Oleh:
Lutfiyatun Nakiyah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wajah muram
maraknya praktek korupsi di Indonesia kian hari makin terkuak. Satu persatu
koruptor diadili dengan menuntun sederetan nama panjang layaknya gerbong kereta
api. Korupsi ini biasanya memang suatu praktek pengambilan keuntungan secara
berjama’ah oleh para birokrat yang tidak amanah. Miris memang mengingat
perjalanan Indonesia kesejahteraan Indonesia ternyata dihambat oleh para
pengatur Negara. Indonesia setidaknya masih menempati urutan ke 107 dai 177
negara terkorup di Dunia.[1]
Laporan transparency International (TI) ini mengasumsikan setidaknya Indonesia
memiliki skor 34 dengan skala 0-100.
Korupsi
merupakan salah satu indikasi rapuhnya system pemerintahan Indonesia. Tidak hanya
Indonesia, Negara-negara dengan peringkat korupsi tertinggi semisal Somalia,
Korea Utara dan lainnya umumnya memiliki tingkat kesejahteraan dan pendidikan
yang rendah. Penyakit korupsi ini pada decade belakangan menjadi sorotan
politik yang menarik. Banyak Negara memberikan sanksi yang tegas terkait
korupsi, sebagaimana yang terjadi di China. Sejak tahun 2000, pemerintah China
menerapkan hukuman seumur hidup bahakan hukuman mati terhapa koruptor.[2]
Ribuan koruptor telah dieksekusi mati. Ketegasan dalam penerapan hukum ini
mampu memulihkan stabilitas keuangan Negara tahap demi tahap.
Bagaimana
Islam menyoroti kasus-kasus korupsi ini? Secara implisit Al-Qur’an telah
menyinggung persoalan terkait tema-tema korupsi. Diantaranya ialah QS. Al-Nisā:
29-30 tentang larangan memakan harta sesama dengan cara yang batil, atau
dalam QS.Ali Imrān: 161 dan QS. Al-Baqarah:
188. Dalam tulisan ini, penulis akan coba menelaah beberapa hadis terkait
korupsi.
B. Rumusan Masalah
Mengingat banyaknya persoalan tentang korupsi, penulis
akan membatasi kajian hadis risywah dan keterkaitannya dengan korupsi
dengan satu rumusan persoalan:
1.
Bagaimana kualitas dan Fiqh Hadis risywah dalam Sunan Abu Daud
dan at-Tirmidzi?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Risywah dalam
konteks korupsi
Sebelum masuk pada
pembahasan risywah, penulis akan mengulas wacana korupsi. Dalam konteks
kekinian korupsi adalah kejahatan serius yang dapat merusak suatu system atau
tatanan pemerintahan. Perlawanan terhadap korupsi diaplikasikan dalam
pembentukan Undang-undang khusus Tindak Pidana Korupsi (tipikor), system
kelembagaan khusus untuk menyelidiki perkara korupsi, yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan korupsi. Dalam berbagai Negara di
dunia hukuman bagi pelaku korupsipun beragam, dimulai dari penjara hingga
hukuman mati. Secara bahasa ‘korupsi’ berasal dari kata Latin corruptus yang
berarti sesuatu yang rusak atau hancur.[3]
Adapun
dari segi terminologis ada banyak pengertiannya. Dalam wacana klasik korupsi didefinisikan
secara global yaitu the abuse of public office for private gain ‘penyalahgunaan
jabatan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi.’[4]
Syed Hussein Alatas berpendapat bahwa “esensi korupsi adalah pencurian melalui
penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.”[5]
Adapun menurut Robert Klitgaard korupsi meliputi tindakan berupa: 1) memungut
uang atas layanan yang sudah seharusnya diberikan, 2) menggunakan wewenang
untuk mencapai tujuan yang tidak sah, dan 3) tidak melaksanakan tugas karena
lalai tau lupa. Dengan demikian korupsi secara kontekstual mengandung berbagai
unsur kejahatan, diantaranya ialah adanya pengkhianatan kepercayaan,
keserbasrahasiaan/konspirasi, mengandung unsur penipuan terhadap badan publik
atau masyarakat, dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan
khusus, diselubungi berbagai bentuk-bentuk pengesahan hukum, terpusatnya
korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan pasti dan yang dapat
mempengaruhinya.[6]
Korupsi jika ditelaah dari segi
jenisnya, terdapat setidaknya ada 8 jenis korupsi: 1) korupsi transaktif,
yaitu jenis korupsi yang berwujud adanya kesepakatan timbal balik antara
pihak-pihak bersangkutan guna mengupayakan keuntungan bersama. 2) korupsi
ekstortif (pemerasan), yaitu bentuk korupsi di mana pihak pemberi dipaksa
melakukan penyuapan guna mencegah kerugian yang akan mengancam dirinya,
kepentingan, orang-orang atau hal-hal yang penting baginya. 3) korupsi
defensif, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pelaku korban korupsi
pemerasan.4) korupsi investif, yaitu korupsi berwujud pemberian sesuatu
tanpa ada kaitan langsung dengan keuntungan tertentu, selain dari keuntungan
yang dibayangkan di masa depan. 5), korupsi nepotistik perkerabatan),
yaitu kolusi berupa penunjukan tidak sah terhapap teman atau kerabat untuk
menempati posisi dalam pemerintahan, atau memberi perlakukan istimewa kepada
mereka secara bertentangan dengan norma yang berlaku. 6) korupsi otogenik,
yaitu yang dilakukan sendirian tanpa melibatkan orang lain, misalnya membuat
laporan belanja yang tidak benar. Terakhir korupsi suportif (dukungan),
yaitu tindakan yang dimaksudkan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang
sudah ada.[7]
Dengan berbagai jenis korupsi sebagaimana disebut maka suap/risywah memiliki
keterkaitan yang erat dengan korupsi. Istilah lain yang digunakan dalam
al-Qur’an ialah ghulul (QS. Ali Imran/3: 161).
