Senin, 19 Maret 2012

Aurat Perempuan


PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Pada era globalisasi ini, budaya saling mempengaruhi karena perkembangan teknologi dan informasi berjalan begitu cepat. Norma-norma agama yang telah dijadikan ajaran, panduan dan pedoman sekian lama pun bias terkikis karena perubahan zaman, jika tidak diimbangi aqidah serta esesnsi keberagamaan yang kuat. Dalam kasus seperti sensasionalitas yang di perdagangkan diberbagai media massa, perempuan merupakan objek utama dalam bisnis ini. Misalnya, dunia periklanan, perfilman, music dan lain sebagainya.
Hal seperti inilah yang kemudian mengaburkan ajaran agama. Trend dan mode pakaian dijadikan tolak ukur tidak lagi ajaran agama. Perbincangan aurat pun terutama aurat perempuan dikalangan umat islam secara umum bukanlah yang hal yang penting.
Hanya sedikit umat islam yang konsisten melakukan kajian tentang aurat dan perempuan dan lebih sedikit lagi yang mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya penulis mencoba memaparkan hadits tentang aurat terutama aurat perempuan dengan rumusan masalah sebagai berikut:

B.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian aurat?
2.      Bagaimana pengertian aurat perempuan dan batasannya?
3.      Apa ancaman bagi perempuan yang memperlihatkan auratnya?




PEMBAHASAN
Aurat Perempuan
A.     Pengertian Aurat

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ عَنْ الضَّحَّاكِ بْنِ عُثْمَانَ قَالَ أَخْبَرَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ و حَدَّثَنِيهِ هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ عُثْمَانَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَا مَكَانَ عَوْرَةِ عُرْيَةِ الرَّجُلِ وَعُرْيَةِ الْمَرْأَةِ[1]

Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Zaid bin al-Hubab] dari [adh-Dhahhak bin Utsman] dia berkata, telah mengabarkan kepadaku [Zaid bin Aslam] dari [Abdurrahman bin Abi Sa'id al-Khudri] dari [bapaknya] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah (boleh) seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan perempuan melihat aurat perempuan, dan tidaklah (boleh) seorang laki-laki bersatu dengan laki-laki lain dalam satu baju. Dan tidaklah (boleh) seorang wanita bersatu dengan wanita lain dalam satu baju." Dan telah menceritakannya kepadaku tentangnya [Harun bin Abdullah] dan [Muhammad bin Rafi'] keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abi Fudhaik] telah mengabarkan kepada kami [adh-Dhahhak bin Utsman] dengan isnad ini dan keduanya berkata dengan menggantikan kata "aurat" dengan "telanjang" seorang laki-laki dan perempuan.[2]


Dari Hadits diatas yang ialah merupakan sebagian dari hadits Nabi yang menyatakan tentang aurat perempuan maupun laki-laki. Hadits ini a terdapat banyak riwayat dari kitab hadits. Dapat disimpulkan dari hadits diatas bahwasanya  tubuh merupakan aurat yang seharusnya ditutupi dengan ketentuan dan batasan tertentu.
Aurat secara bahasa arab berarti al-‘aib as-sau’ah yang berarti cacat atau keji/jelek. Aurat dalam bahasa Urdu berarti "wanita", bagaimanapun dalam bahasa Urdu dan beberapa yang berbahasa Hindi di India mengartikannya sebagai wanita, tetapi sebenarnya kalimat aurat dalam bahasa Hindi adalah naari. Bahasa Hindi telah mengambil banyak kalimat dari bahasa Persia/Arab dan Sanskrit.[3]
Secara Istilah aurat ialah bagian tubuh yang dilarang tampak.[4] Aurat sendiri diartikan dengan berbagai definisi, namun pada umumya definisi aurat menurut para Ulama’ ialah segala sesuatu yang dirasa malu jika ia membukanya. Itu merupakan esensi dari aurat.[5] Pengertian aurat sendiri sudah dimaklumi pada zaman nabi, sehingga tidak ditemukan penjelasan yang mendetail mengenainya.[6]

