Senin, 19 Maret 2012

Tafsir Mahmud Yunus



PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Mahmud Yunus merupakan salah seorang Mufassir Indonesia yang mampu menafsirkan al-Qur’an 30 Juz lengkap. Ia tumbuh pada saat penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia merupakan hal yang diharamkan pada Ulama’ semasanya. Tindakannya yang progresif ini terbukti menyadarkan kita bahwa Tafsir bukanlah karya yang mustahil jika umat Islam benar-benar mengkaji keilmuan dan persyaratan penafsiran. Islam menjadi semakin difahami dengan adanya Tafsir-tafsir bahasa Indonesia yang bermunculan di abad 20-an. Karnanya agama merupakan salah satu upaya agar mampu meningkatkan moralitas ummat yang kini menurun. Lahirnya Tafsir masakini juga tidak luput dari upaya ulama masa lalu yang turut mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an meskipun masih tergolong penafsiran yang gobal. Namun sejarah membuktikan bahwa eksistensi dari progresifitas ummat yang berkembang dan maju harus sebenarnya telah ddimulai dari sejarah. Karenanya tiap decade dan periode hendaknya menciptakan sejarahnya sendiri khususnya Umat Islam dalam bidang terpenting yakni penafsiran al-Qur’an.

  1. Rumusan Masalah
a.         Biografi dan karya-karya Mahmud Yunus
b.        Sekilas tentang kitab Tafsir al-Qur’an al-Karim , metode, corak, sistematika, dan contoh penafsirannya.

 
PEMBAHASAN

A.    Biografi Prof. DR. H. Mahmud Yunus
1.      Profil Mahmud Yunus
Mahmud Yunus dilahirkan dari pasangan Yunus B. incek dan hafsah binti Imam Sami’un, Mahmud Yunus lahir pada tanggal 10 februari 1899 M/30 Ramadhan 1316 H, di desa Sunggayang, Batusangkar, Sumatra Barat. Ayahnya adalah  seorang imam, sedangkan ibunya adalah anak dari Engku Gadang M.Thahir bin Ali. Ketika usianya masih balita, ayah ibunya Mahmud Yunus bercerai, ia ikut ibunya, dan hanya sekali ayahnya menjenguknya.[1] Mahmud Yunus tumbuh dikalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Yunus bin Incek, seorang pengajar di Surau dan Ibunya  Hafsah binti Imam Samiun adalah  anak Engku Gadang M. Tahir bin Ali, pendiri serta pengasuh surau si wilayah tersebut.[2] Meski ada yang mengatakan bahwa ayah dan Ibu Mahmud Yunus bercerai sejak balita, namun Yunus tetap antusias dalam belajar baik agama maupun umum. Yunus memulai pendidikannya dengan belajar Alquran dan bahasa Arab, yang langsung ia peroleh dari kakeknya.
Di samping mendapat pendidikan agama, Yunus juga pernah bersekolah di pendidikan sekuler, yakni di Sekolah Desa pada tahun 1908. Tahun pertama Sekolah Desa ia selesaikan hanya dalam masa 4 (empat) bulan, karena ia memperoleh penghargaan untuk dinaikkan ke kelas berikutnya. Pendidikan di Sekolah Desa hanya dijalaninya selama kurang dari tiga tahun. Sebab, pada waktu belajar di kelas empat, Yunus menunjukkan ketidakpuasannya terhadap mata pelajaran di sekolah tersebut. Karena merasa masih haus pengetahuan, Yunus lantas pindah belajar di madrasah milik H. M Thaib Umar di Tanjung Pauh Sunggayang. Madrasah ini bernama Madras School. Di sekolah ini, ia mempelajari ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, Berhitung dan Bahasa Arab. Siang hari ia belajar disana dan malam harinya mengajar di Surau kakeknya.[3]
Di tangan Thaib Umar ini Yunus dapat mempelajari pelbagai disiplin keilmuan Islam. Selain ilmu-ilmu keagamaan yang ia dapatkan, Ia juga mewarisi semangat pembaharuan sang guru. Pada tahun 1917, Syekh H.M. Thaib Umar sakit. Karena itu, Yunus secara langsung ditugasi untuk menggantikan gurunya memimpin Madras School. Saat bersamaan, dalam rentang waktu 1917-1923, di Minangkabau tengah tumbuh gerakan pembaruan Islam yang dibawa oleh para alumni Timur Tengah. Umumnya, pembaruan Islam ini terwujud dalam dua bentuk, yakni purifikasi dan modernisasi. Para alumni Timur Tengah lebih condong dalam gerakan purifikasi, yaitu gerakan yang bertujuan untuk mengembalikan Islam ke zaman awal Islam dan menyingkirkan segala tambahan yang datang dari zaman setelahnya.[4]
Tak heran hanya dalam waktu empat tahun ia telah dipercaya oleh sang Guru untuk menggantikannya mengajar bahkan mewakilinya dalam forum akbar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang Panjang. Lalu pada tahun 1920 Yunus membentuk perkumpulan pelajar Islam yang juga menerbitkan majalah al-Basyir, dan Yunus sebagai pemimpi redaksinya. Pada tahun 1924, Yunus mendapat kesempatan untuk belajar di al-azhar, Kairo-Mesir. Dalam tempo setahun ia mampu mempelajari ushul fiqh, fiqh hanafi dan tafsir. Karena kebriliannya ini ia mendapatkan Syahadah ‘alimiyah dari al-Azhar , dan menjadi orang kedua yang menyabet predikat tersebut.[5] kemudian pada tahun 1926-1930 belajar di madrasah darul ulum ulya, beliau adalah orang Indonesia yang pertama belajar disini. Beliau mengambil takhasshus tadris sampai memperoleh ijazah tadris (diploma guru).[6]
Kemampuan mengajar yang ia miliki sejak masih belajar di Batusangkar memantabkan karier ke-guru-annya terutama setelah ia kembali dari Mesir. Secara terus menerus Mahmud Yunus mengajar dan memimpin berbagai sekolah, yakni pada al-Jami’ah al-Islamiyah Batusangkar (1931-1932), Kuliyah Mu’alimin Islamiyah Noramal Islam Padang (1932-1946), Akademi Pramong Praja di Bukit Tinggi (1948-1949), Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta (1957-1980), menjadi Dekan dan Guru Besar pada fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1960-1963), Rektor IAIN Imam Bonjol Padang (1966-1071). Atas jasa-jasanya dibidang pendidikan ini, pada 15 Oktober 1977, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menganugerahi Mahmud Yunus Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Tarbiyah.[7]
Selain itu Yunus juga sering berkunjung ke luar negri, baik sebagai tugas yang diberikan pemerintah kepada beliauu maupun atas undangan untuk menghadiri berbagai muktamar. Prof. DR. H. Mahmud Yunus juga banyak menulis buku, terutama buku pelajaran agama islam untuk anak-anak, termasuk pula tafsir dan terjemahan al-qur’an.[8] Pada awal tahun 1970 kesehatan Mahmud Yunus menurun dan bolak balik masuk rumah sakit. Sepanjang hidupnya, Mahmud menulis tak kurang dari 43 buku. Pada tahun 1982, Mahmud Yunus meninggal dunia.