Pada kajian ini penulis akan coba mengulas
unsur risywah yang terdapat dalam korupsi. Risywah/rusywah merupakan
bentuk masdar dari kata rasya yarsyi risywatan/rusywatan. Risywah
bentuk jamaknya Risya, sedangkan Rusywah bentuk jamaknya Rusya. Risywah/rusywah artinya
suap/menyuap. Suap dalam bahasa Arab disebut,
“Risywah”, yaitu apa yang diberikan untuk membenarkan yang batil, atau
membatilkan yang hak.[8] Risywah/rusywah
dalah pemberian dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh seseorang kepada hakim dengan tujuan agar hakim tersebut memihak kepadanya
atau memberikan keputusan yang menguntungkan kepada dirinya. Risywah/rusywah
juga berarti sesuatu pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada pihak-pihak
tertentu dengan maksud agar pihak-pihak tertentu tadi meluluskan atau
mengabulkan apa yang menjadi keinginan dan kepentingannya. Rumusan pertama
terjadi dalam lapangan peradilan dan rumusan kedua terjadi di bidang-bidang
kehidupan lain.[9]
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpandangan bahwa
Suap (Risywah) adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain
(pejabat) dengan maksud meluluskan
suatu
perbuatan yang batil (tidak benar menurut Syari’ah) atau membatalkan perbuatan yang hak (الرِشْوَةُ مَايُحَقِّقُ الْبَاطِلَ أَوْيُبْطِلُ اْلحَقَّ).[10] Dalam
sejarah peradilan Islam disebutkan bahwa risywah ini muncul pada zaman
Abbasiyah. Pada saat itu Lembaga Yudikatif telah banyak dicampuri Lembaga
Eksekutif untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan politiknya. Desakan dan
kepentingan duniawi menggerogoti mentalitas para hakim waktu itu.[11]
B. Hadis-hadis Risywah
1.
Teks
Sunan Abu Daud
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو،
قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي
وَالْمُرْتَشِي»[12]
Diceritakan dari Ahmad Ibn Yunus, diceritakan
Ibn Abi Dzi’b, dari Harits Ibn Abdurrahman dari Abu Salamah dari Abdullah Ibn
Umar, “Rasulullah
melaknat penyuap dan yang menerima suap”.
2.
Teks
Sunan At-Tirmidzi
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ:
حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ فِي الحُكْمِ»[13]
Diceritakan kepada kami dari Qutaibah, ia berkata: ‘diceritakan kepada
kami dari Abu Awanah dari Umar Ibn Abi Salamah dari ayahnya dari Abu Hurairah,
ia berkata: “Rasulullah
melaknat penyuap dan yang menerima suap dalam hukum”’.
حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ العَقَدِيُّ، قَالَ:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ خَالِهِ الحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ.[14]
Abu Musa
Muhammad al-Mutsanna telah bercerita kepada kami, ia berkata: ‘Abu Amir
al-Qa’ady telah bercerita kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Dzi’b telah
bercerita kepada kami dari pamannya al-Harits Ibn Abdurrahman, dari Abi
Salamah, dari Abdullah Ibn Amr, ia berkata: “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima
suap”’.
Dari ketiga teks diatas, dapat
kita lihat bahwa teks hadis riwayat Abu Daud sama persis dengan teks riwayat at-Tirmidzi yang diterimanya
melalui jalur Abdullah Ibn Amr. Sedangkan teks hadis riwayat At-Tirmidzi melalui jalur Abu Hurairah
berbeda dengan teks hadis riwayat
Abu Daud yang menambahkan
kata Fi al-Hukmi.
