Kamis, 20 Oktober 2016

Kajian Hadis Risywah/Suap



Oleh:
Lutfiyatun Nakiyah
 

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Wajah muram maraknya praktek korupsi di Indonesia kian hari makin terkuak. Satu persatu koruptor diadili dengan menuntun sederetan nama panjang layaknya gerbong kereta api. Korupsi ini biasanya memang suatu praktek pengambilan keuntungan secara berjama’ah oleh para birokrat yang tidak amanah. Miris memang mengingat perjalanan Indonesia kesejahteraan Indonesia ternyata dihambat oleh para pengatur Negara. Indonesia setidaknya masih menempati urutan ke 107 dai 177 negara terkorup di Dunia.[1] Laporan transparency International (TI) ini mengasumsikan setidaknya Indonesia memiliki skor 34 dengan skala 0-100.
Korupsi merupakan salah satu indikasi rapuhnya system pemerintahan Indonesia. Tidak hanya Indonesia, Negara-negara dengan peringkat korupsi tertinggi semisal Somalia, Korea Utara dan lainnya umumnya memiliki tingkat kesejahteraan dan pendidikan yang rendah. Penyakit korupsi ini pada decade belakangan menjadi sorotan politik yang menarik. Banyak Negara memberikan sanksi yang tegas terkait korupsi, sebagaimana yang terjadi di China. Sejak tahun 2000, pemerintah China menerapkan hukuman seumur hidup bahakan hukuman mati terhapa koruptor.[2] Ribuan koruptor telah dieksekusi mati. Ketegasan dalam penerapan hukum ini mampu memulihkan stabilitas keuangan Negara tahap demi tahap.
Bagaimana Islam menyoroti kasus-kasus korupsi ini? Secara implisit Al-Qur’an telah menyinggung persoalan terkait tema-tema korupsi. Diantaranya ialah QS. Al-Nisā: 29-30 tentang larangan memakan harta sesama dengan cara yang batil, atau dalam QS.Ali Imrān: 161 dan  QS. Al-Baqarah: 188. Dalam tulisan ini, penulis akan coba menelaah beberapa hadis terkait korupsi.
B.  Rumusan Masalah
Mengingat banyaknya persoalan tentang korupsi, penulis akan membatasi kajian hadis risywah dan keterkaitannya dengan korupsi dengan satu rumusan persoalan:
1.        Bagaimana kualitas dan Fiqh Hadis risywah dalam Sunan Abu Daud dan at-Tirmidzi?
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Risywah dalam konteks korupsi
Sebelum masuk pada pembahasan risywah, penulis akan mengulas wacana korupsi. Dalam konteks kekinian korupsi adalah kejahatan serius yang dapat merusak suatu system atau tatanan pemerintahan. Perlawanan terhadap korupsi diaplikasikan dalam pembentukan Undang-undang khusus Tindak Pidana Korupsi (tipikor), system kelembagaan khusus untuk menyelidiki perkara korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan korupsi. Dalam berbagai Negara di dunia hukuman bagi pelaku korupsipun beragam, dimulai dari penjara hingga hukuman mati. Secara bahasa ‘korupsi’ berasal dari kata Latin corruptus yang berarti sesuatu yang rusak atau hancur.[3]
            Adapun dari segi terminologis ada banyak pengertiannya. Dalam wacana klasik korupsi didefinisikan secara global yaitu the abuse of public office for private gain ‘penyalahgunaan jabatan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi.’[4] Syed Hussein Alatas berpendapat bahwa “esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.”[5] Adapun menurut Robert Klitgaard korupsi meliputi tindakan berupa: 1) memungut uang atas layanan yang sudah seharusnya diberikan, 2) menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah, dan 3) tidak melaksanakan tugas karena lalai tau lupa. Dengan demikian korupsi secara kontekstual mengandung berbagai unsur kejahatan, diantaranya ialah adanya pengkhianatan kepercayaan, keserbasrahasiaan/konspirasi, mengandung unsur penipuan terhadap badan publik atau masyarakat, dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, diselubungi berbagai bentuk-bentuk pengesahan hukum, terpusatnya korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan pasti dan yang dapat mempengaruhinya.[6]

