Oleh M. Chozin Amirullah*
Harian Kedaulatan rakyat tertanggal 28 Februari
1947 memuat sebuah berita demikian :
“Baru-baru ini di Yogyakarta, telah didirikan Himpunan Mahasiswa
Islam. Anggota-anggotanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa seluruh Indonesia
yang beragama Islam. Perhimpunan akan menjadi anggota Kongres Mahasiswa
Indonesia.
Sekretariat : Asrama Mahasiswa, Setyodinigratan 5 Yogyakarta.
Hanya ini pemberitaan yang kita dapati dari pers, sehubungan dengan
berdirinya HMI”.
Rabu Pon,
14 Rabiulawal 1366 H atau bertepatan dengan 5 Februari 1947 M pukul 16.00 WIB,
lahir sebuah organisasi mahasiswa yang kelak menjadi wadah perkaderan bagi
calon-calon pemimpin bangsa. Di tengah pergolakan nasional mempertahankan
kemerdekan dan polarisasi kaum terpelajar ke dalam paham sosialisme, HMI muncul
sebagai organisasi mahasiswa pertama yang memakai label Islam. HMI adalah
singkatan dari Himpunan Mahasiswa Islam yang ide pertamanya dikemukakan oleh
Lafran Pane.
Bertempat
di salah satu ruang kuliah Sekolah Tinggi Islam/STI (sekarang UII), Jl.
Setyodiningratan 30 (Sekarang P. Senopati 30), Lafran Pane, sebagai penggagas
pertama HMI memanfaatkan jam kuliah tafsir Alqur’an yang diasuh oleh Prof.
Husein Yahya untuk mendeklarasikan pembentukan HMI. Dengan berdiri tegak di
hadapan kelas yang dihadiri oleh lebih kurang 20 mahasiswa, ia membacakan
prakata sebagai berikut:
“Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena
seluruh persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah siap…”.
Acara
deklarasi tersebut selesai seiring dengan terbenamnya matahari di ufuk barat.
Sejak itu HMI secara resmi berdiri dengan beberapa tokoh pendiri antara lain:
Lafran Pane, Kartono, Dahlan Husein, Anton Timur Djaelani, Yusdi Ghozali dan
lain-lain.
Berbicara
mengenai berdirinya HMI, maka kita tidak akan lepas dari sosok yang paling
berperan yaitu Lafran Pane. Lafran Pane dilahirkan di Tapanuli Selatan pada
tahun 1925. Beliau adalah satu keluarga dengan Sanusi Pane dan Armyn Pane
(penyair angkatan Pujangga Baru). Masa mudanya dipenuhi dengan petualangan dan
pergulatan pemikiran yang amat keras, sehingga Lafran Pane muda dikenal dengan
tingkah lakunya yang aneh dan ide-idenya sangat cerdas namun seringkali tidak
sistematis. Pendidikan
1
agamanya
diawali di lingkungan Islam tradisionalis Summatera. Metode pembelajaran agama
dengan pengenalan sifat dua puluh (konsep ini sama dengan model pembelajaran
agama yang diterapkan oleh NU di Jawa) dikecap Lafran Pane waktu kecil. Setelah
menginjak dewas, Lafran Pane kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di
sekolah-sekolah modern milik Muhammadiyah (Sitompul 1976).
Semenjak
berdirinya, HMI merupakan organisasi independen yang berbasis mahasiswa dengan
mengutamakan kebebasan berpikir dan bertindak sesuai dengan hati nurani.
Komitmen pada perjuangan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan idealisme yang selalu dipegang teguh oleh para kader HMI, Hal ini
sebagaimana tercantum dalam tujuan awal pembentukan HM:
1.
Mempertahankan Negara republik Indonesia
dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
2.
Menegakkan dan mengembangkan Agama Islam
I.
Latar Belakang Berdirinya HMI
a. Situasi Pergolakan
Nasional
HMI berdiri
pada saat dimana Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan
yang direbutnya
pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah. Keinginan untuk menjajah
kembali, menjadikan Belanda datang lagi setelah Jepang bertekuk lutut di
hadapan tentara sekutu. Dengan menumpang pasukan Sekutu yang mendarat pada
tanggal 29 September 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan melakukan
serangan-serangan atas beberapa wilayah Indonesia. Perang kembali berkobar dan
teriakan-teriakan “Allahu Akbar” kembali menggema, memberikan semangat
pada pejuang-pejuang Indonesia.
Beberapa
perlawan dilakukan oleh bangsa kita, diantaranya adalah: Pertempuran 5 hari di
Semarang (15-20 Oktober 1945), Pertempuran 15 Oktober 1945 di Padang,
Pertempuran 7 Oktober 1945 di Kotabaru, Yogyakarta, dan puncaknya adalah
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Semuanya adalah dalam rangka
mempertahankan bumi pertiwi dari tangan para penjajah.
Selain
perlawanan fisik, perlawanan dengan cara diplomasipun dilakukan. Dengan
mengikuti perundingan Lingar Jati, Renville dan KMB (Konferensi Meja Bundar),
para pemimpin kita berusaha menggunakan cara-cara moderat dan anti kekerasan
untuk menjaga kesatuan wilayah nusantara.
Perundingan
Linggar Jati dilakukan pada tanggal 25 maret 1947, menghasilkan kesepakatan
tentang eksistensi wilayah Indonesia yang hanya meliputi: Jawa, Madura dan
Summatera, serta pengakuan terhadap terbentuknya Negara Indonesia Serikat
(RIS). Terlepas dari pro dan kontranya hasil perundingan itu, di kalangan
tokoh-tokoh
2
pergerakan waktu
itu, perundingan ini merupakan sebuah kemajuan bagi perjuangan pergerakan
bangsa kita.
Pasca
perundingan, di tubuh kabinet terjadi perpecahan. Partai sosialis (yang
memimpin kabinet) terpecah menjadi dua, yaitu sosialis demokrat yang dipelopori
oleh Sutan Syahrir dan sosialis revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir
Syarifuddin. Perpecahan ini berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi perdana
menteri dan digantikan oleh Amir Syarifuddin. Penggantian ini menimbulkan
kemarahan di kalangan Masyumi dan termasuk HMI. Dengan demonstrasi-demonstrasi
yang dilakukanya HMI bersama kekutan Islam lain, mereka menuntut dibubarkannya
kabinet Amir Syarifuddin.
Dasar
penjajah, secara sepihak Belanda melakukan pelanggaran terhadap hasil-hasil
perundingan itu. Tanggal 29 Juni 1947, Belanda melakukan agresi militer I
dengan mengultimatum pengakuan wilayah Belanda atas Indoesia. Maka dengan
segala kegigihan semangatnya, TNI yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal
Sudirman melakukan perang gerilya di hutan-hutan dan pegunungan. Perlawanan ini
berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Renville di atas geladak kapal
Renville milik AS. Poin penting dari perundingan tersebut adalah diadakanya
gencatan senjata sambil menunggu perundingan lebih lanjut.
Secara
umum, hasil perundingan ini tidak memuaskan para pemimpin bangsa Indonesia
waktu itu. Oleh kubu yang menentangnya, perundingan ini dijadikan sebagai alat
untuk memukul balik Amir Syarifuddin dengan mengatakannya sebagai sebuah
kemunduran dan kegagalan kabinetnya. Atas kegagalan ini, kabinet Amir
Syarifuddin kemudian diganti dengan kabinet baru pimpinan Mohammad Hatta yang
mendapat dukungan dari kalangan Islam, termasuk dari HMI.
Tentu saja
penggantian pergantian dari kabinet Amir Syarifuddin ke kabinet Mohammad Hatta
ini sangat mengecewakan PKI dan para pengikutnya. Mereka berpikir keras
bagaimana mengembalikan kekuasaan yang sebelumnya sudah di tangan, melalui Amir
Syarifuddin. Kepulangan salah satu kader PKI, Muso, dari tugas belajarnya di
Uni Sovyet (sekarang Rusia) menjadikan PKI seakan mendapatkan ruh barunya. Muso
mampu memberikan pijakan ideologis yang kuat bagi PKI. Muso mengimpikan
menjadikan Indonesia sebagai negara komunis murni, yang merupakan sebagai
bagian dari Komunisme Internasional (Komintern). Duet Amir dan Muso inilah yang
kemudian menjadikan PKI semakin radikal dan berani. Hatta dianggap sebagai
representasi kaum borjuis yang kontra revolusi dan merupakan antek-antek
kapitalis.
Klimaksnya
adalah persitiwa berdarah, Madiun 1948, yang mengakibatkan hilangya lebih dari
150.000 nyawa anak bangsa tak berdosa. Waktu itu, PKI berhasil memobilisir
massa petani Madiun untuk melakukan perlawanan terhadap negara. Konflik petani
yang pada mulanya hanya perebutan atas tanah (yang kebanyakan dikuasai oleh
golongan beragama dan nasionalis) berubah menjadi konflik antar kelompok
pengikut komunis dan non-komunis, bahkan antar golongan agama dan non-agama
(Juliantara 199). HMI sebagai bagian dari kelompok yang anti komunis terlibat
dalam konflik ini. Dalam rangka penumpasan PKI di Madiun, HMI mengirimkan
kader-
3
kadernya dikirim ke
Madiun. Mereka tergabung dalam CMI (Corps Mahasiswa Indonesia) yang dipimpin
oleh Achmad Tirto Sudiro.
Pasca
konflik di Madiun, lagi-lagi Belanda menghianati perjanjian. Secara sepihak
Belanda membatalkan perjanjian Renville dan melakukan penyerangan mendadak pada
tnggal 19 Desember 1949 di Yogyakarta (terkenal dengan Agresi Milter II).
Beberapa tokoh penting seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan lainya ditangkap
dan diasingkan. Beruntunglah pemerintah cekatan bertindak dengan segera
membentuk pemerintahan Darurat di Summatera yang dipimpin oleh Syafruddin
Prawiranegara. Maka secara de jure pemerintahan Indonesia masih
eksis, meskipun Ibu Kotanya dikuasai oleh tentara gabungan (NICA)
pimpinan Belanda.
Tanggal 23
Agustus s.d. 2 November 1949, atas instruksi PBB, diadakanlah Konferensi Meja
Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda. Dalam perundingan itu
diputuskan pengakuan kedaulatn Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tangga 10
Desmber 1949. Melalui momen inilah kemerdekaan Indonensia, yang sudah
dideklarasikan 17 Agustus 1945, kembali direbut dan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) kembali berdaulat.
b. Kondisi Pergerakan Islam
Abad ke-19
merupakan abad modern dalam sejarah perkembangan peradaban Islam. Abad ini
ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran modern Islam yang mengilhami
gerakan revivalisme Islam sebagai counter dari kuatnya hegemoni Barat
terhadap peradaban dunia. Pemikir-pemikir Islam yang banyak dikenal pada masa
itu misalnya adalah Jamalauddin Al-Afgani (1839-1897), Muhammad Abduh
(1849-1915), Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-196) dan sebagainya.
