Senin, 19 Maret 2012

Tafsir Adaby ...


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta inayahnya kepada kita sehingga kita bisa memperoleh semangat, kekuatan, dan kesabaran dalam menjalani kehidupan ini serta penulis bisa menyelesaikan makalah ini yang bertema corak adabi tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam selalu terlimpahkan kepada Rasulllah saw yang telah menunjukkan kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yakni Diinul Islam.
Terima kasih kami ucapan kepada seluruh pihak yang turut serta dalam membantu dalam penyelesaian makalah ini. Harapan kami adalah agar Tafsir Adaby ini lebih dikenal, dipahami dan didiskusikan lebih lanjut oleh mahasiswa sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan corak Tafsir yang lain. Kami tahu makalah ini pasti terdapat kekurangan maupun kesalahan, untuk itu  kami mohon saran dan kritik dari seluruh pembaca.

Jakarta, 29 Desember 2011

PENULIS


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang masalah
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, kitab yang tidak dapat ditantang oleh siapapun. Hidayahnyya dan kemukjizatannya digambarkan oleh para mufassir dalam tafsirannya masing-masing menurut kadar kemampuannya. Al-Qur’an semenjak turunnya sampai sekarang telah melalui beberapa zaman dan beberapa masa dan ia akan tetap demikian  terus menerus. Oleh Karena orang arab dahulu mempunyai keahlian yang sempurna dalam bahasannya, walaupun mereka tidak pandai membaca dan menulis mereka dapat dengan mudah memahami al-Qur’an. tetapi sesudah bahasa arab yang pada mulanya dimiliki dengan sempurna, kian hari kian menurun. Maka sebagai natijah dari  terjadinya pencampuran masyarakat, perlu langkah untuk menetapkan kaidah-kaidah bahasa Arab dan berbagai macam keilmuan tentangnya. Dengan sebab inilah ilmu adab dan ilmu umum mulai masuk ke dalam tafsir al-Qur’an karena untuk memahami al-Qur’an diperlukan ilmu-ilmu tersebut.
     Kebutuhan kajian Tafsir bahasa dan sastra semakin dibutuhkan meningat berbagai belahan dunia saat ini terutama Indonesia banyak yang menafsirkan al-Qur’an tanpa memperdulikan redaksional, gramatikal dan nilai kesusasteraan bahasa Arab yang notabene bahasa al-Qur’an. Arti dan tafsir secara asal-asalan ini kemudian memicu banyak kesalah-pahaman makna dan tujuan dari Teks suci al-Qur’an bahkan menmbulkan aliran-aliran yang sporadis dan dangkal dalam memahami Islam secara umum. Ini yang tidak diinginkan bersama. Karenanya upaya mengembalikan metode dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an sudah sepatutnya dimulai dari bahasa al-Qur’an itu sendiri yakni bahasa Arab dan segenap kesusasteraannya.
B.    Rumusan Masalah
1.       Definisi dan sejarah kemunculan Corak Tafsir Adaby
2.      Metode Penafsiran ber-Corak Adaby
3.      Contoh Kitab dan karakteristik corak Tafsir Adaby


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi dan Kemunculan Corak Tafsir Adaby
Corak ialah warna atau kecenderungan mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an yang dipengaruhi oleh latar belakang mufassir, baik dari lingkungan social, keluarga, pendidikan maupun keahlian dari mufassir tersebut. Tafsir ialah: Ilmu yang membahas tentang segala sesuatu tetang Al-Qur’an dari sisi dilalahnya (sebagai landasan dasar atas dalil) sesuai dengan kemampuan manusia (yang menafsirkannya). Sedangkan Adab berasal dari bahasa Arab yang berarti sastra, sehingga Adaby secara tidak langsung berarti sastrawi. Pengertian corak Tafsir Adaby merupakan kajian yang dimulai dengan memerhatikan kosakata dan susunan ayat dengan bertolak pada ilmu-ilmu sastra, antara lain sharaf, nahwu, bahasa, balaghah, termasuk instrumen (adawat) kejelasan arti (bayan) dan ketentuannya, keterkaitan beragam arti dari qiraat-qiraat yang berbeda pada suatu ayat, memerhatikan pemakaian-pemakaian yang sebanding pada keseluruhan Qur’an.[1]
Sejarah corak Tafsir Adaby tidak dapat dilepaskan dengan sejarah perkembangan Tafsir lainnya terutama sekali ialah corak Adaby-Ijtima’i. Orang yang dianggap mempelopori Tafsir bercorak Adaby-Ijtima’i ialah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ahmad Amin berpendapat bahwa Pembaharuan Abduh meliputi 3 aspek yakni keagamaan, bahasa dan politik. Pembaharuannya ini kemudian dituangkan dalam tafsirnya baik yang ditulis oleh muridnya Rasyid Ridha maupun dalam dakwah, pengajaran dan lainnya. [2] Tujuannya selain menghindari penafsiran para Ulama dahulu yang cenderung menafsirkan al-Qur’an dengan keahlian masing-masing sehingga al-Qur’an terkesan lepas dari kehidupan masyarakat, ia ingin mebumikan al-Qur’an menjadi pesan-pesan hidayah atau petunjuk yang terkandung dalam al-Qur’an.

Setidaknya ada empat hal yang dianggap merupakan unsur pokok ‘Adaby-Ijtima’i’:
-          Menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an
-          Menguraikan makna-makna yang terkandung dalam susunan ayat al-Qur’an
-          Kontekstualisasi tujuan utama al-Qur’an
-          Penafsiran yang dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku[3]
Seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruhnya yang semakin meluas, Amin al-Khulli kemudian memunculkan gagasan metode penafsiran dengan lebih mendalami aspek bahasa dan terutama sastrawi dalam al-Qur’an yang dikemudian hari digunakan oleh Bint asy-Syathi dalam menafsirkan kitab Tafsirnya. Kajian dan tawaran Amin al-Khulli tentang corak sastra ini termasuk juga: tafsir secara bahasa, secara balaghah, dan secara bayan. Hanya saja didapati bahwa sebagian mufasir hanya mengambil salah satu saja dari ketiganya.[4] Kadang juga memerhatikan ketiga-tiganya, termasuk karya kebahasaan, kebalaghahan atau sastranya dan ketatabahasaan.

