KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt yang
telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta inayahnya kepada kita sehingga
kita bisa memperoleh semangat, kekuatan, dan kesabaran dalam menjalani
kehidupan ini serta penulis bisa menyelesaikan makalah ini yang bertema corak
adabi tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam selalu
terlimpahkan kepada Rasulllah saw yang telah menunjukkan kita dari jalan
kegelapan menuju jalan yang terang benderang yakni Diinul Islam.
Terima kasih kami ucapan kepada seluruh
pihak yang turut serta dalam membantu dalam penyelesaian makalah ini. Harapan
kami adalah agar Tafsir Adaby ini lebih dikenal, dipahami dan didiskusikan
lebih lanjut oleh mahasiswa sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan corak
Tafsir yang lain. Kami tahu makalah ini pasti terdapat kekurangan maupun
kesalahan, untuk itu kami mohon saran
dan kritik dari seluruh pembaca.
Jakarta, 29 Desember 2011
PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang masalah
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, kitab
yang tidak dapat ditantang oleh siapapun. Hidayahnyya dan kemukjizatannya
digambarkan oleh para mufassir dalam tafsirannya masing-masing menurut kadar
kemampuannya. Al-Qur’an semenjak turunnya sampai sekarang telah melalui
beberapa zaman dan beberapa masa dan ia akan tetap demikian terus menerus. Oleh Karena orang arab dahulu
mempunyai keahlian yang sempurna dalam bahasannya, walaupun mereka tidak pandai
membaca dan menulis mereka dapat dengan mudah memahami al-Qur’an. tetapi
sesudah bahasa arab yang pada mulanya dimiliki dengan sempurna, kian hari kian
menurun. Maka sebagai natijah dari
terjadinya pencampuran masyarakat, perlu langkah untuk menetapkan
kaidah-kaidah bahasa Arab dan berbagai macam keilmuan tentangnya. Dengan sebab
inilah ilmu adab dan ilmu umum mulai masuk ke dalam tafsir al-Qur’an karena
untuk memahami al-Qur’an diperlukan ilmu-ilmu tersebut.
Kebutuhan kajian Tafsir bahasa
dan sastra semakin dibutuhkan meningat berbagai belahan dunia saat ini terutama
Indonesia banyak yang menafsirkan al-Qur’an tanpa memperdulikan redaksional,
gramatikal dan nilai kesusasteraan bahasa Arab yang notabene bahasa al-Qur’an.
Arti dan tafsir secara asal-asalan ini kemudian memicu banyak kesalah-pahaman
makna dan tujuan dari Teks suci al-Qur’an bahkan menmbulkan aliran-aliran yang
sporadis dan dangkal dalam memahami Islam secara umum. Ini yang tidak
diinginkan bersama. Karenanya upaya mengembalikan metode dalam memahami dan
menafsirkan al-Qur’an sudah sepatutnya dimulai dari bahasa al-Qur’an itu
sendiri yakni bahasa Arab dan segenap kesusasteraannya.
B. Rumusan Masalah
1.
Definisi
dan sejarah kemunculan Corak Tafsir Adaby
2. Metode Penafsiran ber-Corak Adaby
3.
Contoh
Kitab dan karakteristik corak Tafsir Adaby
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi dan Kemunculan Corak Tafsir
Adaby
Corak
ialah warna atau kecenderungan mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an yang
dipengaruhi oleh latar belakang mufassir, baik dari lingkungan social,
keluarga, pendidikan maupun keahlian dari mufassir tersebut. Tafsir ialah: Ilmu
yang membahas tentang segala sesuatu tetang Al-Qur’an dari sisi dilalahnya
(sebagai landasan dasar atas dalil) sesuai dengan kemampuan manusia (yang
menafsirkannya). Sedangkan Adab berasal dari bahasa Arab yang berarti sastra,
sehingga Adaby secara tidak langsung berarti sastrawi. Pengertian corak
Tafsir Adaby merupakan kajian yang dimulai dengan memerhatikan kosakata dan
susunan ayat dengan bertolak pada ilmu-ilmu sastra, antara lain sharaf, nahwu,
bahasa, balaghah, termasuk instrumen (adawat) kejelasan arti (bayan) dan
ketentuannya, keterkaitan beragam arti dari qiraat-qiraat yang berbeda pada
suatu ayat, memerhatikan pemakaian-pemakaian yang sebanding pada keseluruhan
Qur’an.[1]
Sejarah corak Tafsir Adaby tidak dapat
dilepaskan dengan sejarah perkembangan Tafsir lainnya terutama sekali ialah corak
Adaby-Ijtima’i. Orang yang dianggap mempelopori Tafsir bercorak Adaby-Ijtima’i
ialah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ahmad Amin berpendapat bahwa Pembaharuan
Abduh meliputi 3 aspek yakni keagamaan, bahasa dan politik. Pembaharuannya ini
kemudian dituangkan dalam tafsirnya baik yang ditulis oleh muridnya Rasyid
Ridha maupun dalam dakwah, pengajaran dan lainnya. [2]
Tujuannya selain menghindari penafsiran para Ulama dahulu yang cenderung
menafsirkan al-Qur’an dengan keahlian masing-masing sehingga al-Qur’an terkesan
lepas dari kehidupan masyarakat, ia ingin mebumikan al-Qur’an menjadi
pesan-pesan hidayah atau petunjuk yang terkandung dalam al-Qur’an.