Melalui karya-karya dan gerakannya meraka mengilhami munculnya gerakan
revivalisme Islam di berbagai negara. Beberapa gerakan revivalis yang Muncul
adalah Pan Islamisme, Jemi’at Al-Islami, Ikhwanul Muslimin dan sebagainya.
Beberapa diantara pemikiran tersebut kemudian sampai ke Indonesia melalui
tokoh-tokoh Islam Indonesia yang belajar ke timur. Hasim Asy’ari (NU), Ahmad
Dahlan (Muhammadiyah), dan A. Hassan (Persis) merupakan beberap tokoh pelopor
yang besar dan terdidik di Timur Tengah dan kemudian kembali ke Indonesia
mendirikan organisasi ke-Islaman seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
dan Persatuan Islam (PERSIS).
Di sisi
lain, penerapan politik etis (Etische Politiek) oleh Belanda semakin
memberikan kesempatan kepada para tokoh pribumi untuk mendapatkan pendidikan di
Barat. Berbekal pendidikan inilah lantas tak sedikit kaum pribumi mulai dapat
menyerap narasi-narasi besar (nansionalisme, demokrasi dan sosialisme) yang
telah lebih dahulu berkembang di negeri lain. Mereka mulai mempelajari metode
perjuangan terorganisasi, bahkan kemudian mempelopori gerakan penyadaran rakyat
secara terorganisasi sebagai salah satu alat perjuangan (Purwanto 1999).
4
Tersebutlah beberapa organisasi pergerakan Islam
seperti yang lahir pada fase itu: Serikat Dagang Islam (1908), Sarikat Islam
(1912), Muhammadiyah (1912), Persatuan Ummat Islam (1917), Persatuan Islam
(1923), Nahdlatul Ulama (1926), Al-jami’atul Wasliyyah (1930) Perti, dan Al
Irsyad (1931), yang mempelopori era baru perjuangan kemerdekan Indonesia secara
lebih terorganisir. Meskipun pada mulanya organisasi-organisasi tersebut hanya
bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan saja, akan tetapi sesuai dengan
tuntutan perkembangan bangsa yang berkeinginan untuk segera mencapai
kemerdekaannya, beberapa organisasi itu kemudian berubah menjadi partai
politik.
Salah organisasi kemasyarakatan Islam yang
berubah menjadi partai politik adalah Sarekat Islam (SI). Pada tahun 193, SI
berubah menjadoi Partai Sarikat Islam Indonesia atau disingkat PSII. Platform
Islam sosialis atau Islam populis yang digagas oleh tokoh SI, HOS Cokroaminoto,
mengalami kontraksi ideologis Ketika faksi-faksi SI yang lebih sekuler dan
radikal berusaha menarik SI ke dalam wacana Sosialisme-Marxisme. Hendrik
Sneevliet, pimpinan pusat Partai Sosialis di Belanda, bahkan sempat
mengintrusikan beberapa orangnya masuk ke tubuh SI untuk tujuan ini. Semaun dan
Darsono adalah dua orang yang berhasil dipengaruhinya. Sebagai pimpinan SI
cabang Semarang, mereka berhasil membawa SI Cabang Semarang keluar dari
hierakhi struktur SI dan masuk ke haluan komunis. Hal inilah yang kemudian
menjadika SI terbelah menjadi dua, yaitu: SI merah, yang berhaluan komunis, dan
SI putih, yang tetap berhaluan Islam.
SI merah kemudian dikenal dengan Sarekat Rakyar
(SR) dan menjadi embrio lahirnya PKI (23 Mei 1923), sedangkan SI putih, meski
secara formal adalah SI yang asli, namun dalam perkembangannya mengalami gejala
konservatisasi ideologi dan bergerak ke arah lebih kanan. Akibatnya SI
mengalami kemerosotan luar biasa (Purwanto 1999). Karena mengalami degradasi,
SI putih kemudian berubah menjadi PSII (Paerai Serikat Islam Indonesia) dan
pada era pasca kemerdekaan lalu melebur bersama organisasi Islam yang lain ke
dalam Masyumi.
Puncak dari massifikasi perjuangan keorganisasian
Islam adalah lahirnya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada tahun
1945. Masyumi sebagai sebuah partai politik, lahir dari hasil dari Muktamar I
Ummat Islam Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 7 November 1945. Pada
mulanya Masyumi bukanlah merupakan sebuah partai politik, akan tetapi merupakan
wadah tunggal yang dibentuk oleh pemerintah Jepang bagi ummat Muslim untuk
mengkooptasi kekuatan-kekuatan Islam. Waktu itu namanya adalah MIAI (Majlis
Islam A’la Indonesia) yang dipimpin oleh K.H. Hasyim As’ari (pendiri NU).
Masyumi bisa menjadi payung bagi seluruh ummat
Islam karena terbentuk dari gabungan beberapa organisasi Islam yang
berbeda-beda. Dalam Mu’tamar Ummat Islam
I tersebut,
dihasilkan beberapa keputusan :
1)
Mendirikan satu partai Islam yang bernama
MASYUMI
2)
MASYUMI adalah satu-satunya partai
politik Islam, dan tidak boleh mendirikan partai politik Islam lain kecuali
Masyumi.
5
3)
MASYUMI-lah yang akan memperjuangkan
nasib ummat Islam di bidang politik
Di Masyumi
bukan hanya tergabung organisasi-organisasi Islam modernis saja, melainkan juga
organisasi Islam puritan seperti Persis, organisasi yang mewakili kalangan
Islam tradisional (NU dan Perti), juga organisasi Islam populis seperti PSII.
Bersamaan dengan
itu, dikalangan generasi muda, sebenarnya juga lahir organisasi yang bukan
bercorak politik maupun sosial, akan tetapi bercorak intelektual. Organisiasi
tersebut adalah Jong Islaminten Bond, yang didirkan pada tahun 1925 oleh
seorang anak muda bernama R. Samsurijal (seorang anggota SI, mantan Wali Kota
Jakarta). Tujuan organisasi ini adalah menyeru kepada para anggota agar
sungguh-sungguh mempelajari Islam, memperkokoh cinta-kasih demi keimanan Islam,
dan agara dengan sabar menjaga hubungan bersahabat dengan mereka yang menganut
keimanan dan keyakinan ideologi lain (Mintareja 1974 dalam Sitompul 1976).
Dilihat
dari karakternya, organisasi ini identik dengan HMI. Dan berdasarkan keterangan
beberapa sumber, berdirinya HMI memang salah satunya atas inspirasi dari Jong
Islaminten Bond ini (Tanja 1978).
c. Kondisi Kampus dan
Yogyakarta
Sebutan
Yogyakarta sebagai kota pelajar dikarenakan kota ini sangat kondusif untuk
menjadi pusat pengembangan pendidikan. Pada saat berdirinya HMI, beberapa
perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta adalah :
1.
Sekolah Tinggi Islam (STI), tempat di
mana HMI didirikan pada tanggal 8 Juli 1945. Mulanya sekolah ini berkedudukan
di Jakarta, akan tetapi seiring pindahnya Ibu Kota RI ke Yogyakarta pada tahun
1946 akibat agresi Belanda, menjadikan STI juga turut pindah Ke Yogyakarta.
Pada tanggal 20 Mei 1948, sekolah ini berubah nama menjadi UII (Universitas
Islam Indonesia).
2.
Universitas Gadjah Mada yang berdiri pada
tanggal 17 Februari 1946 dan waktu itu belum menjadi universitas negeri. UGM
baru dinegerikan pada tanggal 19 Desember 1949.
3.
Akademi Ilmu Kepolisian (Akpol).
4.
Sekolah Tinggi Teknik
Kuatnya
penyebaran ide-ide sosialisme dikalangan masyarakat menjadikan organisasi
mahasiswa yang ada didominasi oleh pemikiran-pemikiran sosialis. Nuansa-nuansa
keagamaan menjadi kering karena PMY (Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta),
sebagai satu-satunya wadah mahasiswa waktu itu, meletakan landasanya pada
non-agama. Tentu saja, bagi Lafran Pane dan kawan-kawannya, hal ini tidak bisa
dibiarkan terus menerus. Harus ada organisasi mahasiswa yang perduli terhadap
persoalan-persoalan keagamaan anggotanya. Meskipun untuk pembinaan generasi
mudanya, masyarakat Islam Indonesia sudah mempunyai GPII (Gabungan Pemuda Islam
Indonesia), akan tetapi belum ada organisasi untuk membina ke-Islaman untuk
kalangan
6
mahasiswa. Maka,
atas kondisi ini, Lafran Pane dan kawan-kawanya berinisitaif mendirikan
organisasi kemahasiswaan yang berlabelkan Islam. Organisasi tersebut kemudian
diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat HMI.
Meskipun
pada waktu itu status ia sendiri adalah sebagai salah satu pengurus PMY, dengan
mendirikan HMI, ia dibenci oleh kawan-kawanya di PMY dan bahkan kemudian
dipecat dari anggota PMY. Ia dianggap sebagai pembangkang dan sosok yang akan
mengancam keberadan PMY.
Menurut Lafran Pane, motivasi utama didirikannya HMI adalah sebagai
berikut :
“… Sebagai alat mengajak mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami
ajaran Islam agar mereka kelak sebagai calon sarjana, tokoh masyarakat maupun
negarawan, terdapat keseimbangan tugas dunia-akhirat, akal-kalbu, serta
iman-ilmu pengetahuan, yang sekarang ini keadaan kemahasiswaan di Indonesia
diancam krisis keseimbangan yang sangat membahayakan, karena sistem pendidikan
barat. Islam harus dikembangkan dan disebarluaskan di kalangan masyarakat
mahasiswa di luar STI (Sekolah Tinggi Islam), apalagi PMY secara tegas
menyatakan berdasarkan non-agama…” (Saleh, 1996).
II.
HMI tahun 50-an : “Perkembangan dan
Pendewassan”
a. Disorganiozed
Pasca
Konferensi Meja Bundar (KMB) kedaulatan kembali ke tangan Pemerintah
RI. Namun demikian
bukan berarti semua persoalan selesai. Konflik-konflik internal antara berbagai
kepentingan ideologi semakin memanas dan menghabiskan banyak energi dan korban
jiwa. Tiga ideologi besar yang menjadi kompartemen utama bangsa Indonesia, yaitu
: Islam, Nasionalisme dan Komunisme saling berebut kekuasaan untuk mendominasi
pimpinan kabinet. Akibatnya situasi politik tidak pernah stabil dan sering
terjadi gonta-ganti kabinet. Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 adalah
salah satu klimaks dari adanya pertarungan ideologi-ideologi tersebut.