C. Skema Sanad Hadis
|
|
|
|
|
|
|
|
Skema diatas terlihat
bahwa sanad at-Tirmidzi bertemu dengan sanad Abu Daud pada Ibn Abi Zi’bin yang
memiliki nama lengkap Muhammad Ibn Abdirrahman Ibn al-Mughirah ibn al-Haris
al-Madani.[15]
D.
Biografi Perawi
No
|
Nama Perawi
|
Tanggal Lahir/ Wafat
|
Jarh wa at-Ta’dil
|
1.
|
Abu
Hurairah
|
(w. 59)
|
Ma’ruf
|
2.
|
Abdullah
Ibn ‘Amr
|
(w. 65/68)
|
ü
Abu
Hurairah : integritasnya bahwa tak seorangpun yang lebih baik hadisnya dari
padanya (Abu Hurairah) selain Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash. Dialah sahabat
yang dikenal memiliki shahifah shadiqah.[16]
|
3.
|
Abu
Salamah
|
(w. 94/104)
|
ü Ibn sa’d : siqah, faqih.
ü Abu Zur’ah : siqah imam.
ü Ibn Hibban : siqat[17]
|
4.
|
Al-Haris Ibn A. Rahman
|
(w.129)
|
ü Ibn Hibban : siqah.
ü Al-Nasa’I : laisa bihi Ba’s.
ü Ibn Ma’in : masyhur.
ü Ahmad ibn Hanbal : la ara bihi ba’san.[18]
|
5.
|
‘Amr
Ibn Abi Salamah
|
(w. 214)
|
v Ishaq ibn Manshur dari Ibn Ma’in, : dla’if.
v Abu Hatim mencatat hadisnya, tetapi tidak dapat
dijadikan hujjah. Al-‘Uqaili : hadisnya ada yang salah.
v
Ibn
Hibban : siqat. Malik : siqat.
v Al-Saji mengatakan bahwa ia dla’if[19]
|
6.
|
Abu
‘Awanah
|
(w. 176)
|
v
Abu
Thalib: Asbat (dalam penulisan)
v Ibn Abi Khaisamah dari Ibn Ma’in : Jaizal Hadis.
v Abu Zur’ah : siqah.
v Abu Hatim : shaduq siqah (hafalan)[20]
|
7.
|
Ibn
Abi Zi’bin
|
(w. 158/159)
|
ü Ibn Ma’in menilai Ibn Abi Zi’bin siqah.
ü Ya’qub ibn Syaibah : siqah shaduq.
ü Al-Nasai : siqah.
ü Al-Waqidi : ulama wara’ dan utama.[21]
|
8.
|
Qutaibah
|
(150-240)
|
v
Ibn
Ma’in, Abu Hatim, : siqah. Nasai : siqah dan saduq.
v
Ibn
Hanbal memujinya. Farhayani : saduq.
v al-Khatib: munkar jiddan.[22]
|
9.
|
Ahmad
Ibn Yunus
|
(w.227)
|
ü Bukhari, Muslim, Abu Daud, Abu Hatim, Ibn Sa’d, dan
Ibn Hibban : siqah.
ü Ibn Qani’ : siqah,
man’mun, sabat.[23]
|
10.
|
Abu
‘Amr al-‘Aqadi
|
(w.204)
|
ü Ibn Ma’in : siqah. Abu Hatim : shaduq.
ü Abu ‘Amir : siqah
amin.
ü Ibn Hibban & Ibn Syahin : siqah.
ü Al-Darimi : siqah.[24]
|
11.
|
Abu
Musa Muhammad Ibn al-Musanna
|
(167-252)
|
ü Ibn Ma’in : siqah. Shalil ibn Muhammad : shaduq.
ü Nasa’i : la ba’sa bih.
ü Ibn Kharrasy : asbat.
ü Al-Khatib: siqah, sabat, dan semua imam hadis
menjadikan hadisnya sebagai hujjah.[25]
|
12.
|
Abu
Daud
|
(202-275)
|
Ma’ruf
|
13.
|
At-Tirmidzi
|
(209-279)
|
Ma’ruf
|
E.
Kualitas Hadis
Dengan uraian singkat biografi dan juga jarh wa
at-ta’dil dari para perawi dapat disimpulkan:
1.
Hadis risywah lewat sanad At-Tirmidzi melalui jalur Abdullah ibn
‘Amr ibn al-‘Ash adalah shahih, sebab semua rangkaian sanadnya siqah dan
muttashil. Demikian juga yang melalui sanad Abu Daud.
2.