B.    Metode Penafsiran ber-Corak Adaby
Corak sastra bahasa, timbul akibat banyaknya orang-orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keinstimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an. Setelah masa Rasyid Ridha menafsirkan al-Qur’an dengan metode Adaby-Ijtima’i, kemudian lahir corak Tafsir semsal Haraky-Hida’I (pergerakan dan mengutamakan pesan hidayah al-Qur’an), maka Amin al-Khulli mempelopori metode penafsiran dengan system ke-bahasa-annya. Ia memperluas kerangka mtodenya hingga sampai pada taraf sastra dan kajian tentangnya untuk kemudian diajukan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam memahami al-Qur’an dan masa turunnya al-Qur’an. Meskipun Amin al-Khulli ialah penggagasnya namun ia tidak menulis Tafsir secara utuh dan lengkap. Aisyah atau dikenal sebagai Binti Syathi’ yakni istrinyalah yang kemudian hari menulis Tafsir mengunakan metode Amin al-Khulli namun dengan eksplorasi lebih luas. Bahkan disebut bahwa ialah yang menemukan suatu teori penafsiran bahwa tidak ada kata yang bermakna sama dalam al-Qur’an, karena tiap kata memiliki makna dan citarasa bahkan maksud bahasa yang berbeda dengan lainnya.
Amin al-Khulli membagi kajian Corak Tafsir Adaby menjadi dua kajian: 1. Kajian seputar al-Qur’an, 2. Kajian kandungan al-Qur’an.[5] Kedua kajian ini ada dalam upayanya agar al-Qur’an dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh.
1.      Kajian seputar al-Qur’an
Secara umum, kajian seputar al-Quran sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin al-Khulli berkaitan tentang latar belakang baik secara materiil maupun spiritual dimana al-Qur’an diwahyukan, rentang waktu penulisan, dikodifikasi, ditulis, dibaca dan dihapalkan. Al-Qur’an juga mempunyai tatabahasa Arab, corak warna bahasa Arab dan sebagainya. Warna ke-Arab-an dan cita rasa bahasa Arab ini yang memerlukan pemahaman secara khusus dan integral. Kajian lainnya ialah mengenai silsilah, keluarga dan budaya masyarakat Arab sewaktu al-Qur’an diturunkan.
Kondisi spiritual masyarakat Arab saat itu dimana paganisme merupakan tradisi keagamaan yang sangat kental dan mendominasi mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam melihat realitas keber-Tuhan-an dan realitas kehidupan kaum Arab. Selain Paganisme juga terdapat beberapa agama yang tersebar diantaranya Yahudi dan Nashrani. Al-Qur’an datang dengan berbagai nilai yang sangat kontekstal semisal mengajarkan ke-Tuhan-an Yang Esa, tatacara penyembahan yang bermartabat dan juga menjadi bagian dari hidup yang bermartabat dengan semisal melarang membunuh bayi-bayi perempuan mereka. Disamping itu aspek-aspek kondisi alam yang bersifat material seperti: gunung-gunung, cuaca, padang sahara, dataran, pepohonan, tumbuh-tumbuhan, turut membantu dalam proses memahami al-Qur’an secara tidak langsung.
Jika kajian sastra diarahkan pada pengenalan bahasa arab dan ke-Arab-an secara lebih cermat dan lebih jauh maka akan dapat mengkaji sastra bahasa arab secara benar, karena al-Qur’an merupakan karya sastra terbesar dan tertinggi.  Dan hal ini sangat memungkinkan karena, Pertama, Al-Qur’an merupakan kitab suci satu yang tidak ada penambahan ataupun pengurangan dimanapun dan kapanpun. Kedua, bahasa yang dipergunakannya senantiasa masih hidup dan dipergunakan oleh ratusan juta manusia. Ketiga, sastranya bukan hanya sastra satu bangsa namun juga gabungan dari berbagai dealektika bahasa Arab yang dulu ada meski tidak semuanya tercatat dalam sejarah. Bagaimanapun al-Qur’an turut mencatat zaman dimana ia diturunkan dalam hal ini.[6] Lebih jauh lagi kajian seputar al-Qur’an ini meliputi kajian sejarah dan atau arkeologi, sastra, keagamaan, hukum, social-politik secara mendalam dan bahkan literatur Arab tempo dulu.
Secara ringkas kajian seputar al-Qur’an meliputi:
Ø Kajian teks, filologis, dan penjelasan tentang sejarah perkembangannya.
Ø Penjelasan mengenai latar belakang tempat al-Qur’an muncul, sumber darimana ia lahir, bagaimana perkembangan makna-maknanya. Setelah semuanya dapat dilakukan, barulah melangkah kekajian selanjutnya. 
2.     Kajian  kandungan al-Qur’an
Kajian kandungan al-Qur’an dalam tafsir Adaby ini meliputi sastra, mu’jam, maudlu’I dan mencakup disiplin ilmu diliar eksakta. [7] Kajian ini diawali dengan meneliti kosakata atau berbagai kata yang sama dan berhubungan.  Dalam meneliti kosakata dalam bidang sastra maka harus mempertimbangkan aspek perkembangan entang makna kata, karena akan berpengaruh dalam proses pemahaman kosakata tersebut. Pengaruh ini berbeda-beda antar generasi. Ini timbul akibat gejala-gejala psikologis, sosial dan faktor peradaban bangsa.[8] Tradisi keagamaan dan social turut mempengaruhi pergeseran makna dan pola pemaknaan baru dalam suatu kata. Semua perkembangan ini meninggalkan budaya warisan  yang sangat besar.
Seorang mufassir harus meneliti bahasa dari kata yang akan ia tafsirkan terlebih dahulu sesuai dengan citarasa bahasanya. Kemudian meneliti dan mengurutkan peaknaan demi pemaknaan kata sesuai dengan zamannya dan pada akhirnya ia menetapkan, setelah itu memberikan pertimbangan, makna bahasa dari kata tersebut. Makna kata inilah yang dikenal untuk pertama kalinya oleh bangsa arab yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an.[9] Maka disinilah mufassir menurut al-Khulli dan juga Aisya Binti asy-Syathi’ harus mampu meneliti, mengamati dan membedakan berbagai citarasa dan dialektika bahasa. Kemudian kata-kata yang mirip (sinonim kata) dianalisa dan di tafsirkan sesuai dengan berbagai perangkat kebahasaan tadi.
Retorika pemahaman kosakata dan susunan kalimat ini bukan dilakukan secara  diskriptif hanya menerangkan istilah balaghah saja, namun justru pandangan retorik merupakan pandangan sastrawi yang artistic, menggambarkan keindahan ujaran dalam stilistika al-Qur’an dimana ia mampu mewakili deskripsi keindahan dalam menggambarkan sesuatu untuk kemudian lebih mudah dipahami dalam kerangka penggambaran yang sangat indah tersebut. Selain itu disertai renungan-renungan mendalam terhadap berbagai struktur dan stilistika al-Qur’an untuk mengetahui keistimewaan yang unik apabila dibandingkan dengan karya-karya arab. Bahkan untuk mengetahui berbagai jenre (jenis) istilah al-Qur’an dan tema-temanya, jenre demi jenre dan tema pertema. Pengetahuan ini harus dikuasai sedemikian rupa sehingga karaktersitik-karakteristik al-Qur’an dalam setiap jenre dan keunggulannya, yang memperlihatkan keindahannya, dapat dijelaskan.[10]
Tujuan penggambaran wajah al-Qur’an semacam inilah yang dipandang sebagai bagian dari kemukjizatan sastrawi oleh Amin al-Khulli dan juga Aisyah Binti Syathi’. Bukan hanya dari segi pengungkapan fakta sejarah yang terjadi terkait berbagai mukjizatnya dalam ilmu eksakta, namun juga pemaknaan yang mendalam dari al-Qur’an seharusnya digali lebih dalam. Agaknya terlalu kaku jika al-Qur’an selalu ditafsirkan dalam kaitannya dengan pengalaman empiris ilmu pengetahuan karena aspek keindahannya lambat laun akan tertutupi oleh pesan-pesan yang ditegaskan dalam fatwa dan hukum berlandaskan pengetahuan.
Kajian seputar Qur’an yaitu kajian tentang lingkungan materi dan spiritual yang melatari keberadaan Qur’an, baik turunnya, pengumpulannya, penulisannya, pembacaannya penghapalannya, khitab (sasaran pembicaraannya) pada penduduk yang mana risalahnya ditujukan agar mereka bangkit untuk menyampaikannya dan menyerukannya kepada seluruh bangsa di dunia. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan yang sempurna atas lingkungan materi dan spiritual arab, dari zaman primitif sampai zaman sejarah, dan sistem keluarga, kabilah dan kepercayaan.
Kajian kandungan Qur’an yaitu mulanya tentang makna asli dari kosakata-kosakata dalam suatu ayat, lalu beralih pada makna teknis yang digunakan dalam Qur’an, lalu beralih pada susunan kata dan ayat dengan bertolak pada ilmu-ilmu sastra, termasuk adawat (lafazh penanda) kejelasan arti (bayan) dan ketentuannya.