2. Karya-karya Mahmud Yunus
Pada perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan buku sebanyak 82 buah meskipn sebagian menyebutkan karyanya hanya berkisar 43 buku. Dari jumlah itu, Yunus membahas berbagai bidang ilmu, yang sebagian besar adalah bidang-bidang ilmu agama Islam, seperti bidang Fiqh, bahasa Arab, Tafsir, Pendidikan Islam, Akhlak, Tauhid, Ushul Fiqh, Sejarah dan lain-lain.
Di antara bidang-bidang ilmu yang disebutkan, Yunus lebih banyak memberi perhatian pada bidang pendidikan Islam, bahasa Arab (keduanya lebih banyak memfokus pada segi metodik), bidang Fiqh, Tafsir dan Akhlak yang lebih memfokus pada materi sajian. Sesuai dengan kemampuan bahasa yang ia miliki, buku-bukunya tidak hanya ditulis dalam bahasa Indonesia, akan tetapi juga dalam bahasa Arab. Ia memulai mengarang sejak tahun 1920, dalam usia 21 tahun. Karirnya sebagai pengarang tetap ditekuninya pada masa-masa selanjutnya. Yunus senantiasa mengisi waktu-waktunya untuk menulis, dalam situasi apapun.[9]
Adapun diantara karya-karya Mahmud Yunus ialah:[10]
1.      Tafsir al-Quran tamat 30 juz, tahun 1938.
2.      Hukum Warisan dalam Islam. untuk tingkat Aliyah.
3.      Perbandingan Agama, untuk tingkat Aliyah.
4.      Hukum perkawinan dalam Islam, 4 Madzhab.
5.      Ilmu Mustalahul Hadist, bersama H. Mahmud Aziz.
6.      Kesimpulan isi al-Quran, untuk Muballigh-Muballigh / umum.
7.      Allah dan Makhluq-Nya, Ilmu Tauhid menurut Al-Quran.
8.      Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
9.      Pendidikan-Pendidikan Umum di Negara-negara Islam/Pendidikan Barat.
10.  Ilmu Jiwa kanak-kanak, kuliyah untuk kursus-kursus.
11.  Pedoman Dakwah Islamiyah, kuliyah untuk dakwah.
12.  Dasar-dasar Negara Islam.
13.  Juz Amma dan terjemahnya.