Hadis risywah lewat sanad At-Tirmidzi melalui jalur Abu Hurairah
adalah dha’if, karena dalam jalur ini ada seorang rawi yang
dinilai dha’if oleh ibn Ma’in, yaitu ‘Amr ibn Abi Salamah. Demikian
kalau kita dalam hal ini memihak Ibn Ma’in. tapi, kalau dalam hal ini kita
mengikuti penilaian Malik dan Ibn Hibban yang memandang ‘Amr ibn Abi Salamah
sebagai siqah, maka hadis tersebut tentu menjadi shahih.
3.
Meski demikian, kedla’ifan pada jalur Abu Hurairah (kalau kita mengikuti
ibn Ma’in dalam menilai ‘Amr ibn Abi Salamah) akan terangkat, sehingga bisa
menjadi hasan, sebab hadis yang sama ternyata shahih menurut sanad dan jalur
yang lain (poin-poin).
4.
Penulis melihat bahwa yang dimaksud At-Tirmidzi dengan ungkapan Hadza
Hadisun Hasanun Shahih kaitannya dengan hadis ini senada dengan apa yang
diungkap oleh Ibn Abi Shalah dalam muqaddimah-nya annahu Hasanun
Binnisbah ila Isnad wa Shahihun Binisbah ila Isnad Akhar.[26]
Selain ketiga hadis di atas, hadis yang berkaitan
dengan risywah ialah hadis tentang hadiah sebagaimana hadis berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا أَبُو
أُسَامَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ،
قَالَ: اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ
الْأَزْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ، يُدْعَى: ابْنَ الْأُتْبِيَّةِ،
فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ، قَالَ: هَذَا مَالُكُمْ، وَهَذَا هَدِيَّةٌ، فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ
أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا»، ثُمَّ
خَطَبَنَا، فَحَمِدَ اللهَ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: " أَمَّا
بَعْدُ، فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا
وَلَّانِي اللهُ، فَيَأْتِي فَيَقُولُ: هَذَا مَالُكُمْ، وَهَذَا هَدِيَّةٌ
أُهْدِيَتْ لِي، أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ
هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا، وَاللهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا
شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ، إِلَّا لَقِيَ اللهَ تَعَالَى يَحْمِلُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللهَ يَحْمِلُ
بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ)....رواه البخاري ومسلم ،واللفظ له([27]
Dari Abi Humaid
as-Sa‘idi r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw mengangkat
seorang lelaki dari suku al-Azd bernama Ibn al-Atbiyyah untuk menjadi pejabat
pemungut zakat di Bani Sulaim. Ketika ia dating menghadap Nabi saw untuk
melaporkan hasil pemungutan zakat), beliau memeriksanya. Ia berkata: Ini harta
zakatmu (Nabi/negara) dan yang ini adalah hadiah (yang diberikan kepadaku).
Lalu Rasulullah saw berkata: Jika engkaubenar, maka apakah kalau engkau duduk
di rumah ayahmu atau di rumah ibumu, hadiah itu datang kepadamu? Kemudian Nabi
saw berpidato, mengucapkan tahmid dan memuji Allah, lalu berkata: Selanjutnya,
saya mengangkat seseorang di antaramu untuk melakukan suatu tugas yang
merupakan bagian dari apa yang telah dibebankan Allah kepadaku. Lalu orang itu
datang dan berkata: Ini hartamu (Rasulullah/negara) dan ini adalah hadiah
yang diberikan kepadaku. Jika ia memang benar, maka apakah kalau ia duduk saja
di rumah ayah dan ibunya, hadiah itu datang kepadanya? Demi Allah, begitu
seseorang mengambil sesuatu dari hadiah itu tanpa hak, maka nanti di hari
kiamat ia akan menemui Allah dengan membawa hadiah (yang diambilnya itu),
lalu saya akan mengenali seseorang darikamu ketika menemui Allah itu, ia
memikul di atas pundaknya unta (yang dulu diambilnya) melengkik atau sapi
melenguh, atau kambing mengembek … (HR al-Bukhari
dan Muslim)
Hadis diatas mengungkapkan sejauh mana konteks larangan suap. Hadiah
yang diberikan kepada seorang pegawai pengumpul pajak, yakni Ibnu Lutbiyah
dianggap sebagai bagian dari risywah dan penyalahgunaan wewenang. Hadiah
pada dasarnya diperbolehkan, namun hadiah yang diberikan untuk tujuan-tujuan tertentu
kepada orang-orang yang memiliki pejabat public dapat menimbulkan hal-hal yang
tidak semestinya. Karena jabatan tersebut dimiliki atas dasar amanah pemberinya
/ rakyat, bukan dimiliki secara personal.
F.
Fiqh Hadis
Suap menyuap sangat berbahaya bagi masyarakat karena
akan merusak system dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dalam berbagai
keputusan dan tata kelola pemerintahan. Ketika suatu ketetapan hukum ditentukan
oleh uang, maka supremasi hukum menjadi goyah dan bahkan tidak tercapai.