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى نَحْوَهُ عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا قَالَ اللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنْ النَّاسِ[7]
Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Maslamah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Bapakku]. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Basysyar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yahya] sebagaimana dalam riwayatnya, dari [Bahz bin Hakim] dari [Bapaknya] dari [Kakeknya] ia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, tentang aurat kami, siapakah yang boleh kami perlihatkan dan siapa yang tidak boleh?" beliau menjawab: "Jagalah auratmu kecuali kepada isteri atau budak yang kamu miliki." Ia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan suatu kaum saling bercampur dalam satu tempat (yang mereka saling melihat aurat antara satu dengan yang lain)?" beliau menjawab: "Jika kamu mampu, maka jangan sampai ada seorang pun yang melihatnya." Ia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika salah seorang dari kami sedang sendiri?" beliau menjawab: "Allah lebih berhak untuk kamu malu darinya dari pada manusia."
Pada hadits diatas nampaknya kecenderungan makna aurat berarti kemaluan atau apa yang berada antara pusar dan lutut.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الطُّفَاوِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَكْرٍ السَّهْمِيُّ الْمَعْنَى وَاحِدٌ قَالَا حَدَّثَنَا سَوَّارٌ أَبُو حَمْزَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَوْ أَجِيرَهُ فَلَا يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَوْرَتِهِ فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ مِنْ سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ[8]
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Abdurrahman Ath Thofawi] dan [Abdullah bin bakr As Sahmi] dan maknanya satu, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami [Sawwar Abu Hamzah] dari ['Amru bin Syu'aib] dari [bapaknya] dari [kakeknya], dia berkata; bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Perintahlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika menolak sedang umur mereka masuk sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka. Jika di antara kalian menikahkan budak atau pelayannya, maka jangan sekali-kali melihat sesuatu dari auratnya. Karena sesungguhnya, apa-apa yang berada antara pusar sampai lututnya adalah aurat baginya." [9]
Dan dalam hadits terakhir secara lebih jelas tertera bahwa aurat ialah bagian tubuh yang terdapat antara lutul dan pusar. Karenanya rasul melarang melihat aurat meskipun milik budak. Meskipun pada akhirnya para Ulama mengklasifikasi batasan aurat bagi perempuan dan laki-laki yakni bila sesame laki-laki yang masuk pada ketegori aurat ialah apa diantara pusar dan lutut. Dalam buku al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu karya DR. Wahbah az-Zuhaili, persoalan aurat disimpulkan sebagai berikut:
Ulama sepakat menyatakan bahwa kemaluan dan dubur adalah aurat sedangkan pusar lelaki bukan aurat. Aurat lelaki adalah antara pusar dan lututnya, sedang aurat perempuan dalam shalat adalah selain wajah dan telapak tangannya. Aurat perempuan diluar shalat yaitu jika dengan yang mahram dan perempuan muslimah adalah antara pusar dan lututnya, ini menurut madzhab syafi’I dan Hanafi. Menurut madzhab Malik ialah seluruh badannya selain wajah, kepala, leher, kedua tangan serta kakinya. Sedangkan menurut pandangan Hanbali ialah seluruh badannya kecuali wajah, leher, kepala, kedua tangan dan kaki serta betis.
Aurat pria yang bukan mahramnya menurut sementara Ulama ialah seluruh badannya termasuk wajah dan telapak tangannya. Banyak juga Ulama yang sedikit memperlonggar sehingga berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangannya bukanlah termasuk aurat. Demikianlah gambaran umum tentang pendapat para Ulama masa lalu. Saat ini berbagai pandangn para pakar atau Ulama tentang teks dan prinsip-prinsip keagamaan. Pandangan mereka yang memiliki kelonggaran-kelonggaran tidak jarang ditolak secara tegas oleh penganut Ulama terdahulu.[10]
B.      Aurat perempuan dan batasannya

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ كَعْبٍ الْأَنْطَاكِيُّ وَمُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ قَتَادَ عَنْ خَالِدٍ قَالَ يَعْقُوبُ ابْنُ دُرَيْكٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا[11]