C.    Contoh Kitab dan karakteristik Corak Tafsir Adaby
Kitab Tafsir yang masuk kategori Corak Tafsir Adaby diantaranya pada masa klasik ialah al-Kasysyaf karya az-Zamakhsary selaku kitab yang mendalami tatabahasa, Bahrul Muhith karya Abu Hayyan, az-Zajjaj dalam Tafsirnya Ma’an at-Tanzil. Kemudian al-Mannar,[11] dilanjutkan dengan At-Tafsir Al-Bayânî lî Al-Qur’ân Al-Karîm karya ‘Aisyah Bint Syathi’.
Kitab tafsir Aisyah Bint Syathi’ ini lahir sebagai langkah lanjut dari tawaran Amin Al-Khulli yang menawarkan metode Adaby dalam menafsirkan al-Qur’an. Diantara karakteristik Tafsir Aisyah Bint Syathi’ ialah:
-          Mengungkap makna-makna dibalik sinonim kata
-          Menemukan bahwa tidak ada dua kata yang benar-benar bermakna sama karena tiap kata mempunyai sebuah makna dan citarasa tersendiri, sebagaimana contoh :
خلق    = menciptakan sesuatu yang belum pernah terjadi, semisal bumi seisinya
جعل   = menciptakan sesuatu yang langsung dapat digunakan atau manfaatkan semisal air
سخر   = menciptakan sesuatu sebagai bahan mentah yang masih memerlukan pengolahan semisal bahan tambang dan kekayaan bumi lainnya.
-          Mengungkap kemukjizatan jumlah pengulangan kata dalam al-Qur’an
-          Memaknai sumpah dengan perspektif yang baru yakni muqsam bih sebagai pengalihan dan bukan pengagungan
-          Mengungkap munasabah antara ayat dan surat dan mengaitkannya satu sama lain terutama dari sudut pandang kebahasaan.
Selain karakteristik diatas, Tafsir Binti Syathi tidak luput dari empat prinsip penafsiran yakni:
-          Pertama menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, yang berpegang pada prinsip al-Qur’ân yufassiru ba’duhu ba’dan, bahwa ayat-ayat al-Qur’an menafsirkan sebagian lainnya
-          kedua prinsip munâsabah antar ayat maupun antar surat.
-          Ketiga, ibrah itu hanya memuat pada bunyi teks, bukan dengan asbâb an-Nuzûl (al-ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khusûs al-sabab), kecuali untuk lafadz yang menunjukkan khusus.
-          Keempat, prinsip bahwa kata-kata dalam al-Qur’an tidak ada sinonim.[12]
Bint Syati’ ialah sosok reformis yang mereformasi secara fundamental metode menafsirkan adaby atau yang belakangan popular dengan istilah bayani. Istilah bayani ini tidak menjadi sebuah perspektif baru mengingat bahwa selama ini pemahaman kebahasaan, baik stilistika dan gramatikal bahasa dalam Tafsir cenderung mengadopsi pendapat sebalumnya. Padahal ini merupakan area yang sangat potensial dalam upaya memahami al-Qur’an secara integral, sistemik dan relevan dengan kondisi citarasa ke-Arab-an. Bukan tidak mungkin kajian semacam ini akan mampu mengungkap suatu pesan Hida’i al-Qur’an yang akan terus merevitalisasi semangat dan progresitas zaman. Tafsir Al-Qur’an menjadi tidak monoton danmengalami stagnasi rasa kebahasaan dan sastra terindah yang melekat erat didalamnya, bahkan justru semakin terungkap kemukjizatan demi kemukjizatan darinya. 
Untuk mendapatkan semua tujuan diatas, kajian dalam Tafsir karya “Aisyah Binti Syathi’ ini setidaknya melalui metode Amin al-Khulli yakni kajian seputar al-Qur’an dan juga kajian kandungan al-Qur’an. Meski hampir seluruh mufassir secara tidak langsung menggunakan metode ini, namun perumusan metode dan analisa mendalam yang disuguhkan kedua tokoh tersebut cukup terfokus pada kajian teks-teks Suci (al-Qur’an) dan konteksnya dalam hal citarasa Arab. Karenanya keduanya mendapatkan tempat tersendiri dikalangan para mufassir kontemporer dengan suguhan kedalaman analisa yang ditawarkan. Meskipun begitu tidak semua murid dari Amin al-Khulli ini kemudian berhasil menyajikan kerangka metode Tafsir Adaby pada porsinya. Belakangan Nashr Hamid Abu Zayd mengalami beberapa kemajuan pemikiran diluar batas ke-‘normal’-an selaku Umat Islam yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syari’ah meskipun metode yang ditawarkan Amin al-Khulli sebenarnya cukup lurus.   
Langkah-langkah Binti Syathi’ dalam menafsirkan al-Qur’an:
  1. Mengumpulkan ayat-ayat yang mempunyai kesatuan tema
  2. Mengkaji sejarah dalam tema-tema yang telah diambil
  3. Mengkaji Aspek-aspek bil ma’tsur, semisal Qiraat, nasikh mansukh, asbab nuzul dan lain sebagainya.
  4. Mengaitkannya dengan tradisi keilmuan lainya (misalnya: sejarah, dengan psikologi sosial dan tradisi)
  5. Mengkaji mufrodat dan penggunaannya dari segi bahasa
  6. Mengkaji susunannya dari segi gramatikal bahasa (nahwu, balaghah dan sastra)
  7. Menyimpulkan hasil analisanya dan mengaitkannya dengan ayat-ayat lain (munasabah antar ayat dan surat)
Sosok Amin al-Khulli yang dikenal kuat mempengaruhi corak penafsiran generasi selanjutnya, seperti Ahmad Khalfallah, Nasr Hamid Abu Zayd, Aisyah Abdurrahman atau Bintu Syati’. Dari ketiga penerus beliau ini, Bintu Syati’-lah yang pemikirannya secara luar dikonsumsi public. Selain berbasis metode analisa teks, Bintu Syati’ dikenal sangat memperhatikan sisi normatif dan tidak terlepas dari sisi ilmiah. Saat ini Tafsir dengan metode analisa teks masih digandrungi dan terus dikaji para pengkaji Tafsir terutama di IAIN se-Indonesia. Beliau belum secara lengkap menafsirkan seluruh surat yang ada didalam Al Qur’an, melainkan hanya 14 surat, yaitu; Surat At Takatsur, Balad, Nazi’at, ‘Adiyat, Al Zalzalah, As Syarkh (Insyirah), Dhuha, Al Ma’un, Humazah, Fajr, Lail, ‘Asr, Al Alaq, Qalam. Meski begitu metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an menjadi rujukan banyak kaum Inteletual Islam dalam melihat cara pandang baru bahasa dan sastra dalam Tafsir.


BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
v  Corak Tafsir Adaby merupakan kecenderungan Mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan metode analisa bahasa dan munasabah antar ayat dan surah. Corak Adaby sendiri telah ada sejak lama namun perumus modernnya ialah M. Abduh dan Rasyid Ridha yang memperkenalkan Adaby lewat sisi Ijtima’i-nya kemudian disusul oleh Amin Al-Khulli yang memperkuat analisa sastrawi.
v  Metode penafsiran Adaby menurut Aisyah Binti Syathi’ memiliki empat prinsip yakni: Pertama menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, kedua prinsip munâsabah antar ayat maupun antar surat ketiga, al-ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khusûs al-sabab, kecuali untuk lafadz yang menunjukkan khusus, keempat, prinsip bahwa kata-kata dalam al-Qur’an tidak ada sinonim.
v  Diantara contoh kitab yang bercorak Adaby baik seccara bahasa, gramatikal maupun sastralah Al-Kasysyaf, Bahr al-Muhith, Ma’an at-tanzil, dan At-Tafsir Al-Bayânî lî Al-Qur’ân Al-Karîm. Karakteristik penafsiran Aisyah Bint Syathi selaku tafsir yang kami jadikan contoh konkrit ini ialah bahwa tidak ada kata yang bermakna sama dalam al-Qur’an, karena tiap kata memiliki makna dan citarasa bahkan maksud bahasa yang berbeda dengan lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, Mudzakir ,  Terjemahan Al-Tafsir Al-Bayani Lil Qur’an Al-Karim, Kairo : Dar Al-Ma’arif
Ali Iyazi, Sayyid Muhammad, Al-Mufassirun hayatuhum wa manhajuhum
al-Khulli, Amin  dan Nash Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, Penj: Kairan Nahdiyyin, Yogyakarta: Adab Press, 2004
Anwar, Rosihon, Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009
Adab Press
Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009
Syafe’I, Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006