Bagi HMI
sendiri, masa tahun awal 50-an, oleh Dahlan Ranuwiharjo, disebut sebagai masa disorganized
(kekacauan organisasi). Diresmikanya Perguruan Gadjah Mada menjadi Universitas
Gadjah Mada (UGM) menjadikan beberapa perguruan tinggi yang berada di wilayah
Yogyakarta dan beberapa kota lainnya diintegrasikan ke dalam UGM. Beberap
diantaranya ialah Perguruan Kedokteran yang semula berada di Klaten, Solo dan
Malang diintegrasikan menjadi Fakultas Kedokteran UGM, termasuk juga Akademi
Pertanian di Klaten, kemudian menjadi Fakultas Pertanian UGM.
Oleh
penyatuan beberapa perguruan tinggi ini, sebagai konsekuensinya, HMI kehilangan
beberapa cabang yang berada beberapa daerah tersebut. Kondisi kampuspun menjadi
kurang kondusif untuk aktifitas pergerakan karena ada kecenderungan mahasiswa
kembali menggeluti dunia akademis (back to campus). Dunia
7
akademis yang
sebelumnya mengalami kevakuman karena ditinggalkan mahasiswanya turun ke medan
perang melawan agresi militer Belanda, kini kembali marak oleh mahasiswa yang
kembali lagi ke kampus dan menjalankan kuliah seperti biasanya. Sementara di
sisi lain, sehubungan dengan kembalinya ibu kota negara ke Jakarta, personel PB
HMI juga banyak yang pindah ke Jakarta. Beberapa pengurus PB HMI juga ada yang
meneruskan kariernya di bidang militer, seperti A. Tirto Sudiro dan Hartono.
Keadaan ini
sangat mempengaruhi kinerja kepengurusan yang waktu itu dipimpin oleh oleh SH.
Mintaredja. Akhirnya Lafran Pene dan beberapa pengurus lain seperti Dahlan
Ranuwiharjo berusaha mengantisipasi keadaan ini dengan mengambil alih
kepengurusan HMI. Beruntunglah, dengan cara ini, HMI masih bisa terselamatkan.
Meskipun PB dalam keadan lemah, ekspansi cabang-cabang masih bisa berlangsung,
Beberapa ekspansi cabang yang dilakukan diantaranya adalah pembentukan HMI
Cabang Jakarta, Cabang Bogor, Cabang Bandung dan Cabang Surabaya. Di tingkat
nasional, kepengurusan PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia –
semacam KNPI-nya zaman itu) masih selalu dipegang kepemimpinanya oleh HMI.
Pindahnya
Ibu Kota kembali ke Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1950 menjadikan HMI juga
harus segera memindah sekretariatnya ke ibu kota yang baru. Pada bulan Juni
1950, secara resmi sekretariat HMI pindah ke dari Yogyakarta ke Jakarta, waktu
itu HMI diketuai oleh Lukman Hakim. Pada kepemimpinan Lukman hakim ini rupanya
HMI masih juga belum bisa terlepas dari kondisi keterpurukanya. Kinerja
organisasi lamban, manajemen organisasi tidak bagus, dan anggotanya banyak yang
tidak terurusi.
Dalam
kongres HMI II di Yogyakarta (Desember 1950) diputuskan Dahlan Ranuwiharjo
sebagai ketua Umum HMI yang ke-3. Dibawah kepemimpinannya HMI mulai melakukan
pembenahan kembali dengan membuka cabang-cabang baru. HMI jug aktif melakukan
penggalian kembali nilai-nilai ke-HMI-an dengan tetap aktif mengontrol negara
dengan memberikan aktif memberikan kritik dan saran kepada Presiden Sukarno.
Masa-masa periode kepengurusannya, Dahlan Ranuwiharjo adalah sebagian kecil
tokoh HMI yang dikenal sangat dekat dengan Sukarno.
b.
Munculnya Organisasi Underbouw-nya partai
Semakin
kuatnya persaingan antar kekuatan-kekuatan arus politik untuk menguasai
parlemen, mendorong mereka untuk melakukan perluasan pengaruh di tingkat bawah.
Beberapa cara yang ditempuh diantaranya ialah dengan membentuk
organisasi-organisasi baru untuk dijadikan sebagai underbouw-nya.
Termasuk di tingkat dunia kemahasiswaan, pertai-partai besar seperti PNI dan
PKI, pada tahun 1953-1954, membentuk organisasi-organisasi kemahasiswaan underbouw.
Tersebutlah GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) yang merupakan underbouw
PNI dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang menjadi underbouw
PKI. Dengan lahirnya organisasi mahasiswa underbouw partai tersebut,
maka program-program organisasi mahasiswa tidak lagi lahir dari hasil pemikiran
kritis mahasiswa yang
8
Independen, akan
tetapi lebih merupakan penerjamahan dari program-program partai induknya.
Sebagai
organisasi mahasiswa yang independen, HMI mendapatkan tantangan yang sangat
besar. HMI adalah organisasi independen yang tidak dimaksudkan untuk menjadi
senjata politik Masyumi atau suatu gabungan dari organisasi sosial atau
pendidikan muslim apapun (Tanja, 1978). Akan tetapi sikap independen HMI ini
tidak tersosialisasikan dengan baik ke organisasi lain. Dengan ciri Islam-nya,
HMI sering dituduh sebagai alat kepentingan partai Islam seperti Masyumi.
Bahkan tahun 1964 HMI nyaris dibubarkan karena tuduhan ini. HMI akhirnya masuk
dalam pusaran konflik antar organisasi mahasiswa.
Persaingan
dalam memperebutkan kader baru dan dominasi di kampus tak jarang menimbulkan
bentrokan fisik antar para pendukungnya. CGMI seringkali meneror anggota HMI
dan melarang mereka aktif. CGMI bahkan melakukan gerakan-gerakan provokasi di
kampus untuk membubarkan HMI. Demikian juga GMNI, sedikit banyak, organisasi
ini turut serta dalam usaha-usaha mengganyag HMI.
III. HMI Tahun 60-an: “Perjuangan dan Eksistensi”
Bagi PKI,
HMI merupakan musuh utama yang harus dilenyapkan setelah Masyumi. Sebab
golongan agama, dalam doktrin komunis, adalah kelompok kontra revolusi isisnya
adalah kaum borjuis kecil yang pro kapitalis-imperialis. PKI menuduh Masyumi
(dan juga HMI) sebagai antek-anteknya Amerika yang berusaha menanamkan
pengaruhnya di dunia ketiga untuk memenangkan perang dingin (Aidit 2001). Jika
ingin menguasai Indonesia, tak ada jalan lain, selain yang pertama kali harus
dihancurkan adalah kekuatan-kekuatan kaum beragama. Kaum nasionalis, meskipun
juga menjadi penentang komunisme tidak cukup mempunyai kekuatan siginikan,
karena merupakan produk ideologi lokal.
NASAKOM
(Nasionalis, Agama dan Komunis) diharapkan oleh Sukarno dapat menjadi pemersatu
ketiga kekuatan ideologi besar yang berkompetisi menanamkan pengaruhnya dalam
struktur negara. Ide tersebut ternyata hanya menjadi slogan yang semakin
melegitimasi kekuasaan Sukarno. Pada tahap berikutnya Nasakom menjadi alat bagi
PKI untuk melakukan hegemoni politiknya tanpa mau mengakomodasi
kekuatan-kekuatan lain. Sebenarnya ide ini cukup baik jika diikuti dengan
itikad baik dan perimbangan kekuatan antara elemen-elemen penyusunya. Akan
tetapi lemahnya kekuatan Nasionalis dan Islam secara kualitatif menjadi tidak
seimbang dengan kekuatan dan ambisi komunis untuk mengusai kabinet.
Kekukuhan
HMI dalam membela Islam dan keterlibatanya dalam aksi pembasmian pemberontak
PKI di Madiun tahun 1948 bersama militer cukup menjadi stimulus dendam mendalam
bagi PKI. Oleh karena itu permusuhan HMI dengan PKI/CGMI semakin menjadi
setelah Nasakom diberlakukn oleh Presiden Sukarno. HMI adalah organisasi yang
menentang Nasakom. Tuduhan-tuduhan bahwa HMI merupakan underbouw-nya
Masyumi, HMI terlibat dalam pemberontakan-pemberontakan Islam
9
bersama Masyumi, HMI anti Pancasila, HMI menjadi antek Amerika dan
sebagainya menjadi dalih bagi PKI untuk mengganyang HMI.
Terhitung sejak tahun 1964 aksi-aksi
mengganyangan HMI dengan berbgai tuduhan diatas mulai dilakukan oleh PKI.
Koran-koran, majalah, aksi massa, forum-forum ilmiah dan bahkan menggunakan
institusi perguruan tiggi untuk melarang aktifitas HMI. Lebh dari 30 mass media
dan 46 organisasi massa digunakan oleh PKI untuk melakukan usaha-usaha
pembubaran HMI. Bentuk-bentuk aksi yang mengarah pada pengganyangan HMI.
Beberapa aksi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Pelarangan HMI di Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Cabang Jember pada tanggal 12 Mei 1964 oleh sekretaris fakultas yang
bernama Prof. Dr. Ernest Utrecht S.H.
2.
Mengeluarkan HMI dari Dewan
Mahasiswa/Senat Mahasiswa yang tertuang dalam instruksi Majlis Mahasiswa
Indonesia (MMI) pada bulan Agustus 1964. Semenjak bulan itu, diberbagai
perguruan tinggi seperti di Yogyakarta, Medan, Jakarta dan sebagainya, HMI
dikeluarkan dari DEMA bahkn tidak diperkenankan untuk mengikuti pemilihan
ketua.
3.
HMI dikeluarkan dari keanggotanya di
PPMI.
Keberhasilan CGMI mendominansi PPMI menjadikanya hanya sebagai alat
kepanjangan CGMI. HMI dikeluarkan dari keanggotaan PPMI secara sepihak. Protes
yang dilakukan PMII mengnai keputusan itupun ditolak karena PKI telah
menjadikan PPMI sebagai alat kepentinganya.
4.
Memfitnah HMI dengan berbagai pamflet
yang isinya antara lain memprovokasi massa agar mendukung pembubaran HMI.
5.
Petisi Pembubaran HMI dengan memanfaatkan
momen-momen rapat akbar seperi peringatan 17 agustus 1945 untuk mengluarkan
statemen-statemen yang berisi pembubarn HMI.