Telah menceritakan kepada kami [Ya'qub bin Ka'b Al Anthaki] dan [Muammal Ibnul Fadhl Al Harrani] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Al Walid] dari [Sa'id bin Basyir] dari [Qatadah] dari [Khalid] berkata; Ya'qub bin Duraik berkata dari ['Aisyah radliallahu 'anha], bahwa Asma binti Abu Bakr masuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan mengenakan kain yang tipis, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun berpaling darinya. Beliau bersabda: "Wahai Asma`, sesungguhnya seorang wanita jika telah baligh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini -beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya-." Abu Dawud berkata, " Ini hadits mursal. Khalid bin Duraik belum pernah bertemu dengan 'Aisyah radliallahu 'anha."
Hadits di atas memiliki rentantan perawi yang menjadi bahasan panjang, serta penerimaan dan penolakan para Ulama’. Menurut Ulama yang menyatakan bahwa seluruh badan wanita adalah aurat, tanpa kecuali hadits di atas tidak dapat dijadikan argumen, karena Abu daud sendiri yang meriwayatkannya menilai hadits ini bersifat mursal. Dengan alasan bahwa Khalid Ibn Duraik tidak semasa dengan ‘Aisyah sehingga pernah bertemu dengan beliau. Hadits mursal dinilai oleh banyak ‘Ulama tidak dapat dinilai sebagai hujjah. Selain Khalid ibn Duraik nama-nama lain yang terdapat dalam rentetan perawi-perawinya juga bermasalah dalam pandangan sekian banyak ‘Ulama, misalnya Sa’id Ibn Basyir dinilai Dhaif.[12]
Alasan lain ialah bahwa bagaimana mungkin Asma’ yang merupakan putri Abu Bakr yang sekaligus saudara ‘Aisyah berani masuk menemui Rasulullah dengan berpakaian tipis, apalagi ‘Asma adalah perempuan yang baik keberagamaan dan ketakwaannya. Menurut Muhammad Isma’il al Muqaddam yang menilai hadits itu lemah.[13]
Tentu saja hadits diatas tidak dapat diterima oleh ‘Ulama yang mendukung pendapat bahwa wajah dan tangan perempuan bukan aurat. Secara panjang lebar Muhammad Nasiruddin Albani berupaya membuktikan bahwa walaupun hadits tersebut bersifat mursal namun ada sekian banyak riwayat yang senada dengannya, sehingga hadits diatas dapat dinilai shahih.[14] Meskipun penulis belum menemukannya dalam kutubut tis’ah maupun maktabah syamilah.
Dan menurut imam Nawawi yang juga dinukil oleh Albani bahwa ketika terdapat satu hadits diriwayatkan dari sumber yang berbeda-beda yang kesemuannya dhaif, tidaklah secara otomatis hadits itu gugur kedhaifannya. Hadits tersebut bisa meningkat menjadi hasan apabila ingatan perawinya lemah tapi dia seorang yang terpercaya atau apabila hadits tersebut mursal tetapi ada riwayat lain yang mendukungnya. Dalam konteks hadits di atas Albani menilainya shahih karena adanya jalur-jalur riwayat lain yang mendukungnya.

Sementara Ulama menguatkan hadits di atas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir at-Thabari meriwayatkan hadits melalui Qatadah yang intinya membolehkan menampakkan wajah dan tangan sampai dengan setengahnya. Riwayat tersebut menyatakan :
أن النبي (ص) قال : لا يحل لإمرأة تؤ من بالله واليوم الأخر إذا عركت ان تظهر الا وجهها ويديها إلا ههنا
(و قبض نصف الذراع)
Nabi SAW bersabda: Tidak halal bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan hari kemudian dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajah dan tangannya sampai disini (lalu beliau memegang setengah tangan).
Dalam riwayat yang lain kata la Yahill yang berarti tidak halal, di ganti dengan kata la yashluh yang berarti tidak wajar. Ada riwayat serupa melalui Ibn Juraij yaitu:
عن عا ئشة رضى الله عنها قالت: خرجت لإبن أخى عبدالله إبن الطفيل مزَيَّنَة فكرهه النبى (ص) فقلتُ إنه
 إبن أخى يا رسو ل الله فقال : إذا عركت المرأة لم يحلَّ لها ان تظهر الا وجهها  أو ما  دون هذا (و قبض
 على ذراع نفسه)
Aisyah R.A berkata: aku pergi berkunjung ke putra saudaraku (dari ibuku) Abdullah Ibn at-Thufail dalam keadaan berhias ketika itu Nabi SAW tidak senang, maka aku berkata wahai Rasulullah dia adalah anak saudaraku, maka Nabi SAW bersabda: apabila perempuan telah haid, tidaklah halal baginya untuk menampakkan kecuali wajahnya dan apa yang selain ini (lalu beliau memegang tangan beliau)[15]
Mengenai batasan aurat dengan perintah menutupnya dalam al-Qur’an, berikut dalilnya. Yaitu dalam surat an-Nur ayat 31:
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ (
Sehubungan dengan perintah Allah yakni janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya, diriwatkan dari Ibn Abbas bahwa yang tampak ialah wajah, kedua telapak tangan dan cincin. Penafsiran senada juga diriwayatkan dari Ibn Umar, Atha’ dan tabi’in lainnya.[16] Boleh jadi Ibn Abbas dan para pengikutnya itu hendak menafsirkan apa yang tampak padanya dengan wajah dan kedua telapak tangan. Dan inilah pendapat  yang dikenal oleh mayoritas Ulama’ yang berdasarkan hadits diatas yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya. Pada kalimat selanjutnya dalam ayat diatas dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya yakni sekitar leher dan dada agar mereka berbeda dari wanita jahiliyah yang suka membukakan dada, leher dan kepangan rambutnya. Allah menyuruh kaum mukmin perempuan menutup aurat dirinya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala surat al-Ahzab ayat 59: “Hai Nabi, kataknlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan kepada perempuan-perempuan yang beriman hendaklah mereka menutupkan jilbab ketubuhnya.
Ø  Suara Perempuan
{يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا } ( الأحزاب : 32)
“Wahai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain jika kamu bertaqwa, maka janganlah kamu berlemahlembut dalam bicara sehingga berkeinginanlah nafsu orang yang ada pengakit dalam hatinya”