[1] Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun hayatuhum wa manhajuhum,  hal: 42.
[2] Rachmat Syafe’I, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hal: 257
[3] Rosihon Anwar, Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009, hal: 200
[4] Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun hayatuhum wa manhajuhum,  hal: 46-47
[5] Amin al-Khulli dan Nash Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, Penj: Kairan Nahdiyyin, Yogyakarta: Adab Pree, 2004, hal:64
[6] Amin al-Khulli dan Nash Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, Penj: Kairan Nahdiyyin, Yogyakarta: Adab Press, 2004, hal:69-70.
[7] Rachmat Syafe’I, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hal: 273
[8] Amin al-Khulli dan Nash Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, … hal:71.
[9] Amin al-Khulli dan Nash Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, … hal:74.
[10] Amin al-Khulli dan Nash Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, … hal:76-77.
[11] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009, hal: 213
[12] Drs. Mudzakir Abdussalam, MA, Terjemahan Al-Tafsir Al-Bayani Lil Qur’an Al-Karim, (Kairo : Dar Al-Ma’arif), 1990, hlm. 10-11.

Tafsir Mahmud Yunus



PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Mahmud Yunus merupakan salah seorang Mufassir Indonesia yang mampu menafsirkan al-Qur’an 30 Juz lengkap. Ia tumbuh pada saat penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia merupakan hal yang diharamkan pada Ulama’ semasanya. Tindakannya yang progresif ini terbukti menyadarkan kita bahwa Tafsir bukanlah karya yang mustahil jika umat Islam benar-benar mengkaji keilmuan dan persyaratan penafsiran. Islam menjadi semakin difahami dengan adanya Tafsir-tafsir bahasa Indonesia yang bermunculan di abad 20-an. Karnanya agama merupakan salah satu upaya agar mampu meningkatkan moralitas ummat yang kini menurun. Lahirnya Tafsir masakini juga tidak luput dari upaya ulama masa lalu yang turut mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an meskipun masih tergolong penafsiran yang gobal. Namun sejarah membuktikan bahwa eksistensi dari progresifitas ummat yang berkembang dan maju harus sebenarnya telah ddimulai dari sejarah. Karenanya tiap decade dan periode hendaknya menciptakan sejarahnya sendiri khususnya Umat Islam dalam bidang terpenting yakni penafsiran al-Qur’an.

  1. Rumusan Masalah
a.         Biografi dan karya-karya Mahmud Yunus
b.        Sekilas tentang kitab Tafsir al-Qur’an al-Karim , metode, corak, sistematika, dan contoh penafsirannya.

 
PEMBAHASAN

A.    Biografi Prof. DR. H. Mahmud Yunus
1.      Profil Mahmud Yunus
Mahmud Yunus dilahirkan dari pasangan Yunus B. incek dan hafsah binti Imam Sami’un, Mahmud Yunus lahir pada tanggal 10 februari 1899 M/30 Ramadhan 1316 H, di desa Sunggayang, Batusangkar, Sumatra Barat. Ayahnya adalah  seorang imam, sedangkan ibunya adalah anak dari Engku Gadang M.Thahir bin Ali. Ketika usianya masih balita, ayah ibunya Mahmud Yunus bercerai, ia ikut ibunya, dan hanya sekali ayahnya menjenguknya.[1] Mahmud Yunus tumbuh dikalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Yunus bin Incek, seorang pengajar di Surau dan Ibunya  Hafsah binti Imam Samiun adalah  anak Engku Gadang M. Tahir bin Ali, pendiri serta pengasuh surau si wilayah tersebut.[2] Meski ada yang mengatakan bahwa ayah dan Ibu Mahmud Yunus bercerai sejak balita, namun Yunus tetap antusias dalam belajar baik agama maupun umum. Yunus memulai pendidikannya dengan belajar Alquran dan bahasa Arab, yang langsung ia peroleh dari kakeknya.
Di samping mendapat pendidikan agama, Yunus juga pernah bersekolah di pendidikan sekuler, yakni di Sekolah Desa pada tahun 1908. Tahun pertama Sekolah Desa ia selesaikan hanya dalam masa 4 (empat) bulan, karena ia memperoleh penghargaan untuk dinaikkan ke kelas berikutnya. Pendidikan di Sekolah Desa hanya dijalaninya selama kurang dari tiga tahun. Sebab, pada waktu belajar di kelas empat, Yunus menunjukkan ketidakpuasannya terhadap mata pelajaran di sekolah tersebut. Karena merasa masih haus pengetahuan, Yunus lantas pindah belajar di madrasah milik H. M Thaib Umar di Tanjung Pauh Sunggayang. Madrasah ini bernama Madras School. Di sekolah ini, ia mempelajari ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, Berhitung dan Bahasa Arab. Siang hari ia belajar disana dan malam harinya mengajar di Surau kakeknya.[3]
Di tangan Thaib Umar ini Yunus dapat mempelajari pelbagai disiplin keilmuan Islam. Selain ilmu-ilmu keagamaan yang ia dapatkan, Ia juga mewarisi semangat pembaharuan sang guru. Pada tahun 1917, Syekh H.M. Thaib Umar sakit. Karena itu, Yunus secara langsung ditugasi untuk menggantikan gurunya memimpin Madras School. Saat bersamaan, dalam rentang waktu 1917-1923, di Minangkabau tengah tumbuh gerakan pembaruan Islam yang dibawa oleh para alumni Timur Tengah. Umumnya, pembaruan Islam ini terwujud dalam dua bentuk, yakni purifikasi dan modernisasi. Para alumni Timur Tengah lebih condong dalam gerakan purifikasi, yaitu gerakan yang bertujuan untuk mengembalikan Islam ke zaman awal Islam dan menyingkirkan segala tambahan yang datang dari zaman setelahnya.[4]
Tak heran hanya dalam waktu empat tahun ia telah dipercaya oleh sang Guru untuk menggantikannya mengajar bahkan mewakilinya dalam forum akbar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang Panjang. Lalu pada tahun 1920 Yunus membentuk perkumpulan pelajar Islam yang juga menerbitkan majalah al-Basyir, dan Yunus sebagai pemimpi redaksinya. Pada tahun 1924, Yunus mendapat kesempatan untuk belajar di al-azhar, Kairo-Mesir. Dalam tempo setahun ia mampu mempelajari ushul fiqh, fiqh hanafi dan tafsir. Karena kebriliannya ini ia mendapatkan Syahadah ‘alimiyah dari al-Azhar , dan menjadi orang kedua yang menyabet predikat tersebut.[5] kemudian pada tahun 1926-1930 belajar di madrasah darul ulum ulya, beliau adalah orang Indonesia yang pertama belajar disini. Beliau mengambil takhasshus tadris sampai memperoleh ijazah tadris (diploma guru).[6]
Kemampuan mengajar yang ia miliki sejak masih belajar di Batusangkar memantabkan karier ke-guru-annya terutama setelah ia kembali dari Mesir. Secara terus menerus Mahmud Yunus mengajar dan memimpin berbagai sekolah, yakni pada al-Jami’ah al-Islamiyah Batusangkar (1931-1932), Kuliyah Mu’alimin Islamiyah Noramal Islam Padang (1932-1946), Akademi Pramong Praja di Bukit Tinggi (1948-1949), Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta (1957-1980), menjadi Dekan dan Guru Besar pada fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1960-1963), Rektor IAIN Imam Bonjol Padang (1966-1071). Atas jasa-jasanya dibidang pendidikan ini, pada 15 Oktober 1977, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menganugerahi Mahmud Yunus Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Tarbiyah.[7]
Selain itu Yunus juga sering berkunjung ke luar negri, baik sebagai tugas yang diberikan pemerintah kepada beliauu maupun atas undangan untuk menghadiri berbagai muktamar. Prof. DR. H. Mahmud Yunus juga banyak menulis buku, terutama buku pelajaran agama islam untuk anak-anak, termasuk pula tafsir dan terjemahan al-qur’an.[8] Pada awal tahun 1970 kesehatan Mahmud Yunus menurun dan bolak balik masuk rumah sakit. Sepanjang hidupnya, Mahmud menulis tak kurang dari 43 buku. Pada tahun 1982, Mahmud Yunus meninggal dunia.