B.     Sekilas Tentang Tafsir al-Qur’an al-Karim
Secara singkat, aktivitas seputar Al Quran di Indonesia dirintis oleh Abdur Rauf Singkel, yang menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Melayu, pada pertengahan abad XVII. Upaya rintisan ini kemudian diikuti oleh Munawar Chalil (Tafsir Al Quran Hidayatur rahman), A.Hassan Bandung (Al-Furqan, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Quran Indonesia, 1935).[11] Dalam konsep Howard M. Federspiel, ia membagi  kemunculan dan perkembangan Tafsir di Indonesia dalam 3 periode. Yakni periode pertama mulai abad ke-20 ditandai dengan penafsiran  terpisah-pisah, periode kedua (1960) dengan  ditandai dengan catatan kaki kemudian periode ketiga (1970) ditandai dengan penjelasan yang lebih luas dari periode kedua.[12] Karya Mahmud Yunus tetap menjadi literature yang paling popular di bandingkan karya Tafsir semasanya meskipun kemudian lahirlah karya-karya Tafsir yang lebih ilmiah.[13]
Sedangkan Baidan mengelompokkan , setidaknya ada enam buah karya Tafsir yang muncul pada masa Mahmud Yunus yang berturut-turut hingga menjelang kemerdekaan Indonesia menurut Nashruddin Baidan:
a.       A.Hassan Bandung (Al-Furqan, 1928)
b.      Al-Qur’an Indonesia oleh Syarikat Kweek School Muhammadiyah (1932)
c.       Tafsir Hibarna oleh Iskandar Idris (1934)
d.      Tafsir asy-Syamsiyah oleh KH. Sanusi (1935)
e.       Tafsir Al-Qur’annul karim oleh Mahmud Yunus (1938)
f.       Tafsir Qur’an Bahasa Indonesia oleh Mahmud Aziz (1942)
Jika keenam kitab tersebut diamati secara seksama maka secara umum penafsiran mereka belum terlau signifikan perkembangannya. Namun bagaimanapun karya para Ulama tersebut sangat berarti karena merupakan upaya konkrit dan sistematis dalam usaha untuk memahami al-Qur’an.[14] Manfaat tersebut juga dapat dirasakan pada generasi-generasi setelahnya. Bila diteliti lebih lanjut lagi, dalam penafsiran yang mereka berikan secara umum masih dipengaruhi oleh budaya dan tradisi Arab sehingga budaya dan bahasa Indonesia belum terlihat secara ekplisit.[15]
Selanjutnya, Mahmud Yunus mulai menterjamahkan al-Qur’an dan diterbitkan tiga juz dengan huruf arab-melayu pada tahun 1922. Meskipun saaat itu para ulama mengharamkan penterjemahan al-Qur’an tetapi ia tetap berusaha untuk menterjemahkan al-Qur’an.[16] Pada bulan ramadhan tahun 1354 H/Desember 1935, Mahmud mulai menterjemahkan al-Qur’an serta tafsir ayat-ayat yang di anggap penting, yang kemudian dinamai dengan tafsir al-Qur’an al-Karim. Pada waktu menterjemahkan juz 7 sampai juz 18 beliau dibantu oleh almarhum H. M. K. Bakry, pada bulan april 1938 beliau menyelesaikan tiga puluh juz dan di sebar luaskan keseluruh Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1950 dengan persetujuan menteri agama almarhum Wahid Hasyim, salah satu penerbit Indonesia hendak menerbitkan tafsir al-Qur’an al-Karim itu dengan mendapat fasilitas kertas dari menteri agama dan dicetak sebanyak 200.000 eksemplar.
Kabarnya ada bantahan dari ulama Yagyakarta, supaya diberhentikan mencetak tafsir al-Qur’an itu, bantahan itu dikirimnya kepada menteri agama  R.I. hingga membuat percetakan tidak lagi mau menerbitkan Tafsir al-Qur’anul Karim. Akhirnya di ambil alih oleh M.Baharta direktur percetahan Ma’arif Bandung, lalu dicetak dan diterbitkan sebanyak 200.000 eksemplar dan dijualnya dengan harga Rp. 21.00 per eksemplar.
Pada tahun 1953 M seorang ulama dari Jatinegara membantah pula, bantahan itu dikirimnya pada Presiden R.I. dan menteri Agama. Salinannya disampaikan kepada beliau (Mahmud Yunus) oleh kementerian agama, kemudian beliau membalas suratnya dengan panjang lebar dan mengukuhkan pendiriannya untuk tetap menerbitan Terjemah alQur’an yang merupakan Tafsir Bahasa Indonesia pertama tersebut. Tembusannya beliau kirimkan kepada Presiden R.I. dan menteri agama, akhirnya tidak ada yang mengganggu gugat lagi.
Kemudian setelah menyelesaikan percetakan itu, beliau bersama istrinya (Darisah binti Ibrahim) meneruskan usahanya dalam menerbitkan tafsir al-Qur’an al-Karim itu. Terjadi beberapa kali revisi, diantaranya ialah merevisi dari penulisan arab melayu menjadi bahasa Indonesia dengan penulisan latin sebelum kemudian tafsir al-Qur’an al-Karim diterbitkan oleh CV. Al-Hidayah.

1.      Motivasi penulisan Tafsir
Sejak kecil Mahmud Yunus telah mempelajarari berbagai displin keagaman Islam terutama bahasa Arab. Ia telah mencintai ilmu-ilmu kebahasaan dan juga menguasai metode mengajar.  Minatnya terhadap studi al-Quran serta bahasa arab telah menimbulkan hasrat besar dalam diri Mahmud Yunus untuk menulis tafsir al-Quran yang kemudian menjadi karya monumentalnya sendiri yang tetap populer sampai saat ini. Selain itu kebutuhan untuk mengajar dan menjadikan al-Qur’an aar lebih mudah dipahami oleh umat Islam di Nusantara.
Penulisan tafsir ini dimulai pada November 1922 yang dilakukan secara berangsur-angsur juz demi juz sampai dengan selesai juz ke-tiga puluh. Perlu di garis bawahi disini bahwa upaya penulisan Mahmud Yunus ketika itu, merupakan tindakan yang cukup berani disaat masih maraknya pandangan yang mengatakan bahwa haram menterjemahkan al-Quran.

2.      Sistematika Penulisan Tafsir
Kitab ini terdiri dari dua jilid yaitu pertama satu jilid tamat dari juz 1 sampai dengan 30, kedua , tiga jilid, pertama dari juz 1 sampai dengan juz 10, jilid kedua dari juz 11 sampai dengan 20, jilid ketiga dari juz 21 sampai dengan 30. Tafsir al-Quran ini sistematika penafsirannya sama seperti isi al-Quran dan terjamahan disamping kanan ayat (setiap ayat) kemudian terjemahannya dibawahnya terdapat penafsiran. Sistematika penafsiran Mahmud Yunus menafsirkan seluruh ayat sesuai susunannya dalam mushaf al-Quran ayat demi ayat, surat demi surat, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Naas. Maka secara sitematika penafsiran tafsir ini menempuh tartib Mushaf.[17]

3.      Sumber-sumber tafsir al-Qur’an al-Karim:
1.        Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
2.        Tafsir al-Qur’an dengan hadis yang shahih
3.        Tafsir al-Qur’an dengan perkataan sahabat
4.        Tafsir al-Qur’an dengan perkataan tabi’in
5.        Tafsir al-Qur’an dengan ilmu bahasa ‘arab bagi ahli ilmu lughah ‘arabiyyah
6.        Tafsir al-Qur’an dengan ijtihad bagi ahli ijtihad.
Jadi, sumber utama penafsiran Mahmud Yunus masih tergolong bil-ma’tsur.