Suara perempuan bukanlah aurat. Itu merupakan pendapat Ulama yang poluler. Karena istri Rasul bercakap-cakap dengan para sahabat Rasulullah SAW. Dan para sahabat juga mendengar serta belajar hukum-hukum agama dari mereka. [17] Terutama yang berkaitan tentang perempuan dan rumah tangga. Dan perempuan berhak berbicara pada semua bidang. Ia dapat berkhutbah di muka khalayak sebagaimana Sayyidah Fathimah az-Zahra dan Sayyidah Zainab berpidato dimuka umum.
Perempuan dapat menyampaikan kasidah dan syair dan berhak untuk bergabung di forum-forum guna berdikusi dengan kaum pria dalam masalah-masalah pemikiran, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah ketika para permpuan berdiskusi bersama Rasulullah SAW. Dengan demikian suara perempuan bukan aurat tapi ada suatu kehati-hatian dalam masalah ini yaitu apa yang ditunjukkan oleh ayat diatas ketika wanita menggerakkan secara -tidak alami- suaranya, dan ia berniat menggoda yang menunjukkan penyimpangan, senandung dan nyanyian yang pada sebagian keadaan dianggap sebagai ajakan kepada pria untuk mendatanginya atau memberanikan pria untuk merayu dirinya.
Adapun berbicara secara normal tidak ada masalah. Dan tidak ada larangan bagi perempuan untuk menjadi qariah atau melagukan al-Qur’an atau semisal belajar al-Qur’an pada pria . pada prinsipnya tidak ada larangan (keharaman), kecuali jika masalah ini sampai pada batas apa yang disebut oleh al-Qur’an dengan kata al-khudu’ dalam suara.[18]
Pendapat mengenai suara perempuan adalah aurat memang banyak diulas dalam kitab-kitab hadist seperti syarh muwaththa’ “almuntaqa” dan syarh sunan abu daud, namun penulis belum menemukan hadits tentang suara itu aurat dalam kitab-kitab hadits. Sehingga penulis berpendapat bahwa memang suara wanita bukanlah aurat.

C.      Ancaman bagi yang memperlihatkan aurat
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا[19]
Telah menceritakan kepadaku [Zuhair bin Harb]; Telah menceritakan kepada kami [Jarir] dari [Suhail] dari [Bapaknya] dari [Abu Hurairah] dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat. (1) Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang. (2) Wanita-wanita berpakaian, tetapi sama juga dengan bertelanjang (karena pakaiannya terlalu minim, terlalu tipis atau tembus pandang, terlalu ketat, atau pakaian yang merangsang pria karena sebagian auratnya terbuka), berjalan dengan berlenggok-lenggok, mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini."
كاسيات  disini sebagaimana dalam Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi dijelaskan setidaknya ada dua makna yaitu perempuan yang berpakaian nikmat Allah namun telanjang dalam arti tidak mesyukuri nikmat tersebut. Makna yang kedua ialah makna kaliamat secara dhahirnya yakni perempuan yang berpakaian namun seperti telanjang karena tipis ataupun ketatnya pakaian yang dikenakan. Mereka dikatakan berpakaian karena memang mengenakan pakaian.
Akan tetapi dikatakan juga telanjang karena pakaiannya tidak berfungsi menutupi aurat, sangat tipis atau ketat sehingga masih memperlihatkan tubuhnya seperti kebanyakan perempuan zaman sekarang. Rasul menggambarkan kepala perempuan itu seperti punuk unta, karena mereka memasang sanggul di atas kepalanya.[20]
Ini merupakan berita ghaib yang pernah diterima Nabi Muhammad SAW. Allah telah memperlihatkan kepada Rasul SAW, apa yang akan terjadi pada zaman sekarang. Abdul Aziz Abdullah Bin Baaz mengomentari hadits ini seraya berkata: “ini merupakan peringatan keras bagi kaum perempuan agar tidak berbuat tabarruj, Sufur, mengenakan pakaiaan tipis dan mini, berpaling dari kebenaran dan kesucian, menyeret manusia ke jurang kebatilan”. Ancaman bagi mereka yang mengerjakan hal itu akan diharamkan surga baginya.