2. Karya-karya Mahmud Yunus
Pada perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan buku sebanyak 82 buah meskipn sebagian menyebutkan karyanya hanya berkisar 43 buku. Dari jumlah itu, Yunus membahas berbagai bidang ilmu, yang sebagian besar adalah bidang-bidang ilmu agama Islam, seperti bidang Fiqh, bahasa Arab, Tafsir, Pendidikan Islam, Akhlak, Tauhid, Ushul Fiqh, Sejarah dan lain-lain.
Di antara bidang-bidang ilmu yang disebutkan, Yunus lebih banyak memberi perhatian pada bidang pendidikan Islam, bahasa Arab (keduanya lebih banyak memfokus pada segi metodik), bidang Fiqh, Tafsir dan Akhlak yang lebih memfokus pada materi sajian. Sesuai dengan kemampuan bahasa yang ia miliki, buku-bukunya tidak hanya ditulis dalam bahasa Indonesia, akan tetapi juga dalam bahasa Arab. Ia memulai mengarang sejak tahun 1920, dalam usia 21 tahun. Karirnya sebagai pengarang tetap ditekuninya pada masa-masa selanjutnya. Yunus senantiasa mengisi waktu-waktunya untuk menulis, dalam situasi apapun.[9]
Adapun diantara karya-karya Mahmud Yunus ialah:[10]
1.      Tafsir al-Quran tamat 30 juz, tahun 1938.
2.      Hukum Warisan dalam Islam. untuk tingkat Aliyah.
3.      Perbandingan Agama, untuk tingkat Aliyah.
4.      Hukum perkawinan dalam Islam, 4 Madzhab.
5.      Ilmu Mustalahul Hadist, bersama H. Mahmud Aziz.
6.      Kesimpulan isi al-Quran, untuk Muballigh-Muballigh / umum.
7.      Allah dan Makhluq-Nya, Ilmu Tauhid menurut Al-Quran.
8.      Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
9.      Pendidikan-Pendidikan Umum di Negara-negara Islam/Pendidikan Barat.
10.  Ilmu Jiwa kanak-kanak, kuliyah untuk kursus-kursus.
11.  Pedoman Dakwah Islamiyah, kuliyah untuk dakwah.
12.  Dasar-dasar Negara Islam.
13.  Juz Amma dan terjemahnya.