6.
Penyingkiran anggota HMI dari
jabatan-jabatan strategis di kampus. Di beberapa perguruan tinggi, dosen-dosen
yang berasal dari HMI tidak pernah diberi kesempatan untuk menduduki
jabatan-jabatan tinggi oleh pengurus fakultas yang telah di dominasi PKI.
Beruntunglah hampir semua ormas Islam yang ada
waktu itu secara gigih melakukan pembelaan terhadap HMI. Sehingga Sukarno, yang
semula hampir-hampir saja membuat surat keputusan pembubaran HMI, membatalkan
rencananya dan HMI bisa bertahan sampai sekarang.
Pada tahun 1952, Masyumi sebagai satu-satunya
partai Islam mulai mengalami perpecahan. Perpecahan itu dimulai dengan
keluarnya NU dari Masyumi. Kekecewan golongan NU atas komposisi kepemimpinan di
Masyumi yang dirasa tidak adil menyebabkan NU keluar dan mendirikan partai
sendiri. NU merupakan konstituen terbesar Masyumi, sehingga dengan keluarnya NU
dari Masyumi sangat mempengaruhi nasib Masyumi selanjutnya. Beberapa waktu
kemudian beberapa elemen lain seperti Perti dan PSII juga ikut keluar.
Selanjutnya Masyumi praktis hanya diisi oleh Muhammadiyah dan Persis (keduanya
cenderung modernis dan puritan).
10
Pada masa
kepemimpinan M. Natsir kebijakan-kebijakan Masyumi banyak di arahkan kepada
gerakan-gerakan ke arah formalisasi Islam dalam struktur negara. Contoh
kongkritnya ialah Ketika Masyumi memperjuangkan negara Islam dalam sidang
konstituante 1955. Keadaan ini menjadikan program-program yang berorientasi
pada sosial dan kultural banyak terabaikan. Beberapa organisasi pendukung yang
berasal dari kaum tradisionalis akhirnya melakukan protes yang berujung pada
perpecahan itu. Akan tetapi hal ini bisa dipahami, mengingat saat itu Masyumi
berhadap secara frontal dengan gerakan-gerakan marxis-sosialis (PKI) yang
cenderung anti agama. Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960.
.
HMI: KAMI Sebagai Pelopor Tumbangnya Orde
Lama
Kondisi
negara yang kian terpuruk dengan ditandai oleh tingginya inflasi, mendorong HMI
kembali mengambil inisiatif melakukan aksi-aksi protes terhadap pemerintah.
Hegemoni PKI dalam kabinet yang kian kuat juga mendorong HMI bersama
elemen-elemen Islam lainya berusaha untuk melakukan kritik kepada Presiden
Sukarno melalui gerakan massa. Ditingkat organisasi mahasiswa PKI juga sudah
semakin menghegemoni. PPMI yang pada awalnya merupakan independen akhirnya
dikuasai oleh CGMI (PKI), termasuk juga MMI dan Front Pemuda. Dengan demikian
nyaris tak ada lagi organisasi mahasiswa yang bisa kritis terhadap kekuasaan.
PKI ada
tanggal 30 September 1965 melakukan penculikan terhadap para petinggi Angkatan
Darat yang terkenal dengan sebutan G 30 S/PKI. Peristiwa berdarah ini menjadi
momen awal bagi masifnya gerakan-gerakan anti PKI oleh militer dan mahasiswa.
Atas inisiatif Mar’ie Muhammad (wakil ketua HMI), mahasiswa membentuk
organisasi bersama bernama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). KAMI
berdiri pada tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta, tepatnya di Rumah salah satu
menteri kabinetnya Sukarno bernama Syarif Thayib.
Aksi
pertama KAMI adalah rapat umum yang diselenggarakan di Fakultas Kedoteran Umum
UI, Salemba, dengan tuntutan pembubaran beberapa organisasi yang menjadi
underbouw PKI seperti CGMI, PERHIMI, HIS dan Akademi PKI. Seiring kuatnya
tuntutan terhadap pembubaran PKI, KAMI kemudian menjadi satu-satunya lembaga
aksi yang mewadahi seluruh mahasiswa Indonesia dengan tanpa membedakan agama
dan golongan. Aksi-aksi Kami bisa melibatkan massa yang sangat banyak dan
spontan karena mendapat dukungan dari seluruh mahasiswa Indonesi. Selain itu,
dukungan dari TNI Angkatan Darat juga turut memperkuat mental para anggota
KAMI.
Puncak aksi
KAMI adalah Ketika mengumandangkan Tritura (tiga tuntutan rakyat) bersama
elemen-elemen aksi lain seperti KAPI, KAGI, KASI dan sebagainya di halaman
fakultas kedokteran UI, pada tanggal 10 januari 1966. Adapaun isi Tritura
adalah :
-
Bubarkan PKI
-
Retooling kabinet
-
Turunkan harga
11
Sukarno
menanggapi aksi-aski tersebut dengan menyatakan sebagai aksi yang kontra
revolusioner. Ia malah membentuk kabinet baru yang beranggotakan beberapa orang
yang disinyalir sebagai simpatisan PKI. Hal ini semakin menimbulkan kemarahan
mahasiswa dan rakyat. KAMI meneruskan aksi-aksi dengan melibatkan lebih banyak
massa. Pada tanggal 24 Januari 1966, saat pelantikan Kabinet Dwikora, KAMI
melakukan aksinya lagi keluar kampus dengan melakukan pemboikotan jalan yang
akan dilalui para calon menteri untuk pelantikan. Dalam aksi itulah terjadi
bentrok antara mahasiswa dengan pasuka Cakrabirawa. Dua pahlawan Ampera yaitu
Arif Rahman Hakim dan Zubaidah tewas tertembus peluru. Sehari setelah
penguburan jenazah Pahlawan Ampera tersebut, Sukarno mengumukan pembubaran
KAMI.
Dengan
pembubaran ini bukan berarti perjuangan berhenti, KAPPI yang dikomandani oleh
M. Husni Thamrin mengambil alih posisi KAMI sebagai organisator massa.
Sementara beberapa pimpinan KAMI seperti Cosmas Batubara (PMKRI), Zamroni
(PMII) dan David Napitupulu diculik oleh orang tak dikenal, beberapa anggota
KAMI yang lain tetapi berjuang dengan membentuk laskar-laskar Ampera di tiap
daerah. Laskar-laskar inilah yang mengorganisir massa sehingga gaung Tritura
sampai ke daerah-daerah. Aksipun berkembang sampai wilayah-wilayah propinsi.
Bahkan aksi-aksi di Yogyakarta, Makasar dan lainya lebih heroik dan memakan
lebih banyak korban jiwa.
Keluarnya
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) menandai lahirnya Orde Baru pimpinan
Suharto. Ia diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1967 oleh MPRS dan
akhirnya dikukuhkan sebagai presiden definitif pada tahun 1969. Pasca
kejatuhannya, Sukarno hidup sakit-sakitan isolasi oleh rezim Orde Baru sampai
akhirnya wafat tahun 1972.
IV. HMI Tahun 70-an : “Intelektualitas dan Ambivalensi”
Banyak
orang mengatakan bahwa tahun 70-an bisa dikatakan merupakan masa-masa bulan
madu antar militer dan mahasiswa. Akhir tahun 60-an, militer bekerja sama
dengan gerakan mahasiswa telah berhasil menumbangkam Orde Lama dan menggantinya
dengan Orde Baru. Dalam hal ini yang dimaksud militer tentunya adalah Angkatan
Darat, sedangkan dari gerakan mahasiswa HMI merupakan unsur dominan yang
mempelopori gerakan lahirnya Orde Baru. Suharto yang berasal dari militer naik
menjadi Presiden menggantikan Sukarno. Sebagai balas budi terhadap gerakan
mahasiswa, Suharto memberikan jabatan-jabatan menterinya ke beberapa alumni
HMI. Maka tak heran jika pada masa rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto,
banyak sekali alumni yang menduduki jabatan-jabatan penting kenegaraan.
Sebutlah nama-nama seperti Akbar Tandjung, A. Tirtosudiro, Abdul Gofur, dan
sebagainya.
Sebenarnya
gerakan mahasiswa tidak sadar kalau ternyata dalam gerakan penumbangan Orde
Lama, militer mengambil keuntungan situasi untuk mengambil alih kekuasaan.
Pasca tumbangnya Orde Lama, negara dipimpin oleh seorang militer dengan gaya
kepemimpinan yang milteris pula. Kalaupun ada beberapa posisi penting diberikan
12
kepada mantan
aktivis gerakan mahasiswa, mereka hanya dijadikan subordinat saja dari sebuah
kebijakan besar yang didikte oleh militer. Ibarat mobil mogok, tahun 60-an
mahasiswa diminta bantuanya untuk mendorong mobil yang mogok tersebut agar
hidup kembali. Akan tetapi setelah mobil bisa berjalan, mahasiswa ditinggalkan
dan militerlah yang mengendarai mobil tersebut.
Orde Baru
dibangun atas dasar ideologi “developmentalisme” (pembangunanisme), di
mana kemajuan suatu bangsa diukur dengan hanya secara material dan matematis.
Pertumbuhan ekonomi menjadi parameter keberhasilan pembangunan suatu bangsa
tanpa melihat kemerataan ekonominya. Ujung-ujungnya, pengistimewaan terhadap
satu kelompok ekonomi tertentu menafikan dan bahkan mengorbankan ekonomi
kerakyatan. Untuk mendukungnya kekuasaanya, Suharto memelihara para taipan
menjadi konglomerat dan hutang luar negeri dijadikan pijakan utama pembangunan
ekonomi. Di bidang politik, Golkar – yang waktu itu tidak mau disebut sebagai
partai politik - sebagai partai pendukung utama Suharto, difungsikan sebagai
alat pengontrol kehidupan warga negera sekaligus sebagai alat legitimasi
kekuasaan yang pada tiap pemilu bertindak sebagai mesin pendulang suara.
Sementara partai politik yang jumlahnya cukup banyak, dimandulkan fungsinya
dengan cara difusikan menjadi hanya dua partai, Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara Pancasila yang sebenarnya
lahir dari pergulatan panjang atas pluralitas bangsa, ditafsirkan secara sempit
oleh Suharto hanya dengan dengan menggunakan P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Di sisi
lain, milter dengan dwifungsi TNI-nya dijadikan sebagai anjing-anjing penjaga
proyek-proyek konglomerasi penguasa. Mereka siap menerkam siapa saja yang
berani berpendapat berbeda dengan pemerintah. Tak heran jika gedung-gedung,
pabrik-pabrik dan tempat-tempat hiburan dibangun dengan cara menggadikan
warisan generasi mendatang, yaitu dengan mengeksploitasi sumber daya alam
secara massif. Sementara rakyat hanya menjadi penonton proses-proses tersebut,
jika tidak menjadi korban dari sebuah proses yang dinamakan pembangunan.