            Korupsi jika ditelaah dari segi jenisnya, terdapat setidaknya ada 8 jenis korupsi: 1) korupsi transaktif, yaitu jenis korupsi yang berwujud adanya kesepakatan timbal balik antara pihak-pihak bersangkutan guna mengupayakan keuntungan bersama. 2) korupsi ekstortif (pemerasan), yaitu bentuk korupsi di mana pihak pemberi dipaksa melakukan penyuapan guna mencegah kerugian yang akan mengancam dirinya, kepentingan, orang-orang atau hal-hal yang penting baginya. 3) korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pelaku korban korupsi pemerasan.4) korupsi investif, yaitu korupsi berwujud pemberian sesuatu tanpa ada kaitan langsung dengan keuntungan tertentu, selain dari keuntungan yang dibayangkan di masa depan. 5), korupsi nepotistik perkerabatan), yaitu kolusi berupa penunjukan tidak sah terhapap teman atau kerabat untuk menempati posisi dalam pemerintahan, atau memberi perlakukan istimewa kepada mereka secara bertentangan dengan norma yang berlaku. 6) korupsi otogenik, yaitu yang dilakukan sendirian tanpa melibatkan orang lain, misalnya membuat laporan belanja yang tidak benar. Terakhir korupsi suportif (dukungan), yaitu tindakan yang dimaksudkan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada.[7] Dengan berbagai jenis korupsi sebagaimana disebut maka suap/risywah memiliki keterkaitan yang erat dengan korupsi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Qur’an ialah ghulul (QS. Ali Imran/3: 161).
Pada kajian ini penulis akan coba mengulas unsur risywah yang terdapat dalam korupsi. Risywah/rusywah merupakan bentuk masdar dari kata rasya yarsyi risywatan/rusywatan. Risywah bentuk jamaknya Risya, sedangkan Rusywah  bentuk jamaknya Rusya. Risywah/rusywah artinya suap/menyuap. Suap dalam bahasa Arab disebut, “Risywah”, yaitu apa yang diberikan untuk membenarkan yang batil, atau membatilkan yang hak.[8] Risywah/rusywah dalah pemberian dalam bentuk apapun yang diberikan oleh seseorang kepada hakim dengan tujuan agar hakim tersebut memihak kepadanya atau memberikan keputusan yang menguntungkan kepada dirinya. Risywah/rusywah juga berarti sesuatu pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada pihak-pihak tertentu dengan maksud agar pihak-pihak tertentu tadi meluluskan atau mengabulkan apa yang menjadi keinginan dan kepentingannya. Rumusan pertama terjadi dalam lapangan peradilan dan rumusan kedua terjadi di bidang-bidang kehidupan lain.[9]
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpandangan bahwa Suap (Risywah) adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut Syari’ah) atau membatalkan perbuatan yang hak (الرِشْوَةُ  مَايُحَقِّقُ الْبَاطِلَ أَوْيُبْطِلُ اْلحَقَّ).[10] Dalam sejarah peradilan Islam disebutkan bahwa risywah ini muncul pada zaman Abbasiyah. Pada saat itu Lembaga Yudikatif telah banyak dicampuri Lembaga Eksekutif untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan politiknya. Desakan dan kepentingan duniawi menggerogoti mentalitas para hakim waktu itu.[11]
B.  Hadis-hadis Risywah
1.        Teks Sunan Abu Daud
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي»[12]
Diceritakan dari Ahmad Ibn Yunus, diceritakan Ibn Abi Dzi’b, dari Harits Ibn Abdurrahman dari Abu Salamah dari Abdullah Ibn Umar, “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap”.

2.        Teks Sunan At-Tirmidzi
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ فِي الحُكْمِ»[13]
Diceritakan kepada kami dari Qutaibah, ia berkata: ‘diceritakan kepada kami dari Abu Awanah dari Umar Ibn Abi Salamah dari ayahnya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap dalam hukum”’.

حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ العَقَدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ خَالِهِ الحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ.[14]
Abu Musa Muhammad al-Mutsanna telah bercerita kepada kami, ia berkata: ‘Abu Amir al-Qa’ady telah bercerita kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Dzi’b telah bercerita kepada kami dari pamannya al-Harits Ibn Abdurrahman, dari Abi Salamah, dari Abdullah Ibn Amr, ia berkata: Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap’.

Dari ketiga teks diatas, dapat kita lihat bahwa teks hadis riwayat Abu Daud sama persis dengan teks riwayat at-Tirmidzi yang diterimanya melalui jalur Abdullah Ibn Amr. Sedangkan teks hadis riwayat At-Tirmidzi melalui jalur Abu Hurairah berbeda dengan teks hadis riwayat Abu Daud yang menambahkan kata Fi al-Hukmi.
