Bagaimanapun juga seseorang yang telah menerima suap tidak akan lagi mampu
berlaku adil. Islam melarang perbuatan tersbut serta menggolongkannya dalam
kategori dosa besar, yang dilaknat Allah dan Rasulnya. Tidak saja dalam wilayah
hukum, suap ini juga dilarang dalam berbagai kegiatan. Asy-Syaukani berpendapat
bahwa sesungguhnya keharaman suap adalah mutlak dan tidak dapat ditakhsish.[28]
Ulama telah sepakat bahwa risywah hukumnya
haram baik dalam kaitannya dengan masalah peradilan maupun yang lain. Hukum
haram diistinbath-kan dari adanya laknat/kutukan Rasulullah
Adanya laknat ini menunjukkan bahwa hal itu dilarang (Manhiy). Kaidah
menyatakan al-Nahyu Yadullu ‘ala al-Tahrim. Oleh karena itu maka Risywah
hukumnya haram.[29]
Sebagian ulama berpendirian bahwa risywah yang diberikan oleh
seseorang kepada hakim dengan tujuan agar hakim itu memihak kepadanya dalam
kondisi di mana posisi orang tersebut memang sebagai pihak yang benar, tidaklah
termasuk ke dalam kategori risywah yang diharamkan itu. Pendapat itu
muncul dari sebagian tabi’in.
Dalil yang digunakan ialah
الضرورة تبيح المحضورات
Menurut Syaukani, pendapat tersebut tidak bisa
dibenarkan, sebab hadis di atas ‘Am (umum) dan berlaku sesuai dengan
kemauannya. Menurutnya dalam hal ini tidak ada dalil yang men-takhsish-nya.[30]
Pada saat ini, pemberian hadiah yang secara implisit mengandung unsur
penyuapan disebut juga gratifikasi. Sebagaimana Keputusan Presiden
(Keppres) No. 10 Tahun 1974 Tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam
Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kesederhanaan Hidup, menyatakan bahwa
Pejabat dilarang menerima hadiah atau pemberian lain serupa itu dalam bentuk
apapun kecuali dari suami, isteri, anak, cucu, orang tua, nenek atau kakek
dalam kesempatan-kesempatan tertentu, seperti ulang tahun, tahun baru, lebaran,
natal, dan peristiwa-peristiwa lain yang serupa, kecuali apabila adat.
Dilanjutkan PP 53 Thaun 2010 Tentang Disiplin PNS demikian juga diatur
sanksinya.
Dalil-dalil yang menunjukkan larangan untuk memakan uang yang batil
terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya:
QS. al-Baqarah / 2:188
wur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)Ìsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
“Dan janganlah sebahagian
kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil
dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu Mengetahui.”
Kata ‘Tudlu’
(تدلوا),
diambil dari kata ‘dalwun’, (دلو) yang berarti ember, artinya adalah
mengulurkan ember ke dalam sumur untuk memperoleh air.[31]Unsur
penyuapan sebagaimana ayat diatas ialah adanya upaya dari si pemberi suap
kepada penerima suap (dalam hal ini Hakim/Qadhi/Pejabat Pemerintah) agar
melancarkan/menyelesaikan persoalan pemberi suap/Al-rasyi. Unsur inilah
yang menyebabkan haramnya risywah/hadiah. Penggunaan kata tudlu ini
mengisyaratkan rendahnya martabat hakim yang mau menerima sogokan, seolah-olah
ia berada di dasar sumur menanti uluran dari atas.[32]
Dalam konteks
kekinian penyuapan ini bisa berupa uang sebagaimana uang sejumlah 3 milyar yang
diterima oleh mantan
Ketua Mahkamah Agung
Akil Mokhtar (2/10/2013). Dalam
kasus ini Akil Mokhtar diduga menerima suap terkait perkara sengketa pemilihan
dua kepala daerah, yakni di kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Lebak,
Banten. [33]
Selain menggunakan terminology tudlu
sebagaimana diatas, risywah juga megandung unsur lainnya yaitu al-Ghall
atau kecurangan:
QS. Ali-‘Imrân ayat 161:
$tBur
tb%x. @cÓÉ<oYÏ9
br& ¨@äót 4
`tBur ö@è=øót ÏNù't $yJÎ/
¨@xî
tPöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$# 4
§NèO
4¯ûuqè?
@à2
<§øÿtR
$¨B ôMt6|¡x. öNèdur w tbqßJn=ôàã
“Tidak
mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya.”