Parahnya lagi, mereka lantas dipakasa untuk menyebut Suharto sebagai “Bapak
Pembangunan”.
Pada era
Orde Baru, HMI merupakan organisasi yang cukup disegani dengan kemampuan
kader-kadernya yang sudah terbukti bisa menumbangkan Orde Lama. Purnanya
beberapa fungsionaris HMI angkatan ’66 sebagai pengurus di dunia pergerakan,
menuntut adanya regenerasi. Generasi baru ini adalah energi-enregi baru
yang telah mewarisi kebesaran sejarah HMI. Kondisi bangsa yang stabil dan
nyaris tanpa pergolakan, menjadikan generasi baru ini lebih menekankan
kerja-kerja organisasinya pada pengembangan aspek intelektual. Sebagaimana saat
berdirinya, karakter khas dari HMI adalah intelektualitas dan independensi. Trade
mark bahwa HMI (angkatan ’66) adalah generasi yang berhahsil menumbangkan
Orde Lama, maka tidak heran jika dikampus-kampus HMI sangat populer mengalami
peningkatan jumlah anggota secara signifikan.
Era
intelektual ini dipelopori oleh kepemimpinan Nurkholis Madjid yang pernah
menjabat sebagai ketua HMI selama dua periode (1966/1969-1969/1971). Ia adalah
13
mahasiswa IAIN
Syarif Hdayatullah Jakarta yang lahir dari keluarga nahdliyyin di
Jombang. Perpaduan antara kecakapanya dalam penguasaan teks-teks agama dengan
dialektika di lingkungan Islam modernis menjadikan ia sosok intelektual
peripurna, yang oleh Greg Barton (1999) disebut sebagai neo-modernis. Ide
sekularisasi dan statemen kotroversialnya “Islam yes, partai Islam no”
sempat menjadi polemik panjang di media massa karena mendapatkan bantahan yang
cukup keras dari kalangan pemikir Islam lainnya, yang juga kebanyakan dari HMI.
Dibawah
kepemimpinannya, materi-materi perkaderan mulai disusun secara lebih sistematis
dengan diciptakanya NDP (Nilai Dasar Perjuangan) sebgai pedoman perkaderan di
HMI. Pada masanya, juga mulai dirintis majalah HMI sebagai sarana untuk
pengembangan dan pertukaran pemikiran. Di tingkat internasional, eksistensi HMI
semakin mapan dengan aktifnya kembali di World Asembly Youth (WAY). HMI juga
membidani lahirnya International Islamic Federation of Student Organizations
(IIFSO) atau Federasi Mahasiswa Islam Internasional. Untuk keperluan eksistensi
di tingkat internasional ini, Nurkholis mengunjungi AS, Kanada, Inggris,
jerman, dan Timur Tengah dengan atas nama sebagai Ketua Umum PB HMI.
Tokoh lain
yang pernah menduduki jabatan ketua umum pada masa tahun-tahun 70-an adalah
Akbar Tanjung. Ia adalah mahasiswa kedokteran UI yang menandatangani
kesepakatan Cipayung. Kelompok Cipayung, yang merupakan forum irisan antar
elemen gerakan mahasiswa seperti HMI, PMKRI, GMNI, PMII, dan GMKI cukup
mempunyai peran dalam memberikan ide-ide tentang pluralism. Beberapa tokoh yang
kritis mensinyalir kelompok Cipayung merupakan bentuk kooptasi dari penguasa
terhadap gerakan mahasiswa.
Perisriwa
Malari (5 januari 1974) di Bandung menandai mulai bangkitnya kembali gerakan
kritis mahasiswa. Aksi protes mahasiswa terhadap maraknya modal Jepang yang
masuk ke Indonesia disikapi penguasa dengan represif oleh militer. Merespons
kasus ini, HMI belum menunjukan kontribusinya yang siginifikan untuk membela
kepantingan mahasiswa. Demikian juga dalam kasus-kasus lain, HMI lebih banyak
mengurusi perebutan kursi-kursi di DEMA (Dewan Mahasiswa) sebagai berbagai
lembaga intra kampus, dibandingkan aksi langsung di masyarakat. Secara individu
memang banyak anggota HMI yang terlibat dalam bebagai aksi mahasiswa. Akan
tetapi, HMI secara organisasi tidak banyak terlibat dalam pembentukan arah
sejarah mahasiswa sat itu (Tuhuleley 1990). Untuk menyikapi isu-siu nasional
seringkali HMI bersikap ambivalen. Kadang ia berlaku kritis terhdap penguasa,
seperti penolakanya pada konsep NKK/BKK sebagai pengganti DEMA, akan tetapi
pada sisi lain HMI tetap saja bercokol di lembaga intra kampus (yang
dianggapnya telah terkooptasi) dan selalu berjuang merebutkan kursi ketua.
Tahun-tahun
70-an akhir, merupakan era kebangkitan gerakan modern Islam kedua di Indonesia.
Keberhasilan Ayatullah Khumaeni (1979)) memimpin revolusi Iran menjadi
inspirasi tersendiri bagi tokoh-tokoh Islam untuk melakukan melakukn
perlawanan. Gerakan-gerakan Islamisasi ditiap institusi mulai marak lagi, dan
kelompok-kelompok gerakan di timur tengah seperti Ikhwanul Muslimin, Jama’ah
Tabligh, dan
14
sebagainya mulai
meluaskan pengaruhnya di ndonesia. Gerakan-gerakan ini membidik kaum terdidik
(kampus) sebagai obyek dakwahnya. Makanya tak heran jika awal tahun 80-an
merupakan era masjid kampus, dimana pengajian-pengajian sangat marak dan
kampus. Berbondong-bondong mahasiswa ikut dalam halaqoh-halaqoh dan
ustadz-ustadz “karbitan” muncul dari kalangan akademis yang tercerahkan.
Di internal
HMI-pun tidak terlepas dari kecenderungan semacam ini. Kritikan-kritikan bahwa
HMI kurang Islami memicu beberapa pengurus HMI melakukan gerakn ‘hijaunisasi’
kembali. Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) sangat berperan dalam hal ini.
LDMI membentuk kelompok kajian NDI (Nilai-nilai Dasar Islam) yang kemudian
setelah lepas dari HMI bernama FOSI (Forum Silaturrahmi Islam). Diantara
tokoh-tokohnya adalah Eggy Sudjana, M.S. Ka’ban, dan lain-lain. Penggunaan
metode brain washing dalam training-trainingnya menjadikan
klompok kajian ini sangat efektif dalam membentuk kader-kader militan di
HMI.
Adanya
hijaunisasi ini pada akhirnya mengkutub pada perdebatan ideologis di HMI.
Perdebatan panjang mengenai Islam dan Pancasila memakan energi para pemikir HMI
yang tidak sedikit. Lama-lama wacana ini berkembang sampai tingkat bawah dan
mulai mendapatkan pengikutnya masing-masing. Kelompok “Islamis”
mengidealisasikan bahwa Islam harus mewujud dalam sebuah sistem yang mengatur
kehidupan warga negara karena sebagai sebuah tatanan hidup, Islam sudah
paripurna. Meskipun tidak semuanya berpendapat demikian, kader-kader yang
prihatin dengan sekularisasi yang dialami HMI juga masuk dalam blok ini. Sudah
tentu kelompok inilah yang gigih melakukan “hijaunisasi” kembali di HMI.
Beberapa eksponen HMI yang mendukung cenderung pada kelompok ini diantaranya
adalah Abdullah Hehamahua, Ismail Hasan Metarium, Deliar Noer dan sebagainya.
Sebagian
kader yang melakukan elaborasi pemikiran ke-Islaman lebih ekletis dan dialektis
berpendapat bahwa negara merupakan bentuk dari sebuah keinginan untuk hidup
bersama yang terikat dalam konsensus, dalam hal ini Pancasila. Sehingga,
terlepas dari penyelewengan-penyelewengan yang dilakuka oleh rezim, Pancasila
merupakan produk yang paripurna bagi bangsa Indonesia dalam kerangka kehidupan
kebangsaan. Pemikiran demikian banyak dipelopori oleh orang-orang yang
tergabung dalam limitted graup-nya Ahmad Wahib, Dawam Raharjo,
dan Djohan Efendi di Yogyakarta serta tokoh-tokoh lain di Jakarta seperti
Nurkholis Madjid, Dahlan Ranuwiharjo, dan sebagainya. Dalam lokakarya tafsir
asas atas tafsir asas organisasi dalam lokakarya tafsir asas di mataram dan
Yogyakarta dua polarisasi pemikiran ini sempat mengalami perdebatan panjang.
Polarisasi
bukan hanya terjadi dalam pemikiran saja, akan tetapi perbedaan pendapat
mengenai sikap politik HMI terhadap negara ternyata juga lebih seru dan bahkan
menumbuhkan bibit perpecahan. Beberapa kader mengkritik bahwa HMI telah kehilangan
daya kritisnya karena terlalu akomodatif terhadap pemerintah. Kelompok ini
menginginkan HMI harus tetap independen dan berdiri diluar negara. Orde Baru
sudah banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan terhadap kekuasaan yang
mereka pegang. Rencana penerapan UU ke-ormasan yang akan memaksa semua
organisasi
15
menerapkan Asas
Tungal Pancasila adalah edisi baru dari cara Suharto melakukan kontrol terhadap
warga negara. Kelompok ini secara taktis berafiliasi dengan kelompok Islamis.
‘Pengalaman historis revolusi Iran menunjukan bahwa ternyata Islam juga bisa
menjadi kekuatan revolusi’.
Pada sisi
lain sebagian anggota HMI memilih jalan kompromistis sebagaimana yang biasa
dilakukan HMI sebelumnya. Kesediaanya bekerja sama dengan pemerintah dan karena
kedekatanya dengan beberapa alumni yang sudah duduk dalam birokrasi
menjadikannya kurang peka terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
pemerintah. Masuk menjadi anggota HMI bukan berati harus berjuang dan hidup
susah, akan tetapi bisa saja sebagai salah satu jalan karir masa depan. Menjadi
anggota HMI, setidaknya menurut persepsi beberapa orang, berati menjadi calon
pejabat dalam birokrasi negara. Pendapat-pendapat demikian sah-sah saja dan
tidak salah. Posisi HMI yang sudah sedemikian mapan secara riil memberikan
peluang untuk itu. Akan tetapi jika pendapat demikan hanya akan menjadikan HMI
tidak independen dan oportunis. Beberapa anggota yang berpendapat demikian
ternyata lebih sepakat jika HMI mengikuti keinginan pemerintah memakai Asas
Tunggal Pancasila.