B.     Sekilas Tentang Tafsir al-Qur’an al-Karim
Secara singkat, aktivitas seputar Al Quran di Indonesia dirintis oleh Abdur Rauf Singkel, yang menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Melayu, pada pertengahan abad XVII. Upaya rintisan ini kemudian diikuti oleh Munawar Chalil (Tafsir Al Quran Hidayatur rahman), A.Hassan Bandung (Al-Furqan, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Quran Indonesia, 1935).[11] Dalam konsep Howard M. Federspiel, ia membagi  kemunculan dan perkembangan Tafsir di Indonesia dalam 3 periode. Yakni periode pertama mulai abad ke-20 ditandai dengan penafsiran  terpisah-pisah, periode kedua (1960) dengan  ditandai dengan catatan kaki kemudian periode ketiga (1970) ditandai dengan penjelasan yang lebih luas dari periode kedua.[12] Karya Mahmud Yunus tetap menjadi literature yang paling popular di bandingkan karya Tafsir semasanya meskipun kemudian lahirlah karya-karya Tafsir yang lebih ilmiah.[13]
Sedangkan Baidan mengelompokkan , setidaknya ada enam buah karya Tafsir yang muncul pada masa Mahmud Yunus yang berturut-turut hingga menjelang kemerdekaan Indonesia menurut Nashruddin Baidan:
a.       A.Hassan Bandung (Al-Furqan, 1928)
b.      Al-Qur’an Indonesia oleh Syarikat Kweek School Muhammadiyah (1932)
c.       Tafsir Hibarna oleh Iskandar Idris (1934)
d.      Tafsir asy-Syamsiyah oleh KH. Sanusi (1935)
e.       Tafsir Al-Qur’annul karim oleh Mahmud Yunus (1938)
f.       Tafsir Qur’an Bahasa Indonesia oleh Mahmud Aziz (1942)
Jika keenam kitab tersebut diamati secara seksama maka secara umum penafsiran mereka belum terlau signifikan perkembangannya. Namun bagaimanapun karya para Ulama tersebut sangat berarti karena merupakan upaya konkrit dan sistematis dalam usaha untuk memahami al-Qur’an.[14] Manfaat tersebut juga dapat dirasakan pada generasi-generasi setelahnya. Bila diteliti lebih lanjut lagi, dalam penafsiran yang mereka berikan secara umum masih dipengaruhi oleh budaya dan tradisi Arab sehingga budaya dan bahasa Indonesia belum terlihat secara ekplisit.[15]
Selanjutnya, Mahmud Yunus mulai menterjamahkan al-Qur’an dan diterbitkan tiga juz dengan huruf arab-melayu pada tahun 1922. Meskipun saaat itu para ulama mengharamkan penterjemahan al-Qur’an tetapi ia tetap berusaha untuk menterjemahkan al-Qur’an.[16] Pada bulan ramadhan tahun 1354 H/Desember 1935, Mahmud mulai menterjemahkan al-Qur’an serta tafsir ayat-ayat yang di anggap penting, yang kemudian dinamai dengan tafsir al-Qur’an al-Karim. Pada waktu menterjemahkan juz 7 sampai juz 18 beliau dibantu oleh almarhum H. M. K. Bakry, pada bulan april 1938 beliau menyelesaikan tiga puluh juz dan di sebar luaskan keseluruh Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1950 dengan persetujuan menteri agama almarhum Wahid Hasyim, salah satu penerbit Indonesia hendak menerbitkan tafsir al-Qur’an al-Karim itu dengan mendapat fasilitas kertas dari menteri agama dan dicetak sebanyak 200.000 eksemplar.
Kabarnya ada bantahan dari ulama Yagyakarta, supaya diberhentikan mencetak tafsir al-Qur’an itu, bantahan itu dikirimnya kepada menteri agama  R.I. hingga membuat percetakan tidak lagi mau menerbitkan Tafsir al-Qur’anul Karim. Akhirnya di ambil alih oleh M.Baharta direktur percetahan Ma’arif Bandung, lalu dicetak dan diterbitkan sebanyak 200.000 eksemplar dan dijualnya dengan harga Rp. 21.00 per eksemplar.
Pada tahun 1953 M seorang ulama dari Jatinegara membantah pula, bantahan itu dikirimnya pada Presiden R.I. dan menteri Agama. Salinannya disampaikan kepada beliau (Mahmud Yunus) oleh kementerian agama, kemudian beliau membalas suratnya dengan panjang lebar dan mengukuhkan pendiriannya untuk tetap menerbitan Terjemah alQur’an yang merupakan Tafsir Bahasa Indonesia pertama tersebut. Tembusannya beliau kirimkan kepada Presiden R.I. dan menteri agama, akhirnya tidak ada yang mengganggu gugat lagi.
Kemudian setelah menyelesaikan percetakan itu, beliau bersama istrinya (Darisah binti Ibrahim) meneruskan usahanya dalam menerbitkan tafsir al-Qur’an al-Karim itu. Terjadi beberapa kali revisi, diantaranya ialah merevisi dari penulisan arab melayu menjadi bahasa Indonesia dengan penulisan latin sebelum kemudian tafsir al-Qur’an al-Karim diterbitkan oleh CV. Al-Hidayah.

1.      Motivasi penulisan Tafsir
Sejak kecil Mahmud Yunus telah mempelajarari berbagai displin keagaman Islam terutama bahasa Arab. Ia telah mencintai ilmu-ilmu kebahasaan dan juga menguasai metode mengajar.  Minatnya terhadap studi al-Quran serta bahasa arab telah menimbulkan hasrat besar dalam diri Mahmud Yunus untuk menulis tafsir al-Quran yang kemudian menjadi karya monumentalnya sendiri yang tetap populer sampai saat ini. Selain itu kebutuhan untuk mengajar dan menjadikan al-Qur’an aar lebih mudah dipahami oleh umat Islam di Nusantara.
Penulisan tafsir ini dimulai pada November 1922 yang dilakukan secara berangsur-angsur juz demi juz sampai dengan selesai juz ke-tiga puluh. Perlu di garis bawahi disini bahwa upaya penulisan Mahmud Yunus ketika itu, merupakan tindakan yang cukup berani disaat masih maraknya pandangan yang mengatakan bahwa haram menterjemahkan al-Quran.

2.      Sistematika Penulisan Tafsir
Kitab ini terdiri dari dua jilid yaitu pertama satu jilid tamat dari juz 1 sampai dengan 30, kedua , tiga jilid, pertama dari juz 1 sampai dengan juz 10, jilid kedua dari juz 11 sampai dengan 20, jilid ketiga dari juz 21 sampai dengan 30. Tafsir al-Quran ini sistematika penafsirannya sama seperti isi al-Quran dan terjamahan disamping kanan ayat (setiap ayat) kemudian terjemahannya dibawahnya terdapat penafsiran. Sistematika penafsiran Mahmud Yunus menafsirkan seluruh ayat sesuai susunannya dalam mushaf al-Quran ayat demi ayat, surat demi surat, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Naas. Maka secara sitematika penafsiran tafsir ini menempuh tartib Mushaf.[17]

3.      Sumber-sumber tafsir al-Qur’an al-Karim:
1.        Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
2.        Tafsir al-Qur’an dengan hadis yang shahih
3.        Tafsir al-Qur’an dengan perkataan sahabat
4.        Tafsir al-Qur’an dengan perkataan tabi’in
5.        Tafsir al-Qur’an dengan ilmu bahasa ‘arab bagi ahli ilmu lughah ‘arabiyyah
6.        Tafsir al-Qur’an dengan ijtihad bagi ahli ijtihad.
Jadi, sumber utama penafsiran Mahmud Yunus masih tergolong bil-ma’tsur.