Kata
“Yaghlul” (يغلل)
kata dasarnya adalah “al-Ghall”, yang berarti curang, atau mengambil sesuatu
dengan cara sembunyi-sembunyi. Asalnya terambil dari kata agalla al-jazir,
ketika tukang daging menguliti binatang
sembelihan, dia mencuri daging dari binatang tersebut dan menyembunyi-kannya
disela-sela kulit yang dilipatnya. Dari kata ini muncul ungkapan “al-gillu
fi al-Shudur” artinya menyembunyikan kebenaran di hati. Pengkhianatan
dengan cara mengambil harta rampasan perang disebut al-ghulul.[34] Jika dilihat dari modus
operandinya, kegiatan ghulul
sangat mirip dengan pidana korupsi saat ini. Mirip
sebab korupsi adalah penggelapan uang negara.
Para ulama sepakat mengharamkan
memberikan hadiah kepada penguasa, hakim, pejabat dan pegawai penarik
retribusi. al-Qurtubi menguraikan beberapa pendapat para ulama terkait risywah.
Al-Qurtubi
berpandangan bahwa as-Suhtu juga satu bentuk terminologi lain
daripada Risywah. QS. Al-Maidah:
42:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ
أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ
عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Tidak ada perbedaan pendapat
dikalangan Ulama salaf bahwa mengambil risywah untuk membatalkan suatu hak (keputusan yang tidak seharusnya dalam rangka
memenangkan pemberi suap) hukumnya haram. Abu Hanifah dan al-Qurtubi juga
berpandangan bahwa seorang hakim yang menerima suap dalam menentukan
keputusannya, maka keputusannya dianggap batal. Hal ini karena adanya
ketidakobjektifan hakim dalam memutuskan perkara.[35]
Dari uraian
diatas bisa dilihat bahwasanya risywah meliputi beberapa unsur:
a. Adanya Al-Risywah
(pemberi suap, penerima suap serta suap itu sendiri)
b. Ada niat
Istimalah (menarik simpati orang lain)
c. Adanya
tujuan dalam pemberian suap tersebut, diantaranya:
1. Ibţālul ĥaq (membatalkan yang haq)
2. Iĥqāqul bāţil (merealisasikan kebathilan)
3. Al-maĥsūbiyah bighairi ĥaq (mencari keberpihakan yang tidak
dibenarkan)
4. Al-ĥuşūl ‘alal manāfi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan
menjadi haknya)
5. Al-ĥukmu lahu (memenangkan perkaranya)
Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwasanya risywah adalah suatu bentuk perbuatan
yang diharamkan, karena terdapat berbagai unsur kecurangan, pengkhianatan,
kejahatan social dan degradasi moralitas dan rusaknya manajemen pemerintahan
maupun pengadilan. Jika diulas secara keseluruhan beberapa unsur gabungan dalam
konteks risywah diantaranya ialah
hadiah yang mengandung unsur tudlu, ghasab, ghulul dan as-Suĥti. Berbagai
unsur ini berkembang menjadi berbagai tumpang tindih kepentingan dalam membuat
kebijakan dan putusan. Bahkan jika kepentingan yang dimaksukan tidak terjadi
pasca praktek risywah tersebut. Adapun jenis Risywah sendiri
tidak selalu dilakukan secara ber-sama-sama dan dengan membawa kepentingan
orang banyak. Adakalanya dilakukan seorang diri. Meski demikian risywah tetap
tidak dibenarkan / diharamkan. Dalam konteks saat ini, pelaku penyuapan dan
juga pemberian hadiah (gratifikasi) sudah masuk dalam Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Selain itu lembaga Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) selaku pihak yang berhak melakukan penyelidikan dan penyidikan
telah dibentuk. Kasus risywah bukan lagi kejahatan biasa namun sudah
masuk kategori extra ordinary crime. Dunia yang juga menyoroti
kasus-kasus serupa di Negaranya telah menerapkan hukuman mulai dari penyitaan
harta benda, pencopotan jabatan, penjara bahkan hukuman mati. Langkah-langkah
perang melawan korupsi ini tentu patut diapresiasi dan dikawal bersama.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadis Risywah sebagaimana termaktub dalam sunan
Abi Daud dan at-Tirmidzi merupakan hadis shahih dan dapat dijadikan hujjah
li istinbath al-Hukum. Para ulama sepakat bahwasanya hukum risywah
(suap-menyuap) adalah haram hukumnya karena mengandung berbagai unsur
kejahatan. Diantaranya kecurangan, kesewenang-wenangan, penyalahgunaan
wewenang/kekuasaaan (pengkhianatan terhadap rakyat), dan merupakan salah satu
indikasi degradasi moralitas penguasa/hakim. Di Indonesia saat ini praktek risywah
telah diawasi oleh kelembagaan khusus pemerintah yakni Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Adapun tujuan daripada risywah setidaknya mencakup salah satu unsur dibawah
ini; Ibţālul ĥaq (membatalkan
yang haq), Iĥqāqul bāţil (merealisasikan kebathilan), Al-maĥsubiyah
bighairi ĥaq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan), Al-ĥuşūl ‘alal
manāfi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya) dan Al-ĥukmu
lahu (memenangkan perkaranya)
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah ulasan singkat tentang hadis Risywah dan kandungan hadis didalamnya. Jika kita
teliti tema risywah ini bisa diperluas dalam konteks kekinian. Semoga
ulasan singkat ini bisa menjadi suatu bahan diskusi yang dapat menyuguhkan
wacana baru terkait upaya peniadaan paktik risywah. Kritik dan saran
penulis harapkan dalam upaya perbaikan ke depan. Semoga bermanfaat. Amin ..