Setidaknya ada empat hal yang dianggap
merupakan unsur pokok ‘Adaby-Ijtima’i’:
-
Menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an
-
Menguraikan makna-makna yang terkandung dalam susunan ayat
al-Qur’an
-
Kontekstualisasi tujuan utama al-Qur’an
-
Penafsiran yang dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku[3]
Seiring dengan perkembangan zaman dan
pengaruhnya yang semakin meluas, Amin al-Khulli kemudian memunculkan gagasan
metode penafsiran dengan lebih mendalami aspek bahasa dan terutama sastrawi
dalam al-Qur’an yang dikemudian hari digunakan oleh Bint asy-Syathi dalam
menafsirkan kitab Tafsirnya. Kajian dan tawaran Amin al-Khulli tentang corak sastra ini termasuk juga: tafsir
secara bahasa, secara balaghah, dan secara bayan. Hanya saja didapati
bahwa sebagian mufasir hanya mengambil salah satu saja dari ketiganya.[4] Kadang juga memerhatikan
ketiga-tiganya, termasuk karya kebahasaan, kebalaghahan atau sastranya dan
ketatabahasaan.
B.
Metode Penafsiran ber-Corak Adaby
Corak sastra bahasa, timbul akibat banyaknya
orang-orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan
orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk
menjelaskan kepada mereka tentang keinstimewaan dan kedalaman arti kandungan
al-Qur’an. Setelah masa Rasyid Ridha menafsirkan al-Qur’an dengan metode
Adaby-Ijtima’i, kemudian lahir corak Tafsir semsal Haraky-Hida’I (pergerakan
dan mengutamakan pesan hidayah al-Qur’an), maka Amin al-Khulli mempelopori
metode penafsiran dengan system ke-bahasa-annya. Ia memperluas kerangka
mtodenya hingga sampai pada taraf sastra dan kajian tentangnya untuk kemudian
diajukan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam memahami al-Qur’an dan masa
turunnya al-Qur’an. Meskipun Amin al-Khulli ialah penggagasnya namun ia tidak
menulis Tafsir secara utuh dan lengkap. Aisyah atau dikenal sebagai Binti
Syathi’ yakni istrinyalah yang kemudian hari menulis Tafsir mengunakan metode
Amin al-Khulli namun dengan eksplorasi lebih luas. Bahkan disebut bahwa ialah
yang menemukan suatu teori penafsiran bahwa tidak ada kata yang bermakna
sama dalam al-Qur’an, karena tiap kata memiliki makna dan citarasa bahkan maksud
bahasa yang berbeda dengan lainnya.
Amin al-Khulli membagi kajian Corak
Tafsir Adaby menjadi dua kajian: 1. Kajian seputar al-Qur’an, 2.
Kajian kandungan al-Qur’an.[5] Kedua kajian ini ada dalam
upayanya agar al-Qur’an dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh.
1.
Kajian seputar
al-Qur’an
Secara umum,
kajian seputar al-Quran sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin al-Khulli
berkaitan tentang latar belakang baik secara materiil maupun spiritual dimana
al-Qur’an diwahyukan, rentang waktu penulisan, dikodifikasi, ditulis, dibaca
dan dihapalkan. Al-Qur’an
juga mempunyai tatabahasa Arab, corak warna bahasa Arab dan sebagainya. Warna
ke-Arab-an dan cita rasa bahasa Arab ini yang memerlukan pemahaman secara
khusus dan integral. Kajian lainnya ialah mengenai silsilah, keluarga dan
budaya masyarakat Arab sewaktu al-Qur’an diturunkan.
