema, menafsirkan berdasarkan kronologi ayat dan mengaitkan keterpautan satu ayat dengan lainnya.


[1] Metode tafsir Maudhu’i (Tematik) yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang berbicara tentang suatu masalah serta mengarah kepada suatu pengertian dan satu tujuan sekailpun ayat-ayat itu cara turunnya berbeda. Kemudian ia menentukan urutan ayat-ayat itu sesuai masa turunnya,  sabab nuzulnya, menguraikannya dengan sempurna, menjelaskan makna dan tujuannya, mengkaji seluruh segi yang dapat diistinbathkan darinya, segi i’rabnya, unsur balaghohnya, segi i’jaznya, dan lainnya sehingga satu tema dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat al-Qur’an. Lihat. Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta,PT Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. II, Hal. 78
[2] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Illahi, Hidup Bersama Al-Qur’an, ( Bandung, Mizan, 2007), h. ix
[3] Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, (Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008), Cet. I, h.31.
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 2007), Cet. II, h. 19-20.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, h.14
[6] Sri Tuti Rahmawati, Hidayah dalam Penafsiran M. Quraish Shihab, Skripsi, Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, h.10-11. Tidak diterbitkan.
[7] Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h. 32.
[8] Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h. 32.
[9] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 237.
[10] Sri Tuti Rahmawati, Hidayah dalam Penafsiran M. Quraish Shihab, h. 12, (t.d).
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, h.14
[12] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 237.
[13] Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h. 35-36.
[14] M. Bibit Suprapto,. Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Galeri Media Indonesia. 2010, h. 669
[15] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 238.
[16] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), cet. VII, h. 166.
[17] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h.13.
[18] M. Quraish Shihab, Untaian Permata Buat Anakku: Pesan Al-Qur’an Untuk Mempelai, (Bandung: Mizan, 1998) cet. IV, h. 5.
[19] M. Quraish Shihab, Lentera Hati dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan, 1997), h. 5.
[20] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. xi.
[21] M. Quraish Shihab, Sahur Bersama M. Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1997), h.5.
[22] M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan, 1999), h. vii.
[23] M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. xiii.                                        
[24] Sri Tuti Rahmawati, Hidayah dalam Penafsiran M. Quraish Shihab, h. 14, (t.d).
[25] Yusuf Muslim Handoyo, Skripsi: Konsep Adil menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, (Surakarta, 2011), h.19
[26] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. I, h. viii-x
[27] Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h. 28
[28] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. I, h. xi
[29] Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h. 30
[30] Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. xii
[31] Sri Tuti Rahmawati, Hidayah dalam Penafsiran M. Quraish Shihab, h. 19, (t.d).
[32] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. I, h. Viii-x
[33] Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h. 29
[34] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. I, h.176
[35] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 238
[36] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. I, h. xxii-xxiii
[37] Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab,  h.31
[38] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. I, h. xiii
[39] Hasan Baharun, Kajian Tentang Tafsir al-Mishbah, diunduh pada hari Selasa tanggal 21 April  2015 pukul 19:35 WIB  http://hasanbaharun.blogspot.com/p/kajian-tafsir-al-misbah.html
[40] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. I, h. 138-139
[41] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. I, h. 403-407
[42] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. VIII, h. 94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMPATIBILITAS SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA DENGAN TEKS AL-QUR’AN

Oleh : Lutfiyatun Nakiyah PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Sistem politik pemerintahan berkembang demikian pesatnya dari masa...