4.      Referensi penafsiran dari pelpagai kitab-kitab tafsir, diantaranya adalah:
1)        Tafsir al-Thabary
2)        Tafsir Ibn Katsir
3)        Tafsir al-Qasimy
4)        Fajrul Islam
5)        Dhuhal Islam[18]

5.      Metode dan corak Penafsiran al-Qur’an al-Karim
Tafsir al-Quran Karim Mahmud Yunus ini menunjuk pada metode tahlili, suatu metode tafsir yagn bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dan seluruh aspeknya. Dalam tafsir Mahmud Yunus, aspek kosa kata dan penjelasan arti global tidak selalu dijelaskan. Kedua aspek tersebut dijelaskan ketika dianggap perlu.[19] Dalam pandangan Nashruddin Baidan, Tafsir Mahmud Yunus ialah ‘umum’ sebagaimana Tafsir yang tumbuh semasanya. Artinya belum ada suatu ke-khas-an yang khusus dalam Tafsirnya.

6.      Kelebihan sistematika penulisan Tafsir al-Qur’an al-Karim
1)        Terjemahan al-Qur’an disusun baru, sesuai dengan perkembangan bahasa Indonesia
2)        Teks al-Qur’an dan terjemahan disusun sejajar, sehingga memudahkan pembaca untuk mencari terjemah.
3)        Keterangan-keterangan atau penafsirannya diletakkan dihalaman ayat yang bersangkutan (footnote)
4)        Keterangan-keterangan ayat ditambah dan diperluas, Mahmud Yunus juga menambahkan keterangan dan mengaitkannya dengan isu-isu kontemporer saat itu.[20] [21]

7.      Contoh Penafsiran
Contoh Tafsir Mahmud Yunus dalam surat An-Nisa’ ayat 9:
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy 
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Keterangan ayat 9: “ dalam ayat ini Allah menganjurkan kepada orang tua agar memikirkan akibat anak-anaknya yang masih lemah (kecil), bila ia meninggal dunia. Sebab itu hendaklah ia bertakwa dan berusaha meninggalkan harta pusaka untuk mereka. Janganlah mewasiatkan hartanya untuk fakir miskin dan amalan sosial lebih dari mestinya, supaya tidak terlantar kehidupan anak-anaknya yang masih kecil itu.
Menurut islam, berwasiat itu hukumnya sunnah, sedang mendidik anak-anak hukumnya wajib. Yang wajib harus didahulukan daripada yang sunnah. Demikian hukum islam

8.      Lampiran contoh Kitab Tafsir.
Berikut ini penulis melampirkan contoh Kitan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus. Lampiran itu juga menunjukkan sistematika, karakteristik Tafsir, corak umum dan metode Tahily dan juga sumber penafsiran Bil Ra’yi karna upaya penerjemahan tersebut juga merupakan suatu ijtihad berdasarkan Ra’yu.


PENUTUP
Kesimpulan

1.      Mahmud Yunus merupakan salah satu mufassir dan penulis produktif yang menulis sejak usia 21 tahun dan mengajar sejak dini. Minat dalam dunia pendidikan ini tidak hanya mengantarkannya ke berbagai daerah dan belahan dunia namun juga mempengaruhi sistem pendidikan agama Islam dimasanya hingga sekarang. Beliau adalah alah satu tokoh yang berpengaruh di Indonesia karena produktivitas tulisannya dan juga progresfitas pemikirannya.
2.      Tafsir al-Qur’an al-karim merupakan penafsiran dengan corak umum dan global. Metode yang digunakannya juga tergolong tahlily. Penafsirannya masih sebatas penjelasan Al-Qur’an secara global dan belum sampai pada taraf yang khas dan khusus.

 
DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nashruddin Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003
Federspiel, Howard M. Kajian al-Qur’an di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, 1994
Ghofur, Saiful Amin, Profil Para Mufassir, Yogyajarta: Pustaka Insan Madani, 2008
Gusmian, Islah,  Khazanah Tafsir di Indonesia, Bandung: penerbit Teraju, 2003 2003
Mohammad, Herry dkk. Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006
Yunus, Mahmud. Tafsir al-Qur’an al-Karim, Jakarta: PT.Hidakarya Agung,1969



[1] Herry Mohammad, dkk. Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006). Hal. 85-86
[2] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir, (Yogyajarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hal: 197
[5] Saiful Amin … hal: 198
[6] Herry Mohammad, dkkHal. 85-86
[8] Mahmud Yunus. Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: PT.Hidakarya Agung,1969). Lihat kulit depan tafsir beliau.
[9] Saiful Amin … hal: 200
[12] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia, (Bandung: penerbit Teraju, 2003), hal: 65
[13] Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 1994), hal: 130
[14] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003) hal: 88
[15] Nashruddin Baidan … hal: 89
[16]Mahmud Yunus. Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: PT.Hidakarya Agung,1969), hal. III Pendahuluan
[18] Mahmud Yunus. Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: PT.Hidakarya Agung,1969). Hal. VI pendahuluan
[20] Seperti halnya dengan isu hukum ber-Jilbab di Indonesia. (Lihat di ayat-ayat Aurat dalam Tafsir al-Qur’anul Karim)
[21] Mahmud Yunus. Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: PT.Hidakarya Agung,1969), hal. VI-V Pendahuluan