Kondisi spiritual masyarakat Arab saat
itu dimana paganisme merupakan tradisi keagamaan yang sangat kental dan
mendominasi mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam melihat realitas keber-Tuhan-an
dan realitas kehidupan kaum Arab. Selain Paganisme juga terdapat beberapa agama
yang tersebar diantaranya Yahudi dan Nashrani. Al-Qur’an datang dengan berbagai
nilai yang sangat kontekstal semisal mengajarkan ke-Tuhan-an Yang Esa, tatacara
penyembahan yang bermartabat dan juga menjadi bagian dari hidup yang
bermartabat dengan semisal melarang membunuh bayi-bayi perempuan mereka. Disamping
itu aspek-aspek kondisi alam yang bersifat material seperti: gunung-gunung,
cuaca, padang sahara, dataran, pepohonan, tumbuh-tumbuhan, turut membantu dalam
proses memahami al-Qur’an secara tidak langsung.
Jika kajian sastra diarahkan pada
pengenalan bahasa arab dan ke-Arab-an secara lebih cermat dan lebih jauh maka akan
dapat mengkaji sastra bahasa arab secara benar, karena al-Qur’an merupakan
karya sastra terbesar dan tertinggi. Dan
hal ini sangat memungkinkan karena, Pertama, Al-Qur’an merupakan kitab
suci satu yang tidak ada penambahan ataupun pengurangan dimanapun dan kapanpun.
Kedua, bahasa yang dipergunakannya senantiasa masih hidup dan
dipergunakan oleh ratusan juta manusia. Ketiga, sastranya bukan hanya
sastra satu bangsa namun juga gabungan dari berbagai dealektika bahasa Arab
yang dulu ada meski tidak semuanya tercatat dalam sejarah. Bagaimanapun al-Qur’an
turut mencatat zaman dimana ia diturunkan dalam hal ini.[6] Lebih
jauh lagi kajian seputar al-Qur’an ini meliputi kajian sejarah dan atau
arkeologi, sastra, keagamaan, hukum, social-politik secara mendalam dan bahkan
literatur Arab tempo dulu.
Secara ringkas kajian seputar al-Qur’an
meliputi:
Ø Kajian teks, filologis, dan penjelasan
tentang sejarah perkembangannya.
Ø Penjelasan mengenai latar belakang
tempat al-Qur’an muncul, sumber darimana ia lahir, bagaimana perkembangan
makna-maknanya. Setelah semuanya dapat dilakukan, barulah melangkah kekajian
selanjutnya.
2.
Kajian
kandungan al-Qur’an
Kajian kandungan al-Qur’an dalam tafsir
Adaby ini meliputi sastra, mu’jam, maudlu’I dan mencakup disiplin ilmu diliar
eksakta. [7] Kajian
ini diawali dengan meneliti kosakata atau berbagai kata yang sama dan
berhubungan. Dalam meneliti kosakata
dalam bidang sastra maka harus mempertimbangkan aspek perkembangan entang makna
kata, karena akan berpengaruh dalam proses pemahaman kosakata tersebut.
Pengaruh ini berbeda-beda antar generasi. Ini timbul akibat gejala-gejala psikologis,
sosial dan faktor peradaban bangsa.[8] Tradisi
keagamaan dan social turut mempengaruhi pergeseran makna dan pola pemaknaan
baru dalam suatu kata. Semua perkembangan ini meninggalkan budaya warisan yang sangat besar.
Seorang mufassir harus meneliti bahasa
dari kata yang akan ia tafsirkan terlebih dahulu sesuai dengan citarasa
bahasanya. Kemudian meneliti dan mengurutkan peaknaan demi pemaknaan kata
sesuai dengan zamannya dan pada akhirnya ia menetapkan, setelah itu memberikan
pertimbangan, makna bahasa dari kata tersebut. Makna kata inilah yang dikenal
untuk pertama kalinya oleh bangsa arab yang berkaitan dengan ayat-ayat
al-Qur’an.[9] Maka
disinilah mufassir menurut al-Khulli dan juga Aisya Binti asy-Syathi’ harus
mampu meneliti, mengamati dan membedakan berbagai citarasa dan dialektika
bahasa. Kemudian kata-kata yang mirip (sinonim kata) dianalisa dan di tafsirkan
sesuai dengan berbagai perangkat kebahasaan tadi.