V. HMI Tahun 80-an : “HMI (MPO) Menolak Tunduk”
Tahun 80-an
dikenal sebagai masa pertumbuhan bagi gerakan-gerakan Islamisasi kampus.
Bibit-bibit semangat “kembali ke-Islam” yang disemai pada akhir tahun 70-an
kuncup-kuncupnya mulai tumbuh. Kelompok-kelompok pengajian kampus (halaqoh)
semakin ngetrend dan bulan Ramadhan menjadi selalu ramai. Meskipun sebenarnya
terdiri dari berbagai aliran, akan tetapi mereka mempunyai kesamaan isu, yaitu
kebangkitan Islam. Harapan akan kebangkitan Islam di Asia Tenggara ternyata
cukup memberikan visi dan ruh yang menghidupkan semangat para da’i kampus untuk
terus mengobarkan semangat Islam.
Bagi Orde
Baru, hal ini merupakan pertanda buruk, karena akan menjadi ancaman bagi
keberlangsungan kekuasaanya. Beberapa kasus di negara lain radikalisme kaum
beragama bisa menciptakan revolusi yang bisa menumbangkan kekuasaan. Ancaman
terbesar bagi Orde Baru setelah hancurnya komunisme adalah kelompok beragama
ini. Penolakan Suharto atas keinginan Muhammad Roem menghidupkan kembali
Masyumi merupakan bukti ketakutanya pada kekuatan kaum beragama.
Bentuk
antisipasi yang dilakukan Orde Baru untuk mengontrol kehidupan kebangsanya
ialah dengan rencana dikeluarkanya Undang-undang Keormasan No. 8 tahun 1985.
Dalam rancangan UU ini disebutkan adanya kewajiban bagi tiap organisasi massa
untuk memakai Pancasila sebagai asasnya. Hal ini jelas bertentangan dengan
semangat kebhinnekaan yang menjadi ruh Pancasila itu sendiri. Penyeragaman asas
dalam tiap AD/ART adalah bentuk kontrol yang sangat kuat dari negara terhadap
warga negaranya yang berati pula hilangnya kebebasan warga negara untuk
berbeda. Oleh
16
karena itu muncul
banyak kritik dalam pemunculan paket UU ini (baca bukunya Deliar Noor berjudul
“Islam, Pancasila dan Asas Tunggal”).
Meskipun
demikian, kuatnya hegemoni kekuasan Orde Baru, menjadikan organisasi-organisasi
massa yang ada seperti Muhammadiyah, NU, GMNI, PMKRI, GMKI, PMII, IMM dan
sebagainya tidak bisa berbuat banyak. Berbondong-bondong organisasi-organisasi
tersebut mengubah AD/ART-nya menjadi berasaskan Pancasila. Bebera alasan yang
dikemukan oleh organisasi yang mengubah asasnya tersebut rata-rata ialah untuk
mencari keamanan. Dari sini dapat kita rasakan betapa kuat dan ditakutinya
kekuasaan Orde Baru saat itu.
Dukungan
militer dalam mengamankan kekuasaan negara yang sangat kuat seringkali
menimbulkan tindakan-tindakan represif dan anarkis oleh negara terhadap warga
negara. Sehingga kepatuhan warga negara terhdap pemerintah bukan karena
disebabkan oleh semangat dan komitmen kebangsaan akan tetapi lebih dikeranakan
oleh adanya ketakutan-ketakutan terhadap aparat.
HMI sebagi
organisasi mahasiswa terbesar dan berpengaruh saat itu jelas akan menjadi
sasaran selanjutnya bagi proyek “Pancasilaisasi” ini. Anggota HMI yang banyak
dan tersebar diseluruh pelosok nusantara merupakan aset bangsa yang tidak bisa
diabaikan. Pemerintah berkeinginan menjadikan HMI sebagai pelopor yang akan
mendukung pelaksanaan UU tersebut. Sewaktu pengumuman akan diterapkanya UU
keormasan tersebut, HMI belum menyatakan kesediaanya untuk mengikuti keinginan
pemerintah.
Maka
disusunlah strategi oleh pemerintah untuk membujuk beberapa fungsionaris HMI
agar bersedia memakakan Asas Tunggal. Dikirimlah beberapa alumni HMI yang sudah
duduk dalam kabinet untuk mendekati HMI. Jawaban pengurus HMI ialah agar
semuanya diserahkan pada hasil kongres yang akan diselenggarakan di Medan tahun
1983. Dalam kongres tersebut pemerintah mengutus Abdul Gafur (menteri Pemuda
dan Olah raga, yang juga alumni HMI) untuk membujuk peserta agar bersedia
mengubah asas. Abdul Gafur bahkan mengancam akan melarang kongres tersebut,
jika HMI menolak merubah asas.
Pada akhir
Mei 1983 diadakanlah kongres HMI XV di Medan. Kongres ini dinamakan kongres
perjuangan, karena diselnggarakan dalam tekanan yang kuat dari pemerintah untuk
merubah asas. Dalam majalah Tempo edisi 4 Juni 1983 dilukiskan suasana kongres
sebagai berikut : “….Ketika sampai pada Anggaran Dasar pasal 4, bahwa asas HMI
tetap Islam teriak Allahu Akbar gemuruh menyambutnya…..”. HMI secara tegas
menolak menggunakan Asas Tunggal Pancasila dalam AD/ART-nya dan masih setia
mempertahankan asas Islam.
Dalam kongres
itu terpilih Hary Azhar Azis sebagai ketua umum HMI, yang akan bertugas
mengemban amanat ini. Kegagalan Abdul Gafur untuk membujuk adik-adiknya ini
tidak membuat pemerintah menghentikan usaha-usahanya. Pemerintah terus berusaha
untuk membujuk HMI dengan melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada
pengurus HMI hasil kiongres. Usaha-usaha tersebut berhasil Ketika pada saat
sidang Majelis Pekerja Kongres (MPK) II dan rapat pleno PB HMI tanggal 1-7
April, di
17
Ciloto-Puncak-Bogor,
PB HMI bersedia mengubah asas Islam dengan asas Pancasila. Keputusan ini
diumumkan di media massa seminggu kemudian dengan menggunakan rumah Bp. Larfan
Pane sebagai tempatnya.
Reaksi
keraspun mengalir dari cabang-cabang di daerah. Cabang Yogyakarta sebagai
cabang embrionya HMI, melakukan protes keras terhadap keputusan tersebut.
Cabang Yogyakarta mengeluarkan pernyataan sikap dengan judul : “Sikap jama’ah
HMI Yogyakarta terhadap perilaku dan siaran pers PB HMI”. Dalam pernyataan
sikap tersebut secara tegas Yogyakarta menolak keputusan PB dan menganggapnya
inkonstitusional. Seharusnya keputusan perubahan AD/ART adalah wewenang kongres
HMI, bukan pengurus besar (PB). Cara pengambilan keputusanyapun dianggap cacat
karena tidak memenuhi kuorum. Dalam sidang MPK tersebut 19 orang melakukan walk
out.
PB HMI
malah menanggapi sikap cabang Yogyakarta ini dengan kurang arif. PB HMI tidak
bersedia melantik M. Chaeron A.R. yang secara aklamasi terpilih sebagai Ketua
Umum HMI Cabang Yogyakarta. Akhirnya pelantikan dilakukan oleh HMI Badko Jawa
Bagian Tengah yang juga bersikap menolak terhadap keputusan PB HMI. Penolakan
ini tertuang dalam sidang pleno HMI Badko Jawa bagian tengah pada tanggal 29-30
Oktober 1985 di Yogyakarta. Atas sikap ini PB HMI kemudian mamecat ketua Badko
(Yati Rachmiati) dari pengurusannya.
Protes
terhadap keputusan PB HMI ini bukan hanya berlangsung di Yogyakarta. Cabang
Jakarta, di mana Harry Azhar Azis, secara adminstratif terdaftar sebagai
anggota HMI, membuat keputusan dengan memecat Harry Azhar Azis dari keanggotaan
HMI. Secara konstitusional pemecatan ini sah, karena (dalam aturan administrasi
HMI) meskipun keduduknya sebagai Ketua Umum PB HMI, akan tetapi kartu anggota
dikeluarkan oleh pengurus cabang. Pemecatan ini menimbulkan kemarahan PB HMI,
atas nama Ketua Umum PB HMI ia kemudian membekukan HMI cabang Jakarta dari
struktur keorganisasian HMI. Sebagai gantinya PB HMI membentuk cabang-cabang
transitif yang pengurusnya dipilih oleh PB HMI.
Menjelang
diselenggarakannya kongres XVI di Padang, Summatera barat, HMI Adapun kongres
XVI pasti akan dijadikan forum untuk melegitimasi perubahan asas tersebut oleh
PB HMI. Dengan demikian takkan ada lagi alasan bagi cabang-cabang untuk menolak
perubahan asas dalam AD-ART HMI. Demi mengantisipasi hal ini, maka
cabang-cabang yang menolak keputusan PB tersebut membentuk forum yang bernama Majlis
Penyelamat Organisasi (MPO). Pada mulanya forum tesebut dibentuk untuk berdialog
dengan PB HMI dan MPK (Majelsi Pekerja Kongres) mengenai perubahan asas dalam
kongres yang derencanakan. Akan tetapi karena tanggapan PB HMI terkesan
meremehkan, maka akhirnya MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl.
Diponegoro 16, Jakarta). Dalam demonstrasi tersebut PB HMI malah menanggapinya
dengan mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO. Beberapa anggota MPO
malah ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Keadaan ini berlangsung
sampai diselenggarakanya kongres HMI XVI di Padang yang berlangsung pada
tanggal 24-31 Meret 1986.
18
Dengan
diwarnai kekacauan karena adanya dua kubu yang saling bertentangan, maka
kongres XVI di Medan menjadi tonggak sejarah bagi pecahnya HMI menjadi dua
bagian, HMI Dipo dan HMI MPO. Kehadiran MPO, yang telah berhasil mengorganisir
9 cabang-cabang terbesar di HMI, ditolak oleh panitia kongres. Kongres hanya
diikuti oleh cabang-cabang yang tidak terlibat dalam MPO dan cabang transitif.
Kehadiran cabang transitif ini mendapat tantangan keras dari peserta kongres
sehinga menimbulkan kekacauan fisik dalam ruangan sidang. Adapun 9 cabang yang
mendukung MPO adalah: HMI Cabang Jakarta, HMI Cabang Bandung, HMI Cabang
Yogyakarta, HMI Cabang Ujung Pandang, HMI Cabang Pekalongan, HMI Cabang Metro,
HMI Cabang Tanjung Karang, HMI Cabang Pinrang dan HMI Cabang Purwokerto.