C.  Skema Sanad Hadis

 



عن...
 
عن...
 


عن...
 
عن...
 


عن...
 
عن...
 
Ibn Abi Zi’bin (w. 158/159)
 








حدثنا...
 





Skema diatas terlihat bahwa sanad at-Tirmidzi bertemu dengan sanad Abu Daud pada Ibn Abi Zi’bin yang memiliki nama lengkap Muhammad Ibn Abdirrahman Ibn al-Mughirah ibn al-Haris al-Madani.[15]





D.                          Biografi Perawi
No
Nama Perawi
Tanggal Lahir/ Wafat
Jarh wa at-Ta’dil
1.         
Abu Hurairah
(w. 59)
Ma’ruf
2.         
Abdullah Ibn ‘Amr
(w. 65/68)
ü Abu Hurairah : integritasnya bahwa tak seorangpun yang lebih baik hadisnya dari padanya (Abu Hurairah) selain Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash. Dialah sahabat yang dikenal memiliki shahifah shadiqah.[16]
3.         
Abu Salamah
(w. 94/104)
ü Ibn sa’d : siqah, faqih.
ü Abu Zur’ah : siqah imam.
ü Ibn Hibban : siqat[17]
4.         
Al-Haris Ibn A. Rahman
(w.129)
ü Ibn Hibban : siqah.
ü Al-Nasa’I : laisa bihi Ba’s.
ü Ibn Ma’in :  masyhur.
ü Ahmad ibn Hanbal : la ara bihi ba’san.[18]
5.         
‘Amr Ibn Abi Salamah
(w. 214)
v Ishaq ibn Manshur dari Ibn Ma’in, : dla’if.
v Abu Hatim mencatat hadisnya, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah. Al-‘Uqaili :  hadisnya ada yang salah.
v Ibn Hibban : siqat. Malik : siqat.
v Al-Saji mengatakan bahwa ia dla’if[19]
6.         
Abu ‘Awanah
(w. 176)
v Abu Thalib: Asbat (dalam penulisan)
v Ibn Abi Khaisamah dari Ibn Ma’in : Jaizal Hadis.
v Abu Zur’ah : siqah.
v Abu Hatim : shaduq siqah (hafalan)[20]
7.         
Ibn Abi Zi’bin
(w. 158/159)
ü Ibn Ma’in menilai Ibn Abi Zi’bin siqah.
ü Ya’qub ibn Syaibah : siqah shaduq.
ü Al-Nasai : siqah.
ü Al-Waqidi : ulama wara’ dan utama.[21]
8.         
Qutaibah
(150-240)
v Ibn Ma’in, Abu Hatim, : siqah. Nasai : siqah dan  saduq.
v Ibn Hanbal memujinya. Farhayani : saduq.
v al-Khatib: munkar jiddan.[22]
9.         
Ahmad Ibn Yunus
(w.227)
ü Bukhari, Muslim, Abu Daud, Abu Hatim, Ibn Sa’d, dan Ibn Hibban : siqah.
ü Ibn Qani’ :  siqah, man’mun, sabat.[23]
10.     
Abu ‘Amr al-‘Aqadi
(w.204)
ü Ibn Ma’in : siqah. Abu Hatim : shaduq.
ü Abu ‘Amir :  siqah amin.
ü Ibn Hibban & Ibn Syahin :  siqah.
ü Al-Darimi : siqah.[24]
11.     
Abu Musa Muhammad Ibn al-Musanna       
(167-252)
ü Ibn Ma’in : siqah. Shalil ibn Muhammad : shaduq.
ü Nasa’i : la ba’sa bih.
ü Ibn Kharrasy : asbat.
ü Al-Khatib: siqah, sabat, dan semua imam hadis menjadikan hadisnya sebagai hujjah.[25]
12.     
Abu Daud
(202-275)
Ma’ruf
13.     
At-Tirmidzi
(209-279)
Ma’ruf