Retorika pemahaman kosakata dan susunan
kalimat ini bukan dilakukan secara diskriptif
hanya menerangkan istilah balaghah saja, namun justru pandangan retorik
merupakan pandangan sastrawi yang artistic, menggambarkan keindahan ujaran dalam
stilistika al-Qur’an dimana ia mampu mewakili deskripsi keindahan dalam
menggambarkan sesuatu untuk kemudian lebih mudah dipahami dalam kerangka
penggambaran yang sangat indah tersebut. Selain itu disertai renungan-renungan mendalam
terhadap berbagai struktur dan stilistika al-Qur’an untuk mengetahui
keistimewaan yang unik apabila dibandingkan dengan karya-karya arab. Bahkan untuk
mengetahui berbagai jenre (jenis) istilah al-Qur’an dan tema-temanya, jenre
demi jenre dan tema pertema. Pengetahuan ini harus dikuasai sedemikian rupa
sehingga karaktersitik-karakteristik al-Qur’an dalam setiap jenre dan
keunggulannya, yang memperlihatkan keindahannya, dapat dijelaskan.[10]
Tujuan penggambaran wajah al-Qur’an
semacam inilah yang dipandang sebagai bagian dari kemukjizatan sastrawi oleh
Amin al-Khulli dan juga Aisyah Binti Syathi’. Bukan hanya dari segi
pengungkapan fakta sejarah yang terjadi terkait berbagai mukjizatnya dalam ilmu
eksakta, namun juga pemaknaan yang mendalam dari al-Qur’an seharusnya digali
lebih dalam. Agaknya terlalu kaku jika al-Qur’an selalu ditafsirkan dalam
kaitannya dengan pengalaman empiris ilmu pengetahuan karena aspek keindahannya
lambat laun akan tertutupi oleh pesan-pesan yang ditegaskan dalam fatwa dan hukum
berlandaskan pengetahuan.
Kajian seputar
Qur’an yaitu kajian tentang lingkungan materi dan spiritual yang melatari
keberadaan Qur’an, baik turunnya, pengumpulannya, penulisannya, pembacaannya
penghapalannya, khitab (sasaran pembicaraannya) pada penduduk yang mana
risalahnya ditujukan agar mereka bangkit untuk menyampaikannya dan
menyerukannya kepada seluruh bangsa di dunia. Oleh karena itu dibutuhkan
pengetahuan yang sempurna atas lingkungan materi dan spiritual arab, dari zaman
primitif sampai zaman sejarah, dan sistem keluarga, kabilah dan kepercayaan.
Kajian kandungan
Qur’an yaitu mulanya tentang makna asli dari kosakata-kosakata dalam suatu
ayat, lalu beralih pada makna teknis yang digunakan dalam Qur’an, lalu beralih
pada susunan kata dan ayat dengan bertolak pada ilmu-ilmu sastra, termasuk
adawat (lafazh penanda) kejelasan arti (bayan) dan ketentuannya.
C.
Contoh Kitab dan karakteristik Corak
Tafsir Adaby
Kitab
Tafsir yang masuk kategori Corak Tafsir Adaby diantaranya pada masa klasik
ialah al-Kasysyaf karya az-Zamakhsary selaku kitab yang mendalami
tatabahasa, Bahrul Muhith karya Abu Hayyan, az-Zajjaj dalam
Tafsirnya Ma’an at-Tanzil. Kemudian al-Mannar,[11]
dilanjutkan dengan At-Tafsir
Al-Bayânî lî Al-Qur’ân Al-Karîm karya ‘Aisyah Bint Syathi’.
Kitab tafsir Aisyah Bint Syathi’ ini
lahir sebagai langkah lanjut dari tawaran Amin Al-Khulli yang menawarkan metode
Adaby dalam menafsirkan al-Qur’an. Diantara karakteristik Tafsir Aisyah Bint
Syathi’ ialah:
-
Mengungkap makna-makna
dibalik sinonim kata
-
Menemukan bahwa tidak
ada dua kata yang benar-benar bermakna sama karena tiap kata mempunyai sebuah
makna dan citarasa tersendiri, sebagaimana contoh :
خلق = menciptakan sesuatu yang belum pernah
terjadi, semisal bumi seisinya
جعل = menciptakan sesuatu yang langsung dapat
digunakan atau manfaatkan semisal air
سخر =
menciptakan sesuatu sebagai bahan mentah yang masih memerlukan pengolahan
semisal bahan tambang dan kekayaan bumi lainnya.