Kongres
berlangsung sampai selesai dengan menetapkan Pancasila sebagai asas HMI.
Sementara MPO, yang sebenarnya mempunyai lebih banyak pendukung, pulang dari
Padang dengan menyungging kekecewaan mendalam. Dipandegani oleh HMI cabang
Yogyakarta, barisan ini kemudian juga melakukan kongres di Yogyakarta dan
memakai nama kongres HMI XVI juga.
Tentunya
kongres ini merupakan kongres ilegal dan sangat diharamkan oleh pemerintah saat
itu. Pemerintah menganggap kongres ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap
negara dan anti Pancasila. Meskipun demikian kongres tetap di selenggarakan
dengan membuat pengumuman bahwa “kongres akan diselenggarakan di
Kaliurang-Yogyakarta”. Aparatpun mengancam akan membubarkan kongres ini dan
menangkap para pesertanya. Menjelang pintu gerbang Kaliurang mobil pengangkut
peserta dibelokan ke Gunung Kidul. Kongres berhasil diselenggarakan selama tiga
hari di sebuah desa di Gunung Kidul ini. Aparat terkecoh karena mereka
melakukan pengejaran ke Kaluirang akan tetapi ternyata buronya di tempat lain.
Saat mereka tahu bahwa kongres ternyata di adakan di Gunung Kidul maka mereka
mengejar. Akan tetapi setelah sampai, kongres sudah selesai dan “HMI
Perjuangan” sudah berdiri. HMI ini kemudian disebut HMI MPO atau HMI Islam atau
HMI 1947. Disebut HMI Islam karena HMI ini yang tetap mempertahankan Islam
sebagai asasnya, dan disebut HMI 1947 karena HMI ini mengangap dirinya sebagai
‘yang benar-benar mewarisi HMI pada tahun aal berdirinya pada 1947, yaitu HMI
yang independen.
HMI hasil
kongres XVI di Padang merupakan HMI yang diakui secara sah oleh pemerintah. HMI
ini sekretaraitnya di Jl. Diponegoro 16, sehingga sering disebut HMI Dipo. Atau
bisa juga disebut HMI Pancasila karena asasnya Pancasila, atau di mass media
biasa disebut dengan menggunakan huruf “HMI” saja. Pasca reformasi, dalam
kongresnya yang ke-22 di Aceh, pada tahun 1999, HMI ini merubah kembali asas ke
Islam. Sehingga sekarang dari segi asas, sudah tidak ada bedanya antara HMI
Dipo dengan dengan HMI MPO. Namun demikian, proses penjang lebih dari 20 tahun
menjadi dua institusi yang sendiri-sendiri menjadikan struktur, perkaderan,
tradisi dan sikap politik kaduanya berbeda. Tradisi kooperatifnya dengan Golkar
dan kedekatanya dengan kebanyakan alumni (KAHMI) menjadikan HMI Dipo lebih mapan
secara finansial dan rapi dalam keorganisasian. Sementara HMI-MPO identik
dengan tradisi proletarian, komunitas eksklusif, dan tidak mapan dalam
organisasi.
19
HMI MPO
terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba Orde Baru. Ditengah situasi
kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman warga negara
serta diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai “pendekar muda”
yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah organisasi Islam
pertama yang menuntut Suharto harus turun. HMI MPO harus berjuang dibawah tanah
demi mempertahankan idealisme dan eksistensinya yang semakin lama-semakin
ditinggalkan cabang-cabang pendukungnya. Aparat selalu mengawasi
training-traning yang dilakukan oleh HMI dengan mengirimkan intelnya.
Penyelenggaraan LK I tak jarang gagal karena tiba-tiba digrebek aparat dan
pesertanya diintrogasi. Pada tahun 1987, di Yogyakarta terjadi penggrebekan terhadap
sekretariat HMI cabang Yogyakarta, di Jl. Dagen 16. Pengurus yang waktu itu
sedang berada di lokasi lari tungang-langgang mencari perlindungan bersamaan
dikokangnya senjata oleh tentara.
Sebenarnya
penggrebekan tersebut dilakukan karena cabang HMI Dipo Yogyakarta yang baru
didirikan berkeinginan untuk menempati sekretartat di jalan Dagen. Karena
terusir dari markasnya, para aktifis HMI MPO memindahkan base camp-nya di
sebuah rumah di Gang Sambu (dekat kampus Universitas Negeri Yogyakarta). Tidk
lama HMI-MPO bermarkas di Gang Sambu, atas jasa simpatisan aktivis Islam,
markas HMI-MPO Cabang Yogyakarta pindah di Karangkajen. Sampai sekarang HMI-MPO
Cabang Yogyakarta identik dengan Karangkajen, karena kontrakan sekretariatnya
selalu di sekitar wilayah Karangkajen
Pada awal
perjalananya, HMI MPO dikenal dengan sosok organisasi mahasiswa yang radikal
dan sangat kanan (untuk tidak disebut fundamentalis). Penekanan pada
nilai-nilai ke-Islaman dan kejuangan menjadi materi utama dalam
training-trainingnya. Khittah perjuangan diciptakan sebagai pedoman dalam
perkaderan untuk mengganti NIK (Nilai-nilai Identitas Kader) yang sudah dirasa
tidak menggigit lagi. Sementara banyak anggota-anggotanya adalah
mahasiswa-mahasiswa yang aktif di pengajian (halaqoh), yang saat itu
memang sedang menjamur.
Demi
mengurangi konflik dengan Negara, HMI MPO harus memilih jalan-jalan yang tidak
banyak mengekspos diri dan jauh dari jangkauan khalayak. HMI lebih banyak
bergerak dibelakang layar sambil sesekali muncul dengan menggunakan kamuflase.
Kajian-kajian epitemologis menjadi trade mark-nya, yang mana kemudian
menjadi identitas HMI MPO pada awal tahun 90-an. Kajian-kajian epistemologis
ini ditempuh karena tidak banyak membutuhkan biaya, aman dari tuduhan-tuduhan
subversif, dan merupakan jalan alternatif dalam tradisi intelektual di
Indonesia.
Alasan HMI Penolakan Asas Tunggal
Alasan
penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal dikemukakan oleh Abdullah
Hehamahua (Mantan Ketua PB HMI) dalam suratnya tertanggal 16 Mei 1985 kepada PB
HMI. Ada empat alasan yang melatar belakanginya yaitu :
1. Alasan Ideologis
Islam sebagai agama
paripurna, selain memiliki sistem aqidah yang kokoh dan bersih, sekaligus
memiliki sistem-sistem muamalah, sebagian terdiri dari garis-garis
20
besar saja-baik sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum,
militer maupun sistem keluarga. Dengan demikian sistem-sistem yang ada dalam
masyarakat tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang ada dalam
Islam.
2. Latar Belakang Historis
Bahwa perjuangan memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah
kebanyakan dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam. Justru semangat teriakan Allahu
Akbar-lah yang mampu membakar perlawanan-perlawanan di segala penjuru
Indenesia. Boleh dikata Islam-lah yang melakukan perlawanan dalam mengusir
penjajah. Oleh karena itu harus ada bagian dari bangsa ini yang selalu
melakukan pembelaan terhadap ummat Islam.
Munculnya Pancasila sebagai dasar negara
merupakan kompromi tertinggi dari ummat Islam demi kepentingan bangsanya. Pemimpin
Islam pada awal pembentukan negara menerima Pancasila, karena:
-
Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni
1948 yang menghasilkan nama Pancasila merupakan kompilasi dari pidato-pidato
tokoh Islam sebelumnya.
-
Sila-sila dalam Pancasila merupakan
penjabara dari Al-Qur’an mengenai sistem kenegaraan, jadi bukan hanya sekedar
warisan leluhur bangsa Indonensia.
-
Pancasila hanyalah sebagai konsensus
nasional, katakanlah sekedar kompromi nasional tentang atribut ketatanegaraan
sehingga tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri urusan intern kelompok
sosial-politik yang ada, apalagi sampai ke tingkat keluarga dan pribadi,
sebagaimana yang dilakukan pada penerapan UU ormas tersebut.
-
Diterimanya Pancasila sebagai dasar
Negara, karena Pancasila yang diinginkan adalah sebagaimana yang termaktub
dalam Piagam Jakarta.
3. Latar Belakang
Konstitusional
Dekrit presiden 5 Juli 1959 disahkan oleh MPRS
pada tahun 1969 dan kemudian dikukuhkan lagi pada sidang MPR tahun 1972.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Sukarno bahwa sila pertama dalam Piagam Jakarta
Yang berbunyi : …” Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”,
menjiwai pembukaan UUD ’45 yang kemudian manifes dalam pasal 29 menunjukan
bahwa secara konstitusional negara membiarkan dan melindungi pelaksanaan
syariat Islam termasuk penggunaan asas Islam dalam sebuah organisasi Islam. Hal
ini berarti menjadikan Pancasila sebagi asas tunggal bertentangan dengan
Pancasila itu sendiri.
4. Alasan Latar Belakang Operasional
Proses peneriman asas tungal yang dilakukan oleh
PB HMI jelas melalui keputusan yang dilakukan oleh beberapa gelintir orang
saja. Adanya tindakan-tindakan intimidasi, teror dan juga pembelian dengan uang
menjadikan proses penggunaan asas tunggal oleh HMI tersebut telah menyalahi
aturan.
21
Kita ketahui bahwa proses penerimaan itu tidak
masuk akal dan cacat dalam hal mekanisme pemunculanya. Sebab sidang MPK
(Majelis Pekerja Kongres) PB HMI dan pleno PB HMI kedudukanya lebih rendah dari
pada kongres HMI. Kongres HMI XV di Medan yang merekomendasikan untuk
mempertahankan asas Islam telah dikhianati oleh PB HMI sendiri, dengan
mengubahnya di tengah jalan tanpa melalui mekanisme yang sah. Adapun kemudian
asas itu disahkan dalam kongres XVI di Padang, akan tetapi mekanisme
penyelenggaraan kongres Padang tersebut juga mengalami kecacatan. Mayoritas
cabang yang hadir waktu itu masih menghendaki HMI memepertahankan Islam sebagai
asas. Akan tetapi apa boleh buat, tekanan dari penguasa dan diskrimatifnya
peserta kongres menjadikan keputusanya lain.