E.                          Kualitas Hadis
Dengan uraian singkat biografi dan juga jarh wa at-ta’dil dari para perawi dapat disimpulkan:
1.        Hadis risywah lewat sanad At-Tirmidzi melalui jalur Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash adalah shahih, sebab semua rangkaian sanadnya siqah dan muttashil. Demikian juga yang melalui sanad Abu Daud.
2.        Hadis risywah lewat sanad At-Tirmidzi melalui jalur Abu Hurairah adalah dha’if, karena dalam jalur ini ada seorang rawi yang dinilai dha’if oleh ibn Ma’in, yaitu ‘Amr ibn Abi Salamah. Demikian kalau kita dalam hal ini memihak Ibn Ma’in. tapi, kalau dalam hal ini kita mengikuti penilaian Malik dan Ibn Hibban yang memandang ‘Amr ibn Abi Salamah sebagai siqah, maka hadis tersebut tentu menjadi shahih.
3.        Meski demikian, kedla’ifan pada jalur Abu Hurairah (kalau kita mengikuti ibn Ma’in dalam menilai ‘Amr ibn Abi Salamah) akan terangkat, sehingga bisa menjadi hasan, sebab hadis yang sama ternyata shahih menurut sanad dan jalur yang lain (poin-poin).
4.        Penulis melihat bahwa yang dimaksud At-Tirmidzi dengan ungkapan Hadza Hadisun Hasanun Shahih kaitannya dengan hadis ini senada dengan apa yang diungkap oleh Ibn Abi Shalah dalam muqaddimah-nya annahu Hasanun Binnisbah ila Isnad wa Shahihun Binisbah ila Isnad Akhar.[26]

Selain ketiga hadis di atas, hadis yang berkaitan dengan risywah ialah hadis tentang hadiah sebagaimana hadis berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، قَالَ: اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ، يُدْعَى: ابْنَ الْأُتْبِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ، قَالَ: هَذَا مَالُكُمْ، وَهَذَا هَدِيَّةٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا»، ثُمَّ خَطَبَنَا، فَحَمِدَ اللهَ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: " أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللهُ، فَيَأْتِي فَيَقُولُ: هَذَا مَالُكُمْ، وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي، أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا، وَاللهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ، إِلَّا لَقِيَ اللهَ تَعَالَى يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ)....رواه البخاري ومسلم ،واللفظ له([27]
Dari Abi Humaid as-Sa‘idi r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw mengangkat seorang lelaki dari suku al-Azd bernama Ibn al-Atbiyyah untuk menjadi pejabat pemungut zakat di Bani Sulaim. Ketika ia dating menghadap Nabi saw untuk melaporkan hasil pemungutan zakat), beliau memeriksanya. Ia berkata: Ini harta zakatmu (Nabi/negara) dan yang ini adalah hadiah (yang diberikan kepadaku). Lalu Rasulullah saw berkata: Jika engkaubenar, maka apakah kalau engkau duduk di rumah ayahmu atau di rumah ibumu, hadiah itu datang kepadamu? Kemudian Nabi saw berpidato, mengucapkan tahmid dan memuji Allah, lalu berkata: Selanjutnya, saya mengangkat seseorang di antaramu untuk melakukan suatu tugas yang merupakan bagian dari apa yang telah dibebankan Allah kepadaku. Lalu orang itu datang dan berkata: Ini hartamu (Rasulullah/negara) dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku. Jika ia memang benar, maka apakah kalau ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, hadiah itu datang kepadanya? Demi Allah, begitu seseorang mengambil sesuatu dari hadiah itu tanpa hak, maka nanti di hari kiamat ia akan menemui Allah dengan membawa hadiah (yang diambilnya itu), lalu saya akan mengenali seseorang darikamu ketika menemui Allah itu, ia memikul di atas pundaknya unta (yang dulu diambilnya) melengkik atau sapi melenguh, atau kambing mengembek … (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis diatas mengungkapkan sejauh mana konteks larangan suap. Hadiah yang diberikan kepada seorang pegawai pengumpul pajak, yakni Ibnu Lutbiyah dianggap sebagai bagian dari risywah dan penyalahgunaan wewenang. Hadiah pada dasarnya diperbolehkan, namun hadiah yang diberikan untuk tujuan-tujuan tertentu kepada orang-orang yang memiliki pejabat public dapat menimbulkan hal-hal yang tidak semestinya. Karena jabatan tersebut dimiliki atas dasar amanah pemberinya / rakyat, bukan dimiliki secara personal.