Aurat Perempuan


PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Pada era globalisasi ini, budaya saling mempengaruhi karena perkembangan teknologi dan informasi berjalan begitu cepat. Norma-norma agama yang telah dijadikan ajaran, panduan dan pedoman sekian lama pun bias terkikis karena perubahan zaman, jika tidak diimbangi aqidah serta esesnsi keberagamaan yang kuat. Dalam kasus seperti sensasionalitas yang di perdagangkan diberbagai media massa, perempuan merupakan objek utama dalam bisnis ini. Misalnya, dunia periklanan, perfilman, music dan lain sebagainya.
Hal seperti inilah yang kemudian mengaburkan ajaran agama. Trend dan mode pakaian dijadikan tolak ukur tidak lagi ajaran agama. Perbincangan aurat pun terutama aurat perempuan dikalangan umat islam secara umum bukanlah yang hal yang penting.
Hanya sedikit umat islam yang konsisten melakukan kajian tentang aurat dan perempuan dan lebih sedikit lagi yang mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya penulis mencoba memaparkan hadits tentang aurat terutama aurat perempuan dengan rumusan masalah sebagai berikut:

B.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian aurat?
2.      Bagaimana pengertian aurat perempuan dan batasannya?
3.      Apa ancaman bagi perempuan yang memperlihatkan auratnya?




PEMBAHASAN
Aurat Perempuan
A.     Pengertian Aurat

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ عَنْ الضَّحَّاكِ بْنِ عُثْمَانَ قَالَ أَخْبَرَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ و حَدَّثَنِيهِ هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ عُثْمَانَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَا مَكَانَ عَوْرَةِ عُرْيَةِ الرَّجُلِ وَعُرْيَةِ الْمَرْأَةِ[1]

Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Zaid bin al-Hubab] dari [adh-Dhahhak bin Utsman] dia berkata, telah mengabarkan kepadaku [Zaid bin Aslam] dari [Abdurrahman bin Abi Sa'id al-Khudri] dari [bapaknya] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah (boleh) seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan perempuan melihat aurat perempuan, dan tidaklah (boleh) seorang laki-laki bersatu dengan laki-laki lain dalam satu baju. Dan tidaklah (boleh) seorang wanita bersatu dengan wanita lain dalam satu baju." Dan telah menceritakannya kepadaku tentangnya [Harun bin Abdullah] dan [Muhammad bin Rafi'] keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abi Fudhaik] telah mengabarkan kepada kami [adh-Dhahhak bin Utsman] dengan isnad ini dan keduanya berkata dengan menggantikan kata "aurat" dengan "telanjang" seorang laki-laki dan perempuan.[2]


Dari Hadits diatas yang ialah merupakan sebagian dari hadits Nabi yang menyatakan tentang aurat perempuan maupun laki-laki. Hadits ini a terdapat banyak riwayat dari kitab hadits. Dapat disimpulkan dari hadits diatas bahwasanya  tubuh merupakan aurat yang seharusnya ditutupi dengan ketentuan dan batasan tertentu.
Aurat secara bahasa arab berarti al-‘aib as-sau’ah yang berarti cacat atau keji/jelek. Aurat dalam bahasa Urdu berarti "wanita", bagaimanapun dalam bahasa Urdu dan beberapa yang berbahasa Hindi di India mengartikannya sebagai wanita, tetapi sebenarnya kalimat aurat dalam bahasa Hindi adalah naari. Bahasa Hindi telah mengambil banyak kalimat dari bahasa Persia/Arab dan Sanskrit.[3]
Secara Istilah aurat ialah bagian tubuh yang dilarang tampak.[4] Aurat sendiri diartikan dengan berbagai definisi, namun pada umumya definisi aurat menurut para Ulama’ ialah segala sesuatu yang dirasa malu jika ia membukanya. Itu merupakan esensi dari aurat.[5] Pengertian aurat sendiri sudah dimaklumi pada zaman nabi, sehingga tidak ditemukan penjelasan yang mendetail mengenainya.[6]

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى نَحْوَهُ عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا قَالَ اللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنْ النَّاسِ[7]
Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Maslamah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Bapakku]. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Basysyar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yahya] sebagaimana dalam riwayatnya, dari [Bahz bin Hakim] dari [Bapaknya] dari [Kakeknya] ia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, tentang aurat kami, siapakah yang boleh kami perlihatkan dan siapa yang tidak boleh?" beliau menjawab: "Jagalah auratmu kecuali kepada isteri atau budak yang kamu miliki." Ia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan suatu kaum saling bercampur dalam satu tempat (yang mereka saling melihat aurat antara satu dengan yang lain)?" beliau menjawab: "Jika kamu mampu, maka jangan sampai ada seorang pun yang melihatnya." Ia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika salah seorang dari kami sedang sendiri?" beliau menjawab: "Allah lebih berhak untuk kamu malu darinya dari pada manusia."
Pada hadits diatas nampaknya kecenderungan makna aurat berarti kemaluan atau apa yang berada antara pusar dan lutut.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الطُّفَاوِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَكْرٍ السَّهْمِيُّ الْمَعْنَى وَاحِدٌ قَالَا حَدَّثَنَا سَوَّارٌ أَبُو حَمْزَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَوْ أَجِيرَهُ فَلَا يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَوْرَتِهِ فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ مِنْ سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ[8]
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Abdurrahman Ath Thofawi] dan [Abdullah bin bakr As Sahmi] dan maknanya satu, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami [Sawwar Abu Hamzah] dari ['Amru bin Syu'aib] dari [bapaknya] dari [kakeknya], dia berkata; bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Perintahlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika menolak sedang umur mereka masuk sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka. Jika di antara kalian menikahkan budak atau pelayannya, maka jangan sekali-kali melihat sesuatu dari auratnya. Karena sesungguhnya, apa-apa yang berada antara pusar sampai lututnya adalah aurat baginya." [9]
Dan dalam hadits terakhir secara lebih jelas tertera bahwa aurat ialah bagian tubuh yang terdapat antara lutul dan pusar. Karenanya rasul melarang melihat aurat meskipun milik budak. Meskipun pada akhirnya para Ulama mengklasifikasi batasan aurat bagi perempuan dan laki-laki yakni bila sesame laki-laki yang masuk pada ketegori aurat ialah apa diantara pusar dan lutut. Dalam buku al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu karya DR. Wahbah az-Zuhaili, persoalan aurat disimpulkan sebagai berikut:
Ulama sepakat menyatakan bahwa kemaluan dan dubur adalah aurat sedangkan pusar lelaki bukan aurat. Aurat lelaki adalah antara pusar dan lututnya, sedang aurat perempuan dalam shalat adalah selain wajah dan telapak tangannya. Aurat perempuan diluar shalat yaitu jika dengan yang mahram dan perempuan muslimah adalah antara pusar dan lututnya, ini menurut madzhab syafi’I dan Hanafi. Menurut madzhab Malik ialah seluruh badannya selain wajah, kepala, leher, kedua tangan serta kakinya. Sedangkan menurut pandangan Hanbali ialah seluruh badannya kecuali wajah, leher, kepala, kedua tangan dan kaki serta betis.
Aurat pria yang bukan mahramnya menurut sementara Ulama ialah seluruh badannya termasuk wajah dan telapak tangannya. Banyak juga Ulama yang sedikit memperlonggar sehingga berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangannya bukanlah termasuk aurat. Demikianlah gambaran umum tentang pendapat para Ulama masa lalu. Saat ini berbagai pandangn para pakar atau Ulama tentang teks dan prinsip-prinsip keagamaan. Pandangan mereka yang memiliki kelonggaran-kelonggaran tidak jarang ditolak secara tegas oleh penganut Ulama terdahulu.[10]
B.      Aurat perempuan dan batasannya