PENUTUP
A.     Kesimpulan
·         Aurat secara bahasa arab berarti al-‘aib as-sau’ah yang berarti cacat atau keji/jelek. Aurat dalam bahasa Urdu berarti "wanita", bagaimanapun dalam bahasa Urdu dan beberapa yang berbahasa Hindi di India mengartikannya sebagai wanita, tetapi sebenarnya kalimat aurat dalam bahasa Hindi adalah naari. Bahasa Hindi telah mengambil banyak kalimat dari bahasa Persia/Arab dan Sanskrit.
·         Secara Istilah aurat ialah bagian tubuh yang dilarang tampak. Aurat sendiri diartikan dengan berbagai definisi, namun pada umumya definisi aurat menurut para Ulama’ ialah segala sesuatu yang dirasa malu jika ia membukanya.
·         Ulama berbeda pendapat dalam batasan mengenai batasan aurat. Ada ulama yang berpendapat bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh dan ada yang berpendapat seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan. Sebagai pendapat al-Banni. Namun hadits mengenai itu dianggap mursal.
·         Begitu banyak ulasan mengenai apakah suara perempuan aurat atau tidak. Namun yang lebih popular dan pendapat jumhur suara perempuan bukanlah aurat. Mengenai hadits tentang bahwa suara perempuan itu aurat penulis belum menemukan hadistnya secara pasti dalam kitab-kitab hadits.
·         Ancaman bagi perempuan yang memperlihatkan auratnya adalah diharamkan surga baginya. Dan ancaman ini tidak hanya berlaku bagi perempuan. Karena dalam islam aurat merupakan hal yang dijaga dari memperlihatkannya.

B.      Saran dan Kritik
Demikianlah makalah mengenai hadits aurat perempuan yang dapat kami paparkan. Kami mengakui terdapat kekurangan dari makalah kami karenanya saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sekalian kami harapkan demi penyempurnaan isi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alkaf, Muhammad Abdul Qadir (penerjemah). Dunia Wanita dalam Islam. Jakarta: PT. Lentera Basritama. 2000
Fachruddin, Amir Hamzah. Ensiklopedi Wanita Muslimah. Jakarta: Darul Falah, 1418 H/1998M
Qardhawi, Yusuf. Halal haram dalam Islam. Surakarta: Era Intermedia. 2000
M Shihab, Quraish. Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati. 2004.
Kutubut Tis’ah
Maktabah Syamilah


[1] Sahahih Muslim: Hadits ke-512
[2] Lidwa.com diunduh pada tanggal 13 Maret 2011, pukul 12;53
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Aurat diunduh tanggal 12 maret 2011, pukul 11;41
[4] Terjemahan Al-Khathaya fi Nazhari‘l-Islam, penerjemah: Bahrun abu Bakar, Bandung: Gema Risalah Press, 1993, hal: 103
[5] Tuhafatul Ahwadzy bisyarhi Jami’ut Tirmidzi, keterangan Hadits 1093
[6] http://rfirmans.wordpress.com, di unduh pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 14.30 WIB
[7] Abu Daud, Hadits ke-3501
[8] Maktabah Syamilah, Musnad Ahmad, Hadits ke-6467
[9] Lidwa.com diunduh pada tanggal 13 Maret 2011, pukul 12;53
[10] M Quraish Shihab, Jilbab, pakaian wanita muslimah, Jakarta: Lentera Hati, 2004, hal: 190-111
[11] Maktabah Syamilah, Abu Daud, Hadits ke-3580
[12] Kutub at-Tis’ah, sunan Abu Daud, sanad Hadits ke-3580
[13] M Quraish Shihab, Jilbab, pakaian wanita muslimah, Jakarta: Lentera Hati, 2004, hal: 89-92
[14] Ibid …
[15] Yakni kurang lebih setengah tangan. Yang dimaksud Dzira’ atau tangan disini ialah dari mulai siku kebawah.
[17] Amir hamzah fachruddin, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Jakarta: Darul Falah, 1418 H/1998M, Hal. 154
[18] Muhammad Abdul Qadir Alkaf (penerjemah), Dunia Wanita dalam Islam, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000, hal. 134-135
[19] Kutubut Tis’ah, Shahih Muslim, Hadits ke-3971
[20] DR Yusuf qardhawi, Halal haram dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2000, hal: 130-131

Pengertian, sejarah kemunculan dan ruang lingkup orientalisme ..

PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Orientalisme bukanlah faham atau kelompok baru. Kajian ketimuran ini telah lama berlangsung dan terus berlangsung hingga kini. Banyak pemikiran, penemuan yang didapat para orientalis dalam upayanya melemahkan dan menguasai dunia Timur khususnya Islam. Karenanya pemahaman tentang pengertian, akar sejarah serta objek penelitian ini sangatlah diperlukan. Bukan saja orientalis mampu mewarnai faham ke-Islaman dari sudut pandang Barat namun juga untuk menempatkan lagi posisi pemahaman tentang dunia Timur dalam sudut pandang ke-Timuran itu sendiri. Karena banyak faham yang akhirnya menyesatkan umat Islam dalam keislamannya ataupun sekedar memperkaya sudut pandang pemahaman. Penulis melihat hal ini sebagai sebuah entitas Islam yang sudah perlu untuk dimurnikan lagi.
Fakta menunjukkan penelitian tentang dunia Timur yang secara meluas dan upaya untuk sebaliknya meneliti dunia Barat belum cukup signifikan dalam upayanya membangkitkan semangat ke-timuran khususnya dari dunia Islam, ini sangat disayangkan. Inilah yang menjadi titik balik dari perlunya mahasiswa Islam untuk mengkaji dan meneliti orientalisme.
  1. Rumusan masalah
Karena keluasan materi yang akan dikaji yakni tentang orientalisme, maka penulis akan merumuskan pembahasan menjadi 3 fokus kajian:
  1. Apa pengertian orientalisme?
  2. Bagaimana sejarah kemunculan orientalisme?
  3. Sebatas mana cakupan ruang lingkup orientalisme?
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Orientalisme
Orientalisme secara bahasa berasal dari kata orient, bahasa Prancis, yang berarti timur, lawan kata dari occident yang berarti barat.[1] Pengertian orientalisme menurut  H.M. Joesoef sou’yb tidak jauh berbeda namun beliau menjabarkan yaitu bahwa orientalisme secara geografis berarti dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di Timur. Kata oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya meliputi bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, ilmu bumi, etnografi, kesusasteraan dan kesenian yang berasal dari Timur sebagaimana ditambahkan oleh Abdul Haq Adnan Adifar. Isme (Belanda: isme, Inggris: ism) sendiri menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Kesimpulannya orientalisme berarti suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya.[2]
Ahmad Hanafi mengemukakan bahwa “orientalis adalah segolongan sarjana barat yang mendalami bahasa dunia Timur dan kesusasteraannya, dan mereka yang menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat istiadatnya, dan ilmu-ilmunya.”[3]

  1. Sejarah Orientalisme
Husain Haikal berpendapat bahwa penyebab atau awal mula orientalisme ialah karena pergesekan orang Islam dan Romawi dalam perang Mut’ah dan perang Tabuk karena pada saat itu orang Islam sedang bermusuhan secara politik. Sedangkan sebagian lainnya menulis bahwa orientalisme lahir sebagai akibat dari perang salib atau ketika dimulainya pergesekan politik dan agama antara Islam dan Kristen di Palestina. Terutama pada masa pemerintahan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayubi dan terus berlanjut pada masa al-Adil. Kekalahan beruntun yang ditimpakan Islam terhadap pasukan salib inilah yang memunculkan kekuatan baru yakni mengkaji Islam dari sisi agama maupun budaya agar dapat membalas kekalahannya. Sebagian lainnya berpendapat bahwa orientalisme muncul pada peperangan berdarah antara umat Islam dan Kristen di Andalusia setelah Alfonso VI mampu menaklukkan Toledo pada tahun 488 H (1085 M). Lahirlah gerakan tobat dan penghapusan dosa yang berpusat di Kluni dan dipimpin oleh Santo Peter the Venerable dari Prancis.  Lalu lahirlah gerakan Kristen Spanyol dan menetapkan Kristen Katholik Romawi sebagai agama yang benar.
Sebagian lagi berpendapat bahwa orientalisme lahir karena kebutuhan barat menolak Islam dan untuk mengetahui penyebab kekuatan umat Islam terutama setelah jatuhnya Konstantinopel pada tahun 857 H (1453 M). Meski di kalangan teologi orientalisme lahir akibat kebutuhan dalam memahami intelektualitas Semit kaitannya dengan Taurat dan Injil.[4]
Hubungan dunia barat dengan dunia timur ini sendiri sebenarnya telah dimulai sejak masa kejayaan Islam karena pada waktu itu orang-orang barat berbondong-bondong untuk belajar segala ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia Timur, khususnya Islam. Hal ini terjadi sekitar abad ke-X Masehi.[5] Setidaknya terdapat dua fase dalam penyelidikan terhadap dunia timur yang digencarkan oleh para orientalis, yaitu:
1.      Mempelajari, mendalami ilmu-ilmu yang dimiliki oleh kaum muslimin berupa ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu matematika, ilmu astronomi, dan ilmu-ilmu yang lainnya dalam bahasa Arab untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin yang merupakan bahasa ilmu pengetahuan  dan kesusasteraan pada waktu itu. Pelopornya ialah para pemuka agama Masehi dibantu dengan orang-orang Yahudi.[6]
2.      Mempelajari bahasa-bahasa dunia Timur terutama bahasa Arab beserta kesusasteraannya.[7]      
Gerakan penerjemahan besar-besaran didukung juga oleh para penguasa saat itu, diantaranya Frederick II, Raja Sicilia (1250), Alfonso, Raja Castile, selama berabad-abad sampai pada abad XVII M. Gerakan penerjemahan seperti ini juga pernah dilakukan oleh khalifah Al-Ma’mun yang pernah menerjemahkan sebagian besar kitab-kitab karya orang Yunani ke dalam bahasa Arab. Berita penerjemahan tersebut mulai tersebar luas di kalangan Raja-raja Eropa sehingga mereka turut andil dalam mendorong penerjemahan ini. Orang yang diduga melakukan penerjemahan awal adalah Paus Silverster II (999-1003), kemudian Hermann de Dalmatian (w. 1054) dan diikuti oleh Konstantin de African. Pada abad ke-XII Toledo menjadi pusat kemajuan ilmu pengetahuan Islam di Andalus. Para ahli penerjemah ke dalam bahasa latin yang terkenal di Toledo diantaranya Raymond yang menerjemahkan buku-buku tentang ilmu hitung, astronomi, kedokteran, filsafat dan sebagainya yang merupakan hasil karya sarjana-sarjana Islam seperti al-Farghani, Abu Ma’syar, al-Kindi, Ibnu Jabarul dan al-Ghazali. Begitu juga Plato of Tivoli, Adelard of Bath, John of Seville,dan lain-lain. Bahkan Gerard of Gremona mampu menerjemahkan kurang lebih 80 macam buku yang meliputi ilmu manthiq, filsafat, matematika, astronomi, fisika, kimia, dan lain-lain baik yang berasal dari Yunani maupun karya sarjana-sarjana Islam seperti al-Farabi, Tsabit ibnu Qurrah, Putra Musa bin Syakir, al-Khawarizmi, al-Kindi.
Dari sekian pendapat penulis sendiri berpendapat bahwa kajian tentang dunia Timur telah muncul sejak masa kejayaan Islam dan zaman kegelapan Barat terhadap bidang Ilmu Pengetahuan, karena sejak itu barat telah mulai mempelajari dunia Timur terutama Islam untuk berbagai kebutuhan serta kepentingan. Terlepas dari upaya propaganda dan provokasi dibalik usaha untuk mengkaji dunia Islam upaya orientalis dalam meneliti dunia Timur turut memperluas dan memperkenalkan dunia Timur secara keseluruhan. Karenanya pendapat yang terakhir merupakan hal yang lebih bisa diterima.