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim
Al-‘Asqalani, Tahzib
al-Tahzib, India, Dairah al-Ma’arif al-Nidhamiyah, 1327 H, cet. 1,
Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi,
alih bahasa Nitwono Jakarta: LP3ES, 1987
Alatas, Sosiologi
Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, alih bahasa Al-Ghozie
Usman (Jakarta: LP3ES, 1975), h. ix-x.
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari., Beirut: Dar
Ibn Kasir, 1987
Al-Fayumi, al-Misbah
al-Munir, Dar al-Fikr, t.t, juz I, h. 228, Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Dar
al-Fikr, t.t, Juz 9,
Al-Qurthuby, Abu Abdillah Muhammad ibn
Ahmad ibn Abi Bakr bin Farh al-Anshary al-Khazraji Syamsu ad-Din, al-Jami’
li ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964
as-Sijistani, Abu Daud
Sulaiman ibn al-asy’ats ibn Ishaq ibn Basyir ibn Syaddad ibn ‘Amr al-Azdy
as-Sijistani, Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, Juz 3, H. 300, Hadis ke-3580
at-Tirmidzi,
Muhammad ibn Isa bin Saurah ibn ad-Dahak At-Tirmidzi, Abu Musa (w. 279), Sunan
at-Tirmidzi, Beirut: Dar-al-Gharb al-Islami
Depag RI, Al-Qur’an
dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan), Jakarta, Balitbang Agama, 1425
H/2004 M, Cet I
Depag RI, Himpunan
Fatwa MUI, Jakarta, Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, 2003, h. 274.
Hasan
Ibrahim, Tarikh al-Islam, Maktabah Nahdlah, t.t, Juz 2
Horby, Oxford
Advanced Learner’s Dictionary, edisi ke-4 (Oxford: Oxford University
Ibn
Abdurrahim, Abdurrahman, Tuhfatul Ahwazi, Dar al-Fikr, t.t,
Juz, h. 565-566.
Ibrahim,
Hasan, Tarikh al-Islam, Maktabah Nahdlah, t.t, Juz 2, h. 295.
Majma’ al-Lughah
al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Mishr, Dar al-Ma’arif, 1392 H-1972 M
Press, 1989), h. 266, entri ‘corrupt.’
Said, Sudirman dan
Nizar Suhendra, “Korupsi dan Masyarakat Indonesia,”dalam Hamid Basyaib dkk.
(ed.), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 1, Jakarta:
Yayasan Aksara, 2001, h. 99.
Singgih, Duniapun
Memerangi Korupsi Tangerang: Pusat Studi Hukum dan Bisnis Universitas
Pelita Harapan, t.t.
Syafe’i,
Rachmat, al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Laisila,
Laban Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia Resmi Jadi Tersangka Korupsi, http://m.radioaustralia.net.au/indonesia/2013-10-03/ketua-mahkamah-konstitusi-indonesia-resmi-jadi-tersangka-korupsi/1199912
Pengenalan
Gratifikasi http://kpk.go.id/gratifikasi/index.php/information-gratifikasi/111-pengenalan-gratifikasi
Sandy,
Daftar Terbaru Negara Terkorup Dunia, Indonesia? http://m.dream.co.id/news/indonesia-masuk-daftar-negara-terkorup-di-dunia-1412081.html
Tim
Global Future Institute, Marilah Kita Belajar dari Cina Untuk Berantas
Korupsi, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=1059&type=5#.VU0y9VbZFAg
[1] Sandy, Daftar
Terbaru Negara Terkorup Dunia, Indonesia? http://m.dream.co.id/news/indonesia-masuk-daftar-negara-terkorup-di-dunia-1412081.html diakses pada tanggal 1/5/2015, pukul 18:07
[2] Tim
Global Future Institute, Marilah Kita Belajar dari Cina Untuk Berantas
Korupsi, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=1059&type=5#.VU0y9VbZFAg
diakses pada tanggal 1/5/2015, pukul 15:45
Press, 1989), h. 266, entri ‘corrupt.’