F.                               Fiqh Hadis
Suap menyuap sangat berbahaya bagi masyarakat karena akan merusak system dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dalam berbagai keputusan dan tata kelola pemerintahan. Ketika suatu ketetapan hukum ditentukan oleh uang, maka supremasi hukum menjadi goyah dan bahkan tidak tercapai. Bagaimanapun juga seseorang yang telah menerima suap tidak akan lagi mampu berlaku adil. Islam melarang perbuatan tersbut serta menggolongkannya dalam kategori dosa besar, yang dilaknat Allah dan Rasulnya. Tidak saja dalam wilayah hukum, suap ini juga dilarang dalam berbagai kegiatan. Asy-Syaukani berpendapat bahwa sesungguhnya keharaman suap adalah mutlak dan tidak dapat ditakhsish.[28] 
Ulama telah sepakat bahwa risywah hukumnya haram baik dalam kaitannya dengan masalah peradilan maupun yang lain. Hukum haram diistinbath-kan dari adanya laknat/kutukan Rasulullah Adanya laknat ini menunjukkan bahwa hal itu dilarang (Manhiy). Kaidah menyatakan al-Nahyu Yadullu ‘ala al-Tahrim. Oleh karena itu maka Risywah hukumnya haram.[29]
Sebagian ulama berpendirian bahwa risywah yang diberikan oleh seseorang kepada hakim dengan tujuan agar hakim itu memihak kepadanya dalam kondisi di mana posisi orang tersebut memang sebagai pihak yang benar, tidaklah termasuk ke dalam kategori risywah yang diharamkan itu. Pendapat itu muncul dari sebagian tabi’in.
Dalil yang digunakan ialah
الضرورة تبيح المحضورات
 Menurut Syaukani, pendapat tersebut tidak bisa dibenarkan, sebab hadis di atas ‘Am (umum) dan berlaku sesuai dengan kemauannya. Menurutnya dalam hal ini tidak ada dalil yang men-takhsish-nya.[30]    
Pada saat ini, pemberian hadiah yang secara implisit mengandung unsur penyuapan disebut juga gratifikasi. Sebagaimana Keputusan Presiden (Keppres) No. 10 Tahun 1974 Tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kesederhanaan Hidup, menyatakan bahwa Pejabat dilarang menerima hadiah atau pemberian lain serupa itu dalam bentuk apapun kecuali dari suami, isteri, anak, cucu, orang tua, nenek atau kakek dalam kesempatan-kesempatan tertentu, seperti ulang tahun, tahun baru, lebaran, natal, dan peristiwa-peristiwa lain yang serupa, kecuali apabila adat. Dilanjutkan PP 53 Thaun 2010 Tentang Disiplin PNS demikian juga diatur sanksinya.
Dalil-dalil yang menunjukkan larangan untuk memakan uang yang batil terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya:
QS. al-Baqarah / 2:188
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ  
 “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.”
Kata ‘Tudlu(تدلوا), diambil dari kata ‘dalwun’, (دلو)  yang berarti ember, artinya adalah mengulurkan ember ke dalam sumur untuk memperoleh air.[31]Unsur penyuapan sebagaimana ayat diatas ialah adanya upaya dari si pemberi suap kepada penerima suap (dalam hal ini Hakim/Qadhi/Pejabat Pemerintah) agar melancarkan/menyelesaikan persoalan pemberi suap/Al-rasyi. Unsur inilah yang menyebabkan haramnya risywah/hadiah. Penggunaan kata tudlu ini mengisyaratkan rendahnya martabat hakim yang mau menerima sogokan, seolah-olah ia berada di dasar sumur menanti uluran dari atas.[32]
Dalam konteks kekinian penyuapan ini bisa berupa uang sebagaimana uang sejumlah 3 milyar yang diterima oleh mantan Ketua Mahkamah Agung Akil Mokhtar (2/10/2013).  Dalam kasus ini Akil Mokhtar diduga menerima suap terkait perkara sengketa pemilihan dua kepala daerah, yakni di kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Lebak, Banten. [33]
            Selain menggunakan terminology tudlu sebagaimana diatas, risywah juga megandung unsur lainnya yaitu al-Ghall atau kecurangan:
QS. Ali-‘Imrân ayat 161:
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äótƒ 4 `tBur ö@è=øótƒ ÏNù'tƒ $yJÎ/ ¨@xî tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 §NèO 4¯ûuqè? @à2 <§øÿtR $¨B ôMt6|¡x. öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàãƒ
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
Kata “Yaghlul” (يغلل) kata dasarnya adalah “al-Ghall”, yang berarti curang, atau mengambil sesuatu dengan cara sembunyi-sembunyi. Asalnya terambil dari kata agalla al-jazir, ketika  tukang daging menguliti binatang sembelihan, dia mencuri daging dari binatang tersebut dan menyembunyi-kannya disela-sela kulit yang dilipatnya. Dari kata ini muncul ungkapan “al-gillu fi al-Shudur” artinya menyembunyikan kebenaran di hati. Pengkhianatan dengan cara mengambil harta rampasan perang disebut al-ghulul.[34] Jika dilihat dari modus operandinya, kegiatan ghulul sangat mirip dengan pidana korupsi saat ini. Mirip sebab korupsi adalah penggelapan uang negara.
Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada penguasa, hakim, pejabat dan pegawai penarik retribusi. al-Qurtubi menguraikan beberapa pendapat para ulama terkait risywah. Al-Qurtubi berpandangan bahwa as-Suhtu juga satu bentuk terminologi lain daripada  Risywah. QS. Al-Maidah: 42:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

            Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama salaf bahwa mengambil risywah untuk membatalkan suatu hak  (keputusan yang tidak seharusnya dalam rangka memenangkan pemberi suap) hukumnya haram. Abu Hanifah dan al-Qurtubi juga berpandangan bahwa seorang hakim yang menerima suap dalam menentukan keputusannya, maka keputusannya dianggap batal. Hal ini karena adanya ketidakobjektifan hakim dalam memutuskan perkara.[35]
Dari uraian diatas bisa dilihat bahwasanya risywah meliputi beberapa unsur:
a. Adanya Al-Risywah (pemberi suap, penerima suap serta suap itu sendiri)
b. Ada niat Istimalah (menarik simpati orang lain)
c. Adanya tujuan dalam pemberian suap tersebut, diantaranya:
1.    Ibţālul ĥaq (membatalkan yang haq)
2.    Iĥqāqul bāţil (merealisasikan kebathilan)
3.    Al-maĥsūbiyah bighairi ĥaq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan)
4.    Al-ĥuşūl ‘alal manāfi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya)
5.    Al-ĥukmu lahu (memenangkan perkaranya)
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwasanya risywah adalah suatu bentuk perbuatan yang diharamkan, karena terdapat berbagai unsur kecurangan, pengkhianatan, kejahatan social dan degradasi moralitas dan rusaknya manajemen pemerintahan maupun pengadilan. Jika diulas secara keseluruhan beberapa unsur gabungan dalam konteks risywah  diantaranya ialah hadiah yang mengandung unsur tudlu, ghasab, ghulul dan as-Suĥti. Berbagai unsur ini berkembang menjadi berbagai tumpang tindih kepentingan dalam membuat kebijakan dan putusan. Bahkan jika kepentingan yang dimaksukan tidak terjadi pasca praktek risywah tersebut. Adapun jenis Risywah sendiri tidak selalu dilakukan secara ber-sama-sama dan dengan membawa kepentingan orang banyak. Adakalanya dilakukan seorang diri. Meski demikian risywah tetap tidak dibenarkan / diharamkan. Dalam konteks saat ini, pelaku penyuapan dan juga pemberian hadiah (gratifikasi) sudah masuk dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Selain itu lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku pihak yang berhak melakukan penyelidikan dan penyidikan telah dibentuk. Kasus risywah bukan lagi kejahatan biasa namun sudah masuk kategori extra ordinary crime. Dunia yang juga menyoroti kasus-kasus serupa di Negaranya telah menerapkan hukuman mulai dari penyitaan harta benda, pencopotan jabatan, penjara bahkan hukuman mati. Langkah-langkah perang melawan korupsi ini tentu patut diapresiasi dan dikawal bersama.




















PENUTUP
A.      Kesimpulan
Hadis Risywah sebagaimana termaktub dalam sunan Abi Daud dan at-Tirmidzi merupakan hadis shahih dan dapat dijadikan hujjah li istinbath al-Hukum. Para ulama sepakat bahwasanya hukum risywah (suap-menyuap) adalah haram hukumnya karena mengandung berbagai unsur kejahatan. Diantaranya kecurangan, kesewenang-wenangan, penyalahgunaan wewenang/kekuasaaan (pengkhianatan terhadap rakyat), dan merupakan salah satu indikasi degradasi moralitas penguasa/hakim. Di Indonesia saat ini praktek risywah telah diawasi oleh kelembagaan khusus pemerintah yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adapun tujuan daripada risywah  setidaknya mencakup salah satu unsur dibawah ini; Ibţālul ĥaq (membatalkan yang haq), Iĥqāqul bāţil (merealisasikan kebathilan), Al-maĥsubiyah bighairi ĥaq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan), Al-ĥuşūl ‘alal manāfi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya) dan Al-ĥukmu lahu (memenangkan perkaranya)

B.       Kritik dan Saran
Demikianlah ulasan singkat tentang hadis Risywah  dan kandungan hadis didalamnya. Jika kita teliti tema risywah ini bisa diperluas dalam konteks kekinian. Semoga ulasan singkat ini bisa menjadi suatu bahan diskusi yang dapat menyuguhkan wacana baru terkait upaya peniadaan paktik risywah. Kritik dan saran penulis harapkan dalam upaya perbaikan ke depan. Semoga bermanfaat. Amin ..










DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim
Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, India, Dairah al-Ma’arif al-Nidhamiyah, 1327 H, cet. 1,
Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, alih bahasa Nitwono Jakarta: LP3ES, 1987
Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, alih bahasa Al-Ghozie Usman (Jakarta: LP3ES, 1975), h. ix-x.
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari., Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987
Al-Fayumi, al-Misbah al-Munir, Dar al-Fikr, t.t, juz I, h. 228, Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Dar al-Fikr, t.t, Juz 9,
Al-Qurthuby, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr bin Farh al-Anshary al-Khazraji Syamsu ad-Din, al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964
as-Sijistani, Abu Daud Sulaiman ibn al-asy’ats ibn Ishaq ibn Basyir ibn Syaddad ibn ‘Amr al-Azdy as-Sijistani, Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, Juz 3, H. 300, Hadis ke-3580
at-Tirmidzi, Muhammad ibn Isa bin Saurah ibn ad-Dahak At-Tirmidzi, Abu Musa (w. 279), Sunan at-Tirmidzi, Beirut: Dar-al-Gharb al-Islami
Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan), Jakarta, Balitbang Agama, 1425 H/2004 M, Cet I
Depag RI, Himpunan Fatwa MUI, Jakarta, Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, 2003, h. 274.
Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam, Maktabah Nahdlah, t.t, Juz 2
Horby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, edisi ke-4 (Oxford: Oxford University
Ibn Abdurrahim, Abdurrahman,  Tuhfatul Ahwazi, Dar al-Fikr, t.t, Juz, h. 565-566.
Ibrahim, Hasan, Tarikh al-Islam, Maktabah Nahdlah, t.t, Juz 2, h. 295.
Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Mishr, Dar al-Ma’arif, 1392 H-1972 M
Press, 1989), h. 266, entri ‘corrupt.’
Said, Sudirman dan Nizar Suhendra, “Korupsi dan Masyarakat Indonesia,”dalam Hamid Basyaib dkk. (ed.), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 1, Jakarta: Yayasan Aksara, 2001, h. 99.
Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi Tangerang: Pusat Studi Hukum dan Bisnis Universitas Pelita Harapan, t.t.
Syafe’i, Rachmat, al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Laisila, Laban Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia Resmi Jadi Tersangka Korupsi, http://m.radioaustralia.net.au/indonesia/2013-10-03/ketua-mahkamah-konstitusi-indonesia-resmi-jadi-tersangka-korupsi/1199912
Tim Global Future Institute, Marilah Kita Belajar dari Cina Untuk Berantas Korupsi, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=1059&type=5#.VU0y9VbZFAg