  1. Ruang Lingkup Orientalisme
Orientalisme mempunyai pengertian yang sangat luas, karena langsung berkaitan dengan “hal-hal yang menyangkut bangsa-bangsa di dunia Timur beserta lingkungannya”, sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan dan sejarah bangsa-bangsa di dunia Timur.
Dan kegiatan penyelidikan tersebut secara garis besar dilakukan pada berbagai bidang, yaitu bidang kepurbakalaan (archeology), sejarah (history), bahasa (linguistics), agama (religion), kesusasteraan (literatures), keturunan (ethnology), adat istiadat (customs), kekuasaan (politik), kehidupan (ekonomi), lingkungan (fauna dan flora), dan lain-lainnya. Maka dapat dibayangkan betapa luas ruang lingkup yang diliput oleh orientalis itu, yang betul-betul memerlukan ketekunan dan keahlian.
Di samping itu, ada beberapa pengertian yang hampir sama tentang istilah orientalisme. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan pengertian yang lebih mendetail, yaitu sebagai berikut:
a.      Pengertian yang merupakan definisi yang dibatasi oleh kata orientalisme itu sendiri, yaitu metode berpikir ala Barat. Metode inilah yang menjadi landasan dalam menilai dan memperlakukan segala sesuatu, bahwa disana ada perbedaan yang fundamental antara Barat dan Timur, baik dalam eksistensi maupun dalam sains teknologi. 
b.      Orientalisme merupakan studi akademis yang dilakukan oleh bangsa Barat dari negara-negara imperialis mengenai dunia Timur dengan segala aspeknya, baik mengenai sejarah, pengetahuan, bahasa, agama, tatanan sosial politik, hasil bumi, serta semua potensinya.
c.       Definisi ketiga, seperti yang diungkapkan Edward Said: “Orientalisme merupakan kajian atau metode Barat untuk mencaplok bangsa Timur, dengan kedok hendak memperbaiki dan memajukan (politik ataupun pemikiran), demi memperlancar kekuasaannya disana”.
d.      Orientalisme adalah kajian akademis, yang dilakukan oleh bangsa Barat yang kafir –khususnya dari kalangan ahlul kitab- tentang Islam dan umat Islam dalam segala aspek baik mengenai akidah, syariat, pengetahuan, kebudayaan, sejarah, aturan dan peraturan, hasil bumi dan potensinya. Tujuannya untuk merusak dan mengotori citra Islam, meniupkan keragu-raguan kepada kaum muslimin akan kebenaran dan kepercayaan mereka terhadap ajarannya, menyesatkan kaum muslimin dari jalan yang diharuskan oleh syariatnya. Kemudian dengan berbagai cara diupayakan agar kaum muslimin mau mengikuti ajaran dan pemikiran Barat. Dalam usahanya, kaum orientalis mencoba dengan tipu dayanya untuk mengelabui bahwa semua kajian itu seolah ilmiah dan objektif. Karena mereka merasa adanya keunggulan dan kelebihan ilmu pengetahuan yang dimiliki bangsa Barat atas bangsa Timur yang Islam.[8]
Faktor pendorong orientalisme / studi ke-Timur-an menurut Mushtafa Hasan as-Syiba’i ialah pertama, faktor agama, karena menurutnya pihak pendetalah yang mempropaganda secara meluas mengenai perlunya mengkaji dunia Timur terutama untuk misi agama Kristen (missionaris). Kedua, faktor Imperialisme, setelah kekalahan dalam perang Salib maka usaha untuk menguasai dunia Timur menjadi lebih diplomatis. Meneliti kelemahan dan kekuatan dunia Timur. Kemudian lagi, faktor perdagangan, politik, dan ilmiah.[9]
Dalam menganalisa faktor penyebab orientalisme sangatlah banyak, dan meskipun upaya ini didorong oleh usaha kolonialisasi terhadap Dunia Timur. Orientalis tidak semua memusuhi Islam dan menentang kebenaran Islam, justru dengan sulitnya menemukan kecacatan konsep Islam khususnya maka kebenaran tentang Islam akan terkuak dengan sendirinya. Tidak sedikit juga kalangan orientalis yang kemudian mengkritik balik ajaran Kristen yang mereka anut misalnya karena melihat kedinamisan konsep Islam. 