-
Mengungkap kemukjizatan
jumlah pengulangan kata dalam al-Qur’an
-
Memaknai sumpah dengan
perspektif yang baru yakni muqsam bih sebagai pengalihan dan bukan pengagungan
-
Mengungkap munasabah
antara ayat dan surat dan mengaitkannya satu sama lain terutama dari sudut
pandang kebahasaan.
Selain
karakteristik diatas, Tafsir Binti Syathi tidak luput dari empat prinsip
penafsiran yakni:
-
Pertama menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, yang
berpegang pada prinsip al-Qur’ân yufassiru ba’duhu ba’dan, bahwa
ayat-ayat al-Qur’an menafsirkan sebagian lainnya
-
kedua prinsip munâsabah antar ayat maupun antar surat.
-
Ketiga, ibrah itu hanya memuat pada bunyi teks, bukan
dengan asbâb an-Nuzûl (al-ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khusûs al-sabab),
kecuali untuk lafadz yang menunjukkan khusus.
Bint
Syati’ ialah sosok reformis yang mereformasi secara fundamental metode
menafsirkan adaby atau yang belakangan popular dengan istilah bayani. Istilah
bayani ini tidak menjadi sebuah perspektif baru mengingat bahwa selama ini
pemahaman kebahasaan, baik stilistika dan gramatikal bahasa dalam Tafsir
cenderung mengadopsi pendapat sebalumnya. Padahal ini merupakan area yang
sangat potensial dalam upaya memahami al-Qur’an secara integral, sistemik dan
relevan dengan kondisi citarasa ke-Arab-an. Bukan tidak mungkin kajian semacam
ini akan mampu mengungkap suatu pesan Hida’i al-Qur’an yang akan terus
merevitalisasi semangat dan progresitas zaman. Tafsir Al-Qur’an menjadi tidak
monoton danmengalami stagnasi rasa kebahasaan dan sastra terindah yang melekat
erat didalamnya, bahkan justru semakin terungkap kemukjizatan demi kemukjizatan
darinya.
Untuk
mendapatkan semua tujuan diatas, kajian dalam Tafsir karya “Aisyah Binti
Syathi’ ini setidaknya melalui metode Amin al-Khulli yakni kajian seputar
al-Qur’an dan juga kajian kandungan al-Qur’an. Meski hampir seluruh mufassir
secara tidak langsung menggunakan metode ini, namun perumusan metode dan
analisa mendalam yang disuguhkan kedua tokoh tersebut cukup terfokus pada
kajian teks-teks Suci (al-Qur’an) dan konteksnya dalam hal citarasa Arab.
Karenanya keduanya mendapatkan tempat tersendiri dikalangan para mufassir
kontemporer dengan suguhan kedalaman analisa yang ditawarkan. Meskipun begitu
tidak semua murid dari Amin al-Khulli ini kemudian berhasil menyajikan kerangka
metode Tafsir Adaby pada porsinya. Belakangan Nashr Hamid Abu Zayd mengalami
beberapa kemajuan pemikiran diluar batas ke-‘normal’-an selaku Umat Islam yang
berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syari’ah meskipun metode yang ditawarkan
Amin al-Khulli sebenarnya cukup lurus.
Langkah-langkah Binti Syathi’ dalam menafsirkan
al-Qur’an:
- Mengumpulkan ayat-ayat yang mempunyai kesatuan tema
- Mengkaji sejarah dalam tema-tema yang telah diambil
- Mengkaji Aspek-aspek bil ma’tsur, semisal Qiraat, nasikh mansukh, asbab nuzul dan lain sebagainya.
- Mengaitkannya dengan tradisi keilmuan lainya (misalnya: sejarah, dengan psikologi sosial dan tradisi)
- Mengkaji mufrodat dan penggunaannya dari segi bahasa
- Mengkaji susunannya dari segi gramatikal bahasa (nahwu, balaghah dan sastra)
- Menyimpulkan hasil analisanya dan mengaitkannya dengan ayat-ayat lain (munasabah antar ayat dan surat)
Sosok Amin al-Khulli yang dikenal kuat mempengaruhi corak penafsiran generasi
selanjutnya, seperti Ahmad Khalfallah, Nasr Hamid Abu Zayd, Aisyah Abdurrahman
atau Bintu Syati’. Dari ketiga penerus beliau ini, Bintu Syati’-lah yang
pemikirannya secara luar dikonsumsi public. Selain berbasis metode analisa
teks, Bintu Syati’ dikenal sangat memperhatikan sisi normatif dan tidak
terlepas dari sisi ilmiah.