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ كَعْبٍ الْأَنْطَاكِيُّ وَمُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ قَتَادَ عَنْ خَالِدٍ قَالَ يَعْقُوبُ ابْنُ دُرَيْكٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا[11]

Telah menceritakan kepada kami [Ya'qub bin Ka'b Al Anthaki] dan [Muammal Ibnul Fadhl Al Harrani] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Al Walid] dari [Sa'id bin Basyir] dari [Qatadah] dari [Khalid] berkata; Ya'qub bin Duraik berkata dari ['Aisyah radliallahu 'anha], bahwa Asma binti Abu Bakr masuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan mengenakan kain yang tipis, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun berpaling darinya. Beliau bersabda: "Wahai Asma`, sesungguhnya seorang wanita jika telah baligh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini -beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya-." Abu Dawud berkata, " Ini hadits mursal. Khalid bin Duraik belum pernah bertemu dengan 'Aisyah radliallahu 'anha."
Hadits di atas memiliki rentantan perawi yang menjadi bahasan panjang, serta penerimaan dan penolakan para Ulama’. Menurut Ulama yang menyatakan bahwa seluruh badan wanita adalah aurat, tanpa kecuali hadits di atas tidak dapat dijadikan argumen, karena Abu daud sendiri yang meriwayatkannya menilai hadits ini bersifat mursal. Dengan alasan bahwa Khalid Ibn Duraik tidak semasa dengan ‘Aisyah sehingga pernah bertemu dengan beliau. Hadits mursal dinilai oleh banyak ‘Ulama tidak dapat dinilai sebagai hujjah. Selain Khalid ibn Duraik nama-nama lain yang terdapat dalam rentetan perawi-perawinya juga bermasalah dalam pandangan sekian banyak ‘Ulama, misalnya Sa’id Ibn Basyir dinilai Dhaif.[12]
Alasan lain ialah bahwa bagaimana mungkin Asma’ yang merupakan putri Abu Bakr yang sekaligus saudara ‘Aisyah berani masuk menemui Rasulullah dengan berpakaian tipis, apalagi ‘Asma adalah perempuan yang baik keberagamaan dan ketakwaannya. Menurut Muhammad Isma’il al Muqaddam yang menilai hadits itu lemah.[13]
Tentu saja hadits diatas tidak dapat diterima oleh ‘Ulama yang mendukung pendapat bahwa wajah dan tangan perempuan bukan aurat. Secara panjang lebar Muhammad Nasiruddin Albani berupaya membuktikan bahwa walaupun hadits tersebut bersifat mursal namun ada sekian banyak riwayat yang senada dengannya, sehingga hadits diatas dapat dinilai shahih.[14] Meskipun penulis belum menemukannya dalam kutubut tis’ah maupun maktabah syamilah.
Dan menurut imam Nawawi yang juga dinukil oleh Albani bahwa ketika terdapat satu hadits diriwayatkan dari sumber yang berbeda-beda yang kesemuannya dhaif, tidaklah secara otomatis hadits itu gugur kedhaifannya. Hadits tersebut bisa meningkat menjadi hasan apabila ingatan perawinya lemah tapi dia seorang yang terpercaya atau apabila hadits tersebut mursal tetapi ada riwayat lain yang mendukungnya. Dalam konteks hadits di atas Albani menilainya shahih karena adanya jalur-jalur riwayat lain yang mendukungnya.