[4] Sudirman Said dan Nizar Suhendra, “Korupsi dan Masyarakat Indonesia,”dalam
Hamid Basyaib dkk. (ed.), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di
Indonesia Buku 1 (Jakarta: Yayasan Aksara, 2001), h. 99.
[6] Dikutip dalam Singgih, Duniapun Memerangi
Korupsi (Tangerang: Pusat Studi Hukum dan Bisnis Universitas Pelita
Harapan, t.t.), h. 120.
[7] Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah
Penjelajahan dengan Data Kontemporer, alih bahasa Al-Ghozie Usman (Jakarta:
LP3ES, 1975), h. ix-x.
[8] Majma’ al-Lughah
al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Mishr, Dar al-Ma’arif, 1392 H-1972 M,
cet II, Jilid I, h. 348.
[9] Al-Fayumi, al-Misbah
al-Munir, Dar al-Fikr, t.t, juz I, h. 228, Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Dar
al-Fikr, t.t, Juz 9, h. 496 saw (lihat teks-teks hadis di atas) terhadap
pemberi risywah (al-rasyi) dan penerimanya (al-murtasyi).
[10] Depag RI, Himpunan
Fatwa MUI, Jakarta, Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, 2003, h. 274.
[12] Abu Daud Sulaiman ibn al-asy’ats ibn Ishaq ibn Basyir ibn Syaddad ibn
‘Amr al-Azdy as-Sijistani (w. 225), Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, Juz 3, H.
300, Hadis ke-3580. Setidaknya ada beberapa hadis risywah yang terekam
dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Al-fadh al-Qur’an sebagaimana
berikut: 1) Sunan
Abu Daud,
Juz 4, Bab Karahiyah Risywah, hadis nomor 3580 h. (Dar al-Hadis, t.t.), 2) Sunan
At-Tirmidzi,
Juz 2, Bab Ma Jā’a Fi al-Rasyi wa al-Murtasyi fi l-Hukmi, Hadis noor
1351 dan 1352 h. 397 (Dar al-Fikr, t.t.), 3) Sunan
Ibn Majah,
Juz 2, Bab Taghlidh fi al-Haif wa al-Risywah, hadis nomor 2313 h. 775
(Tanpa Penerbit), 4) Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, Juz 3 h.
212, 194, 190, 164, 379, 387, 388 (Tanpa penerbit).
[13] Muhammad
ibn Isa bin Saurah ibn ad-Dahak At-Tirmidzi, Abu Musa (w. 279), Sunan
at-Tirmidzi, Beirut: Dar-al-Gharb al-Islami, Juz 3, H. 15, Hadis ke-1336
[15] Al-‘Asqalani, Tahzib
al-Tahzib, India, Dairah al-Ma’arif al-Nidhamiyah, 1327 H, cet. 1, Juz 9,
h. 303
[22] Al-‘Asqalani, Tahzib
al-Tahzib, …, Juz 8, h. 358-361
[27]Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari., (Beirut: Dar
Ibn Kasir, 1987) Jilid II: 917 Selain al-Bukhari,
hadis ini diriwayatkan oleh Muslim (w. 261/875), Abu Dawud (w. 275/888),
an-Nasa’i (w. 303/915), Malik (w. 179/795), ar-Rabi‘, asy-Syafi‘i (w.
204//820), Ibn Sa‘d (w. 230/844), Abu ‘Awanah (w. 316//971), Ibn Hibban (w.
354/965), Ibn Mandah (w. 395/1005), al-Hakim (w. 404/1014), dan al-Baihaqi (w.
458/1066).
[29] Abdurrahman Ibn
Abdurrahim, Tuhfatul Ahwazi, Dar al-Fikr, t.t, Juz, h. 565-566.
[31] Majma’ al-Lughah
al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, jilid I, h. 295.
[32] Depag RI, Al-Qur’an
dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan), Jakarta, Balitbang Agama, 1425
H/2004 M, Cet I, h. 238
[33] Laban
Laisila, Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia Resmi Jadi Tersangka Korupsi, http://m.radioaustralia.net.au/indonesia/2013-10-03/ketua-mahkamah-konstitusi-indonesia-resmi-jadi-tersangka-korupsi/1199912
diakses pada tanggal 01 Mei 2015, Pukul 15:44
[34] Majma’ al-Lughah
al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Jilid II, h. 659- Depag RI, al-Qur’an
dan Tafsirnya, h. 66
[35] Abu Abdillah Muhammad
ibn Ahmad ibn Abi Bakr bin Farh al-Anshary al-Khazraji Syamsu ad-Din
al-Qurthuby (w. 671), al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub
al-Mishriyyah, 1964
Tidak ada komentar:
Posting Komentar