[1] Sandy, Daftar Terbaru Negara Terkorup Dunia, Indonesia? http://m.dream.co.id/news/indonesia-masuk-daftar-negara-terkorup-di-dunia-1412081.html  diakses pada tanggal 1/5/2015, pukul 18:07
[2] Tim Global Future Institute, Marilah Kita Belajar dari Cina Untuk Berantas Korupsi, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=1059&type=5#.VU0y9VbZFAg diakses pada tanggal 1/5/2015, pukul 15:45
[3] Lihat Horby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, edisi ke-4 (Oxford: Oxford University
Press, 1989), h. 266, entri ‘corrupt.’
[4] Sudirman Said dan Nizar Suhendra, “Korupsi dan Masyarakat Indonesia,”dalam Hamid Basyaib dkk. (ed.), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 1 (Jakarta: Yayasan Aksara, 2001), h. 99.
[5] Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, alih bahasa Nitwono (Jakarta: LP3ES, 1987), h. viii
[6] Dikutip dalam Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi (Tangerang: Pusat Studi Hukum dan Bisnis Universitas Pelita Harapan, t.t.), h. 120.
[7] Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, alih bahasa Al-Ghozie Usman (Jakarta: LP3ES, 1975), h. ix-x.
[8] Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Mishr, Dar al-Ma’arif, 1392 H-1972 M, cet II, Jilid I, h. 348.
[9] Al-Fayumi, al-Misbah al-Munir, Dar al-Fikr, t.t, juz I, h. 228, Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Dar al-Fikr, t.t, Juz 9, h. 496 saw (lihat teks-teks hadis di atas) terhadap pemberi risywah (al-rasyi) dan penerimanya (al-murtasyi).
[10] Depag RI, Himpunan Fatwa MUI, Jakarta, Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, 2003, h. 274.
[11] Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam, Maktabah Nahdlah, t.t, Juz 2, h. 295.
[12] Abu Daud Sulaiman ibn al-asy’ats ibn Ishaq ibn Basyir ibn Syaddad ibn ‘Amr al-Azdy as-Sijistani (w. 225), Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, Juz 3, H. 300, Hadis ke-3580. Setidaknya ada beberapa hadis risywah yang terekam dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Al-fadh al-Qur’an sebagaimana berikut: 1) Sunan Abu Daud, Juz 4, Bab Karahiyah Risywah, hadis nomor 3580 h. (Dar al-Hadis, t.t.), 2) Sunan At-Tirmidzi, Juz 2, Bab Ma Jā’a Fi al-Rasyi wa al-Murtasyi fi l-Hukmi, Hadis noor 1351 dan 1352 h. 397 (Dar al-Fikr, t.t.), 3) Sunan Ibn Majah, Juz 2, Bab Taghlidh fi al-Haif wa al-Risywah, hadis nomor 2313 h. 775 (Tanpa Penerbit), 4) Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, Juz 3 h. 212, 194, 190, 164, 379, 387, 388 (Tanpa penerbit).
[13] Muhammad ibn Isa bin Saurah ibn ad-Dahak At-Tirmidzi, Abu Musa (w. 279), Sunan at-Tirmidzi, Beirut: Dar-al-Gharb al-Islami, Juz 3, H. 15, Hadis ke-1336
[14] Muhammad ibn Isa bin Saurah Juz 3, h. 614
[15] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, India, Dairah al-Ma’arif al-Nidhamiyah, 1327 H, cet. 1, Juz 9, h. 303
[16] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, , Juz 8, h. 358-361
[17] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, , juz 13, h. 115-118
[18] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, , juz 2, h. 148-149
[19] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, , Juz 8, h. 43-44
[20] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …,  Juz 11, h. 116-120
[21] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, ,  Juz 9, h. 303-307
[22] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …,  Juz 8, h. 358-361
[23] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, ,  Juz 1, h. 50-51
[24] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, ,  Juz 6, h. 409-410
[25] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, ,  Juz 5, h. 337-338
[26] Ibn Abi Shalah, Muqaddimah Ibn Shalah, Maktabah al-Mutanabbi, h . 19
[27]Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari., (Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987) Jilid II: 917 Selain al-Bukhari, hadis ini diriwayatkan oleh Muslim (w. 261/875), Abu Dawud (w. 275/888), an-Nasa’i (w. 303/915), Malik (w. 179/795), ar-Rabi‘, asy-Syafi‘i (w. 204//820), Ibn Sa‘d (w. 230/844), Abu ‘Awanah (w. 316//971), Ibn Hibban (w. 354/965), Ibn Mandah (w. 395/1005), al-Hakim (w. 404/1014), dan al-Baihaqi (w. 458/1066).
[28] Rachmat Syafe’I, al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h. 152-155
[29] Abdurrahman Ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwazi, Dar al-Fikr, t.t, Juz, h. 565-566.
[30] Abdurrahman Ibn Abdurrahim …, h. 566
[31] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, jilid I, h. 295.
[32] Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan), Jakarta, Balitbang Agama, 1425 H/2004 M, Cet I, h. 238
[33] Laban Laisila, Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia Resmi Jadi Tersangka Korupsi, http://m.radioaustralia.net.au/indonesia/2013-10-03/ketua-mahkamah-konstitusi-indonesia-resmi-jadi-tersangka-korupsi/1199912 diakses pada tanggal 01 Mei 2015, Pukul 15:44
[34] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Jilid II, h. 659- Depag RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, h. 66
[35] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr bin Farh al-Anshary al-Khazraji Syamsu ad-Din al-Qurthuby (w. 671), al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMPATIBILITAS SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA DENGAN TEKS AL-QUR’AN

Oleh : Lutfiyatun Nakiyah PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Sistem politik pemerintahan berkembang demikian pesatnya dari masa...