Sementara Ulama menguatkan hadits di atas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir at-Thabari meriwayatkan hadits melalui Qatadah yang intinya membolehkan menampakkan wajah dan tangan sampai dengan setengahnya. Riwayat tersebut menyatakan :
أن النبي (ص) قال : لا يحل لإمرأة تؤ من بالله واليوم الأخر إذا عركت ان تظهر الا وجهها ويديها إلا ههنا
(و قبض نصف الذراع)
Nabi SAW bersabda: Tidak halal bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan hari kemudian dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajah dan tangannya sampai disini (lalu beliau memegang setengah tangan).
Dalam riwayat yang lain kata la Yahill yang berarti tidak halal, di ganti dengan kata la yashluh yang berarti tidak wajar. Ada riwayat serupa melalui Ibn Juraij yaitu:
عن عا ئشة رضى الله عنها قالت: خرجت لإبن أخى عبدالله إبن الطفيل مزَيَّنَة فكرهه النبى (ص) فقلتُ إنه
 إبن أخى يا رسو ل الله فقال : إذا عركت المرأة لم يحلَّ لها ان تظهر الا وجهها  أو ما  دون هذا (و قبض
 على ذراع نفسه)
Aisyah R.A berkata: aku pergi berkunjung ke putra saudaraku (dari ibuku) Abdullah Ibn at-Thufail dalam keadaan berhias ketika itu Nabi SAW tidak senang, maka aku berkata wahai Rasulullah dia adalah anak saudaraku, maka Nabi SAW bersabda: apabila perempuan telah haid, tidaklah halal baginya untuk menampakkan kecuali wajahnya dan apa yang selain ini (lalu beliau memegang tangan beliau)[15]
Mengenai batasan aurat dengan perintah menutupnya dalam al-Qur’an, berikut dalilnya. Yaitu dalam surat an-Nur ayat 31:
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ (
Sehubungan dengan perintah Allah yakni janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya, diriwatkan dari Ibn Abbas bahwa yang tampak ialah wajah, kedua telapak tangan dan cincin. Penafsiran senada juga diriwayatkan dari Ibn Umar, Atha’ dan tabi’in lainnya.[16] Boleh jadi Ibn Abbas dan para pengikutnya itu hendak menafsirkan apa yang tampak padanya dengan wajah dan kedua telapak tangan. Dan inilah pendapat  yang dikenal oleh mayoritas Ulama’ yang berdasarkan hadits diatas yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya. Pada kalimat selanjutnya dalam ayat diatas dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya yakni sekitar leher dan dada agar mereka berbeda dari wanita jahiliyah yang suka membukakan dada, leher dan kepangan rambutnya. Allah menyuruh kaum mukmin perempuan menutup aurat dirinya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala surat al-Ahzab ayat 59: “Hai Nabi, kataknlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan kepada perempuan-perempuan yang beriman hendaklah mereka menutupkan jilbab ketubuhnya.
Ø  Suara Perempuan
{يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا } ( الأحزاب : 32)
“Wahai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain jika kamu bertaqwa, maka janganlah kamu berlemahlembut dalam bicara sehingga berkeinginanlah nafsu orang yang ada pengakit dalam hatinya”

Suara perempuan bukanlah aurat. Itu merupakan pendapat Ulama yang poluler. Karena istri Rasul bercakap-cakap dengan para sahabat Rasulullah SAW. Dan para sahabat juga mendengar serta belajar hukum-hukum agama dari mereka. [17] Terutama yang berkaitan tentang perempuan dan rumah tangga. Dan perempuan berhak berbicara pada semua bidang. Ia dapat berkhutbah di muka khalayak sebagaimana Sayyidah Fathimah az-Zahra dan Sayyidah Zainab berpidato dimuka umum.
Perempuan dapat menyampaikan kasidah dan syair dan berhak untuk bergabung di forum-forum guna berdikusi dengan kaum pria dalam masalah-masalah pemikiran, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah ketika para permpuan berdiskusi bersama Rasulullah SAW. Dengan demikian suara perempuan bukan aurat tapi ada suatu kehati-hatian dalam masalah ini yaitu apa yang ditunjukkan oleh ayat diatas ketika wanita menggerakkan secara -tidak alami- suaranya, dan ia berniat menggoda yang menunjukkan penyimpangan, senandung dan nyanyian yang pada sebagian keadaan dianggap sebagai ajakan kepada pria untuk mendatanginya atau memberanikan pria untuk merayu dirinya.
Adapun berbicara secara normal tidak ada masalah. Dan tidak ada larangan bagi perempuan untuk menjadi qariah atau melagukan al-Qur’an atau semisal belajar al-Qur’an pada pria . pada prinsipnya tidak ada larangan (keharaman), kecuali jika masalah ini sampai pada batas apa yang disebut oleh al-Qur’an dengan kata al-khudu’ dalam suara.[18]
Pendapat mengenai suara perempuan adalah aurat memang banyak diulas dalam kitab-kitab hadist seperti syarh muwaththa’ “almuntaqa” dan syarh sunan abu daud, namun penulis belum menemukan hadits tentang suara itu aurat dalam kitab-kitab hadits. Sehingga penulis berpendapat bahwa memang suara wanita bukanlah aurat.