Penutup
  1. Kesimpulan
Orientalisme merupakan gabungan dari kata oriental dan isme. Orient dalam bahasa Prancis sendiri berarti Timur baik secara geografis maupun etnologis. Sedangkan Ism dalam bahasa Inggris atau isme dalam bahasa Belanda berarti faham. Jadi orientalisme ialah suatu faham atau aliran yang mengkaji dan meneliti segala sesuatu tentang Dunia Timur baik dari segi agama-agama, kebudayaan dan peradaban maupun ilmu-ilmu didalamnya.
Sejarah orientalisme secara nyata telah berkembang sekitar abad ke-X M dan masih berlangsung hingga kini. Meskipun begitu pergesekan ini telah dimulai sejak masa kejayaan Islam dimana banyak sekali kaum Barat yang menimba ilmu dan belajar di Dunia Timur terutama Islam karena kejayaannya.
Ruang lingkup objek penelitian orientalisme ini sebenarnya sangat luas karena mencakup agama, budaya, bahasa, sastra, etnologis, politik dan sebagainya. Namun kajian orientalisme dalam cakupan sempitnya mengkaji ilmu-ilmu keagamaan khususnya teks-teks kitab suci dan faham serta konsep-konsep ke-Islaman.
  1. Kritik dan Saran
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini pastilah sangat jauh dari kesempurnaan. Informasi yang masih sedikit, sumber yang mungkin kurang valid, penyusunan yang kurang sistematis hingga penulisan yang mungkin masih banyak kesalahan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan kiranya pembaca berkenan menyampaikan kritik dan sarannya untuk perbaikan pada makalah yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Assamurai, Qasim. 1996. Bukti-bukti kebohongan Orientalis. penj: Syuhudi Ismail.           Jakarta: Gema Insani Press
As-Syiba’i, Musthafa Hassan. 1997. Membongkar Kepalsuan Orientalis. penj: Ibnu     Bardah. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Buchari, Mannan. 2006.  Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Amzah, 2006
Hanafi, A.  1981. Orientalisme. Jakarta: Pustaka Al Husna
Umar, A. Muin. 1978. Orientalisme dan Studi Tentang Islam. Jakarta: Bulan Bintang



[1] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme (Jakarta: Amzah, 2006) hlm.  7
[2] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme (Jakarta: Amzah, 2006) hlm. 7-8
[3] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme (Jakarta: Amzah, 2006) hlm. 9
[4] Qasim Assamurai, Bukti-bukti kebohongan Orientalis, penj: Syuhudi Ismail  (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hlm. 26-29
[5] A. Hanafi, Orientalisme (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1981) hlm. 9
[6] A. Hanafi, Orientalisme (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1981) hlm. 9-10
[7] A. Muin Umar, Orientalisme dan Studi Tentang Islam, (Jakarta:  Bulan Bintang, 1978) hlm. 9
[8] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme (Jakarta: Amzah, 2006) hlm.  11-14
[9] Musthafa Hassan as-Syiba’i,  Membongkar Kepalsuan Orientalis , penj: Ibnu Bardah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997) hlm. 21-27

KOMPATIBILITAS SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA DENGAN TEKS AL-QUR’AN

Oleh : Lutfiyatun Nakiyah PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Sistem politik pemerintahan berkembang demikian pesatnya dari masa...