Saat ini Tafsir dengan metode analisa teks masih digandrungi dan terus dikaji
para pengkaji Tafsir terutama di IAIN se-Indonesia. Beliau belum secara lengkap menafsirkan seluruh surat
yang ada didalam Al Qur’an, melainkan hanya 14 surat, yaitu; Surat At Takatsur,
Balad, Nazi’at, ‘Adiyat, Al Zalzalah, As Syarkh (Insyirah), Dhuha, Al Ma’un,
Humazah, Fajr, Lail, ‘Asr, Al Alaq, Qalam. Meski begitu metodenya dalam
menafsirkan al-Qur’an menjadi rujukan banyak kaum Inteletual Islam dalam
melihat cara pandang baru bahasa dan sastra dalam Tafsir.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
v Corak Tafsir Adaby merupakan
kecenderungan Mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan metode
analisa bahasa dan munasabah antar ayat dan surah. Corak Adaby sendiri telah
ada sejak lama namun perumus modernnya ialah M. Abduh dan Rasyid Ridha yang
memperkenalkan Adaby lewat sisi Ijtima’i-nya kemudian disusul oleh Amin
Al-Khulli yang memperkuat analisa sastrawi.
v Metode penafsiran Adaby menurut Aisyah
Binti Syathi’ memiliki empat prinsip yakni: Pertama menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, kedua prinsip munâsabah antar ayat maupun
antar surat ketiga, al-ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khusûs al-sabab,
kecuali untuk lafadz yang menunjukkan khusus, keempat, prinsip bahwa
kata-kata dalam al-Qur’an tidak ada sinonim.
v Diantara contoh kitab yang bercorak
Adaby baik seccara bahasa, gramatikal maupun sastralah Al-Kasysyaf, Bahr
al-Muhith, Ma’an at-tanzil, dan At-Tafsir Al-Bayânî lî Al-Qur’ân Al-Karîm.
Karakteristik penafsiran Aisyah Bint Syathi selaku tafsir yang kami jadikan
contoh konkrit ini ialah bahwa tidak ada
kata yang bermakna sama dalam al-Qur’an, karena tiap kata memiliki makna dan
citarasa bahkan maksud bahasa yang berbeda dengan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam,
Mudzakir , Terjemahan Al-Tafsir
Al-Bayani Lil Qur’an Al-Karim, Kairo : Dar Al-Ma’arif
Ali
Iyazi, Sayyid Muhammad, Al-Mufassirun hayatuhum wa manhajuhum
al-Khulli,
Amin dan Nash Hamid Abu Zayd, Metode
Tafsir Sastra, Penj: Kairan Nahdiyyin, Yogyakarta: Adab Press, 2004
Anwar,
Rosihon, Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009
Adab
Press
Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu
al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009
Syafe’I,
Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006
[1] Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun
hayatuhum wa manhajuhum, hal: 42.
[2] Rachmat Syafe’I, Pengantar Ilmu Tafsir,
Bandung: Pustaka Setia, 2006, hal: 257
[3] Rosihon Anwar, Pengantar Ulum al-Qur’an,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2009, hal: 200
[4] Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun
hayatuhum wa manhajuhum, hal: 46-47
[5] Amin al-Khulli dan Nash Hamid Abu Zayd,
Metode Tafsir Sastra, Penj: Kairan Nahdiyyin, Yogyakarta: Adab Pree, 2004,
hal:64
[6] Amin al-Khulli dan Nash Hamid Abu Zayd,
Metode Tafsir Sastra, Penj: Kairan Nahdiyyin, Yogyakarta: Adab Press, 2004,
hal:69-70.
[7] Rachmat Syafe’I, Pengantar Ilmu Tafsir,
Bandung: Pustaka Setia, 2006, hal: 273
[8] Amin al-Khulli dan Nash Hamid Abu Zayd,
Metode Tafsir Sastra, … hal:71.
[9] Amin al-Khulli dan Nash Hamid Abu Zayd,
Metode Tafsir Sastra, … hal:74.
[10] Amin al-Khulli dan Nash Hamid Abu Zayd,
Metode Tafsir Sastra, … hal:76-77.
[11] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah
Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009,
hal: 213
[12] Drs. Mudzakir Abdussalam, MA, Terjemahan
Al-Tafsir Al-Bayani Lil Qur’an Al-Karim, (Kairo : Dar Al-Ma’arif), 1990,
hlm. 10-11.