C.      Ancaman bagi yang memperlihatkan aurat
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا[19]
Telah menceritakan kepadaku [Zuhair bin Harb]; Telah menceritakan kepada kami [Jarir] dari [Suhail] dari [Bapaknya] dari [Abu Hurairah] dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat. (1) Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang. (2) Wanita-wanita berpakaian, tetapi sama juga dengan bertelanjang (karena pakaiannya terlalu minim, terlalu tipis atau tembus pandang, terlalu ketat, atau pakaian yang merangsang pria karena sebagian auratnya terbuka), berjalan dengan berlenggok-lenggok, mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini."
كاسيات  disini sebagaimana dalam Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi dijelaskan setidaknya ada dua makna yaitu perempuan yang berpakaian nikmat Allah namun telanjang dalam arti tidak mesyukuri nikmat tersebut. Makna yang kedua ialah makna kaliamat secara dhahirnya yakni perempuan yang berpakaian namun seperti telanjang karena tipis ataupun ketatnya pakaian yang dikenakan. Mereka dikatakan berpakaian karena memang mengenakan pakaian.
Akan tetapi dikatakan juga telanjang karena pakaiannya tidak berfungsi menutupi aurat, sangat tipis atau ketat sehingga masih memperlihatkan tubuhnya seperti kebanyakan perempuan zaman sekarang. Rasul menggambarkan kepala perempuan itu seperti punuk unta, karena mereka memasang sanggul di atas kepalanya.[20]
Ini merupakan berita ghaib yang pernah diterima Nabi Muhammad SAW. Allah telah memperlihatkan kepada Rasul SAW, apa yang akan terjadi pada zaman sekarang. Abdul Aziz Abdullah Bin Baaz mengomentari hadits ini seraya berkata: “ini merupakan peringatan keras bagi kaum perempuan agar tidak berbuat tabarruj, Sufur, mengenakan pakaiaan tipis dan mini, berpaling dari kebenaran dan kesucian, menyeret manusia ke jurang kebatilan”. Ancaman bagi mereka yang mengerjakan hal itu akan diharamkan surga baginya.










PENUTUP
A.     Kesimpulan
·         Aurat secara bahasa arab berarti al-‘aib as-sau’ah yang berarti cacat atau keji/jelek. Aurat dalam bahasa Urdu berarti "wanita", bagaimanapun dalam bahasa Urdu dan beberapa yang berbahasa Hindi di India mengartikannya sebagai wanita, tetapi sebenarnya kalimat aurat dalam bahasa Hindi adalah naari. Bahasa Hindi telah mengambil banyak kalimat dari bahasa Persia/Arab dan Sanskrit.
·         Secara Istilah aurat ialah bagian tubuh yang dilarang tampak. Aurat sendiri diartikan dengan berbagai definisi, namun pada umumya definisi aurat menurut para Ulama’ ialah segala sesuatu yang dirasa malu jika ia membukanya.
·         Ulama berbeda pendapat dalam batasan mengenai batasan aurat. Ada ulama yang berpendapat bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh dan ada yang berpendapat seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan. Sebagai pendapat al-Banni. Namun hadits mengenai itu dianggap mursal.
·         Begitu banyak ulasan mengenai apakah suara perempuan aurat atau tidak. Namun yang lebih popular dan pendapat jumhur suara perempuan bukanlah aurat. Mengenai hadits tentang bahwa suara perempuan itu aurat penulis belum menemukan hadistnya secara pasti dalam kitab-kitab hadits.
·         Ancaman bagi perempuan yang memperlihatkan auratnya adalah diharamkan surga baginya. Dan ancaman ini tidak hanya berlaku bagi perempuan. Karena dalam islam aurat merupakan hal yang dijaga dari memperlihatkannya.

B.      Saran dan Kritik
Demikianlah makalah mengenai hadits aurat perempuan yang dapat kami paparkan. Kami mengakui terdapat kekurangan dari makalah kami karenanya saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sekalian kami harapkan demi penyempurnaan isi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alkaf, Muhammad Abdul Qadir (penerjemah). Dunia Wanita dalam Islam. Jakarta: PT. Lentera Basritama. 2000
Fachruddin, Amir Hamzah. Ensiklopedi Wanita Muslimah. Jakarta: Darul Falah, 1418 H/1998M
Qardhawi, Yusuf. Halal haram dalam Islam. Surakarta: Era Intermedia. 2000
M Shihab, Quraish. Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati. 2004.
Kutubut Tis’ah
Maktabah Syamilah


[1] Sahahih Muslim: Hadits ke-512
[2] Lidwa.com diunduh pada tanggal 13 Maret 2011, pukul 12;53
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Aurat diunduh tanggal 12 maret 2011, pukul 11;41
[4] Terjemahan Al-Khathaya fi Nazhari‘l-Islam, penerjemah: Bahrun abu Bakar, Bandung: Gema Risalah Press, 1993, hal: 103
[5] Tuhafatul Ahwadzy bisyarhi Jami’ut Tirmidzi, keterangan Hadits 1093
[6] http://rfirmans.wordpress.com, di unduh pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 14.30 WIB
[7] Abu Daud, Hadits ke-3501
[8] Maktabah Syamilah, Musnad Ahmad, Hadits ke-6467
[9] Lidwa.com diunduh pada tanggal 13 Maret 2011, pukul 12;53
[10] M Quraish Shihab, Jilbab, pakaian wanita muslimah, Jakarta: Lentera Hati, 2004, hal: 190-111
[11] Maktabah Syamilah, Abu Daud, Hadits ke-3580
[12] Kutub at-Tis’ah, sunan Abu Daud, sanad Hadits ke-3580
[13] M Quraish Shihab, Jilbab, pakaian wanita muslimah, Jakarta: Lentera Hati, 2004, hal: 89-92
[14] Ibid …
[15] Yakni kurang lebih setengah tangan. Yang dimaksud Dzira’ atau tangan disini ialah dari mulai siku kebawah.
[17] Amir hamzah fachruddin, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Jakarta: Darul Falah, 1418 H/1998M, Hal. 154
[18] Muhammad Abdul Qadir Alkaf (penerjemah), Dunia Wanita dalam Islam, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000, hal. 134-135
[19] Kutubut Tis’ah, Shahih Muslim, Hadits ke-3971
[20] DR Yusuf qardhawi, Halal haram dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2000, hal: 130-131

KOMPATIBILITAS SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA DENGAN TEKS AL-QUR’AN

Oleh : Lutfiyatun Nakiyah PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Sistem politik pemerintahan berkembang demikian pesatnya dari masa...