VI. HMI Tahun 90-an: “Reformasi Menumbangkan Suharto”
Tahun 90-an
bisa dikatakan merupakan tahun kemesraan antara kekuatan Islam dengan Orde
Baru. Berdirinya ICMI oleh sebagian besar kalangan dianggap sebagai angin segar
atas akomodasi Suharto terhadap Islam yang selama ini lebih banyak
disingkirkanya. Kegiatan dakwah Islam dalam kantor-kantor birokrasi pemerintah
mulai marak. Berbondong-bongong pada tiap kantor pemerintah didirikan
pengajian-pengajian dan majelis ta’lim. Perusahaan yang mendirikan pabrik di suatu
lokasi diwajibkan mendirikan musholla untuk karyawanya. Masjid dibangun
dimana-mana dengan bantuan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, milik Suharto.
Akan tetapi
keadaan ini bukan berarti Orde Baru telah berubah menjadi baik. Akomodasi
penguasa terhadap kelompok Islam hanyalah salah satu cara untuk menutupi
borok-borok penguasa dan memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk.
Kelompok-kelompok Islam yang independen dan kritis masih menjadi momok bagi
penguasa. Demikian juga bagi HMI MPO, kebebasan merupakan hal yang paling mahal
dan HMI MPO tetap sebagai organisasi bawah tanah harus memakai taktik
kucing-kucingan dengan aparat untuk berthan.
Perjuangan HMI
MPO untuk mempertahankan eksistensinya dilakukan dengan cara membentuk
lembaga-lembaga kantong yang akan menjadi wadah-wadah bagi suara HMI MPO. Hal
ini dilakukan karena tidak mungkin HMI MPO melakukan kritik secara langsung.
Dibentuklah beberapa lembaga kantong aksi seperti: LMMY (Liga Mahasiswa Muslim
Yogyakarta), FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta), SEMMIKA dan
sebagainya. Jika kita perhatikan strategi ini mirip dengan apa yang dilakukan
HMI pada tahun 60-an dengan membentuk KAMI sebagai mantelnya. Lembaga-lembaga
ini melakukan mobilisasi massa dengan melakukan parlemen jalanan (demonstrasi)
yang tak jarang bentrok dengan aparat.
Selain itu
HMI MPO berusaha menguasai lembaga-lembaga intra kampus sebagai wadah
perkaderan dan perjuangan. Lemahnya sumber daya finansial tidak menghentikan
kreatifitas kader-kader HMI untuk berkativitas. Salah satunya ialah dengan
memanfaatkan lembaga intra kampus. Lembaga intra kampus merupakan
22
sarana perkaderan
yang cukup efektif untuk membentuk jiwa-jiwa kepemimpian kader. Selain itu
netralitas lembaga intra kampus menjadikan lembaga ini mudah untuk melakukan
mobilisasi massa. Hal ini sangan mendukung dalam aksi-aksi HMI. Contoh kongkrit
dari pemanfaatan lembaga intra kampus ini adalah pada saat memontum turunnya
Suharto pada tanggal 20 Mei 1998.
Suharto
yang sudah berkuasa selama 30 tahun harus tumbang ditangan aksi-aksi massa yang
dilakukan oleh mahasiswa. Krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997 ternyata
berimbas pada terkuaknya semua borok yang dimiliki oleh rezim Orde Baru.
Megahnya pembangunan yang selama ini sangat diagung-agungkan ternyata keropos,
karena di bangun atas pondasi hutang luar negeri yang sangat besar. Ketika
fluktuasi nilai tukar rupiha terhadap dollar tidak bisa ditolerir lagi,
tiba-tiba jumlah hutang melambung tinggi dan Indonesia harus menangis. Yang
terhormat Suharto, terpaksa harus merunduk di depan lipatan tangan Hubert Neiss
(wakil IMF-International Monetary Fund), waktu menandatangani kesepakatan
hutang baru terhadap IMF. Para kapital-imperialis Amerika tertawa karena telah
berhasil membuat Indonesia makin tergantung. Indonesia belum merdeka, Bung !
Mahasiswa
bergerak, aksi demonstrasi menuntut diturunkannya Suharto menjalar mulai dari
kmpus-kampus besar sampai ke kampus-kampus kecil. Tak jarang korban berjatuhan
di mana-mana. Kasus terbunuhnya beberapa mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998,
tertembaknya Moses Gatot Kaca di Yogyakarta, dan tindakan-tindakan anarkis
aparat terhadap mahasiswa semakin membuka kesadaran masyarkat luas untuk turut
dala aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa. Arus tak terbendung lagi Ketika pada
tanggal 20 Mei 1998, lebih dari satu juta massa melakukan aksi di silang monas
dengan tuntutan “Suharto harus turun”. Demikian juga di alun-alun utara
Yogyakarta, setengah juta massa berjubel sampai jalan Malioboro dengan tuntutan
yang sama. Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 jam 09.15 WIB.
Aksi juga dilakukan di Makasar, purwokerto, Bandung, Malang dan kota-kota lain.
Harus
diakui bahwa fenomena munculnya aksi-aksi massa menjelang reformasi banyak
dipeplopori oleh kader-kader HMI MPO. Beberapa kader yang kebetulan menjadi
fungsionaris lembaga intra kampus turut mengusung isu-isu penurunan Suharto ke
dalam kerja-kerja lembaganya. Aksi setengah juta massa di Yogyakarta di
pelopori oleh Keluarga Mahasiswa (KM UGM), dimana yang menjadi think-tank-nya
adalah kader-kader HMI MPO. Sebelum aksi itu, KM UGM mengadakan polling yang
menghasilkan rekomendasi bahwa lebih dari 80% responden menolak kepemimpinan
Suharto. Hasil polling ini mempengaruhi opini nasional, terutama di kalangan
para aktifis pergerakan.
Di Jakarta
juga demikian, meskipun banyak ditentang oleh elemen-elemen Islam lainya, HMI
MPO bersama FKMIJ-nya tercatat sebagai salah satu elemen mahasiswa yang sejak
awal melakukan aksi untuk menolak Suharto. Bahkan setelah Suharto turun dan
diganti oleh Habibie, HMI MPO tetap melakukan aksi-aksi penolakannya di gedung
DPR/MPR bersama elemen-elemen kiri. HMI-MPO adalah satu-satunya elemen Islam
yang menolak BJ Habibie naik menjadi presiden. HMI MPO sempat dicap “bukan
Islam” (atau biasa disebut dengan istila “bukan orang kita”) oleh
kelompok-kelompok aksi
23
pembela Habibie,
yang kebanyakan berasal dari kelompok-kelompok Islam. Oleh kelompok-kelompok
politik Islam Habibie dianggap mewakili kepentingan Islam karena ia pelopor
ICMI dan dekat dengan kalangan Islam.
Begitulah
ketagasan sikap independen HMI yang tidak mau tuntuk kepada siapapun, kecuali
kepada kebenaran dan keadilan. HMI selalu siap bekerja sama dengan siapapun
asalkan untuk meneriakan kebenaran dan keadilan. HMI Akan selalu kritis dengan
siapapun tanpa pandang bulu, termasuk dengan saudaranya sendiri. Sikap HMI yang
tidak mau didikte alumni (KAHMI), berlaku jujur pada siapapun, selalu berdiri
diluar negara merupakan bukti indepndensi HMI MPO.
Berbicara
mengenai sejarah HMI, pada dasarnya juga membicarakan sejarah bangsa Indonesia.
HMI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika bangsa yang sangat kita
cintai ini. Usia HMI yang sebanding dengan umur NKRI ini bukanlah usia yang
singkat. Dalam usianya yang lebih dari setengah abad, HMI telah menempuh
asam-garamnya sejarah dan akan selalu setia mengukir sejarah itu lagi dimasa
depan. Tentu dengan kisah-kisah perjuangan atas kebenaran dan keadilan yang
lebih heroik. Siapa lagi kalau bukan generasi penerusnya !.
Pecahnya
HMI menjadi HMI MPO dan HMI DIPO adalah bagian dari dinamika sejarah yang tidak
harus disesali. Manusia hanya bisa melakukan penilaian sehingga dapat mengambil
pelajaran darinya. Bagi kader-kader baru, yang dibutuhkan bukanlah romantisme
sejarah masa lalu, akan tetapi warisan semangat perjuangan dan indepenndensi
untuk berbuat yang terbaik bagi kemanusiaan. Wamaa arsalnaaka illa rahmatan
lil aalamin !.
Penulis: M. Chozin Amirullah, Ketua Umum
PB HMI 2009-2011,
Email: mchozin@pbhmi.net
2
Al-Mandari,
S. 1999. HMI dan Wacana Revolusi Sosial. Pusat Studi Paradigma Ilmu
(PSPI). Ujung Pandang
Aidit, D.
N., dkk. 2001. PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun 1948).
Era Publisher. Jakarta
Barton, G. 1999. Gagasan
Islam Liberal di Indonesia. Paramadina. Jakarta. Dahlan, M. M. 1999. Sosialisme
Religius. Penerbit Kreasi Wacana. Yogyakarta Grant, T. dan Woods, A. 2001. Melawan
Imperialisme. Penerbit Sumbu. Jakarta
Halim, Z. 1990. HMI, Nasakom dan Pasca Gestapu.
Makalah dalam buku putih “Dinamika Sejarah HMI”. HMI Badko Jawa Bagian Tengah.
Yogyakarta
Hehamahua, A. 1985. HMI Membunuh Diri Sendiri.
Surat Abdullah Hehamahua pada PB HMI. Jakarta
Pratiknya, A. W. Pesan Perjuangan Seorang
Bapak. Penerbit Dewan dakwah Islamiyah Indonesia dan Lembaga Laboratorium.
Jakarta
Ranuwiharjo, D. 1996. Catatan : Dahlan
Ranuwiharjo, S.H. pada dies natalis HMI ke-43. Diterbitkan oleh PB HMI.
Jakarta.
Roem, M. 1972. Bunga Rampai dari
Sedjarah. Penerbit Bulan Bintang. Djakarta.
Sitompul, A. 1976. Sejarah Perjuangan Himpunan
Mahasiswa Islam tahun 1947-1975. Penerbit Bina Ilmu Offset. Surabaya.
Suharsono. 1998. HMI MPO dan Rekonstruksi
Pemikiran Masa Depan. CIIS Press. Yogyakarta
Sundhaussen, U. 1986. Polilti Militer
Indonesia 1945-1967. LP3ES. Jakarta
Tanja, V. 1978. HMI, Sejarah dan Kedudukanya
di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia. Penerbit ‘sh’. Jakarta
Tuhuleley, S. 1990. HMI di Mata Seorang
Praktisi (Mahasiswa) 77-78: Sebuah Upaya Permakluman. Makalah dalam
buku putih: “Dinamika Sejarah HMI”. HMI Badko Jawa Bagian Tengah. Yogyakarta
25