4.      Referensi penafsiran dari pelpagai kitab-kitab tafsir, diantaranya adalah:
1)        Tafsir al-Thabary
2)        Tafsir Ibn Katsir
3)        Tafsir al-Qasimy
4)        Fajrul Islam
5)        Dhuhal Islam[18]

5.      Metode dan corak Penafsiran al-Qur’an al-Karim
Tafsir al-Quran Karim Mahmud Yunus ini menunjuk pada metode tahlili, suatu metode tafsir yagn bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dan seluruh aspeknya. Dalam tafsir Mahmud Yunus, aspek kosa kata dan penjelasan arti global tidak selalu dijelaskan. Kedua aspek tersebut dijelaskan ketika dianggap perlu.[19] Dalam pandangan Nashruddin Baidan, Tafsir Mahmud Yunus ialah ‘umum’ sebagaimana Tafsir yang tumbuh semasanya. Artinya belum ada suatu ke-khas-an yang khusus dalam Tafsirnya.

6.      Kelebihan sistematika penulisan Tafsir al-Qur’an al-Karim
1)        Terjemahan al-Qur’an disusun baru, sesuai dengan perkembangan bahasa Indonesia
2)        Teks al-Qur’an dan terjemahan disusun sejajar, sehingga memudahkan pembaca untuk mencari terjemah.
3)        Keterangan-keterangan atau penafsirannya diletakkan dihalaman ayat yang bersangkutan (footnote)
4)        Keterangan-keterangan ayat ditambah dan diperluas, Mahmud Yunus juga menambahkan keterangan dan mengaitkannya dengan isu-isu kontemporer saat itu.[20] [21]

7.      Contoh Penafsiran
Contoh Tafsir Mahmud Yunus dalam surat An-Nisa’ ayat 9:
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy 
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Keterangan ayat 9: “ dalam ayat ini Allah menganjurkan kepada orang tua agar memikirkan akibat anak-anaknya yang masih lemah (kecil), bila ia meninggal dunia. Sebab itu hendaklah ia bertakwa dan berusaha meninggalkan harta pusaka untuk mereka. Janganlah mewasiatkan hartanya untuk fakir miskin dan amalan sosial lebih dari mestinya, supaya tidak terlantar kehidupan anak-anaknya yang masih kecil itu.
Menurut islam, berwasiat itu hukumnya sunnah, sedang mendidik anak-anak hukumnya wajib. Yang wajib harus didahulukan daripada yang sunnah. Demikian hukum islam

8.      Lampiran contoh Kitab Tafsir.
Berikut ini penulis melampirkan contoh Kitan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus. Lampiran itu juga menunjukkan sistematika, karakteristik Tafsir, corak umum dan metode Tahily dan juga sumber penafsiran Bil Ra’yi karna upaya penerjemahan tersebut juga merupakan suatu ijtihad berdasarkan Ra’yu.


PENUTUP
Kesimpulan

1.      Mahmud Yunus merupakan salah satu mufassir dan penulis produktif yang menulis sejak usia 21 tahun dan mengajar sejak dini. Minat dalam dunia pendidikan ini tidak hanya mengantarkannya ke berbagai daerah dan belahan dunia namun juga mempengaruhi sistem pendidikan agama Islam dimasanya hingga sekarang. Beliau adalah alah satu tokoh yang berpengaruh di Indonesia karena produktivitas tulisannya dan juga progresfitas pemikirannya.
2.      Tafsir al-Qur’an al-karim merupakan penafsiran dengan corak umum dan global. Metode yang digunakannya juga tergolong tahlily. Penafsirannya masih sebatas penjelasan Al-Qur’an secara global dan belum sampai pada taraf yang khas dan khusus.

 
DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nashruddin Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003
Federspiel, Howard M. Kajian al-Qur’an di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, 1994
Ghofur, Saiful Amin, Profil Para Mufassir, Yogyajarta: Pustaka Insan Madani, 2008
Gusmian, Islah,  Khazanah Tafsir di Indonesia, Bandung: penerbit Teraju, 2003 2003
Mohammad, Herry dkk. Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006
Yunus, Mahmud. Tafsir al-Qur’an al-Karim, Jakarta: PT.Hidakarya Agung,1969



[1] Herry Mohammad, dkk. Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006). Hal. 85-86
[2] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir, (Yogyajarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hal: 197
[5] Saiful Amin … hal: 198
[6] Herry Mohammad, dkkHal. 85-86
[8] Mahmud Yunus. Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: PT.Hidakarya Agung,1969). Lihat kulit depan tafsir beliau.
[9] Saiful Amin … hal: 200
[12] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia, (Bandung: penerbit Teraju, 2003), hal: 65
[13] Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 1994), hal: 130
[14] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003) hal: 88
[15] Nashruddin Baidan … hal: 89
[16]Mahmud Yunus. Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: PT.Hidakarya Agung,1969), hal. III Pendahuluan
[18] Mahmud Yunus. Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: PT.Hidakarya Agung,1969). Hal. VI pendahuluan
[20] Seperti halnya dengan isu hukum ber-Jilbab di Indonesia. (Lihat di ayat-ayat Aurat dalam Tafsir al-Qur’anul Karim)
[21] Mahmud Yunus. Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: PT.Hidakarya Agung,1969), hal. VI-V Pendahuluan

KOMPATIBILITAS SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA DENGAN TEKS AL-QUR’AN

Oleh : Lutfiyatun Nakiyah PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Sistem politik pemerintahan berkembang demikian pesatnya dari masa...