Oleh:
Lutfiyatun
Nakiyah
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Tafsir merupakan kajian Islam tertua dan utama dalam upaya memahami teks
suci Al-Qur’an. Sebagai sebuah Kitab pedoman, Al-Qur’an melahirkan banyak wilayah
kajian lainnya, baik dari segi ibadah, muamalah, hukum, politik, pendidikan,
sosial dan kemasyarakatan. Masyarakat kembali pada Al-Qur’an dan penafsiran
Nabi terhadapnya untuk menjawab persoalan dan problematika yang terjadi. 15
abad yang lalu, Rasulullah saw sebagai mubayyin (pemberi penjelasan)
telah menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya.
Seiring dengan waktu, para sahabat juga mulai menjelaskan dan merevitalisasi
pemaknaan atas teks dan konteks masa. Karenanya tafsir berkembang sedemikian
rupa. Berbagai metode penafsiran dan corak bermunculan. Namun apakah tiap
intepretasi yang dibangun para mufassir merupakan makna sesungguhnya dari
Al-Qur’an? Sejauh mana keabsahan penafsiran/tafsir dengan maksud sesungguhnya
yang terkandung didalam Al-Qur’an.
Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al-Qur’an dan meyuguhkan
pesan-pesannya sesuai dengan kebutuhan dan harapan itu. Memang para pakar
al-Qur’an telah berhasil melahirkan sekian banyak metode dan cara menghidangkan
pesan-pesan al-Qur’an. Salah satu diantaranya adalah dengan adanya metode maudhu’i
atau metode tematik [1] sebagai tuntutan bahwa al-Qur’an merupakan sumber jawaban atas segala
permasalahan di waktu dan tempat dimana pun (Shohih likulli zaman wal makan).
Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting dalam sejarah perkembangan
Islam, tak luput dari sentuhan tafsir. Sehingga lahirlah berbagai karya tafsir
dalam kurun waktu yang berbeda dengan corak, metode, dan subtansinya juga
berbeda. Seiring dengan latarbelakang tokoh atau penciptanya serta diwarnai
dengan alasan dibuatnya karya tersebut yang beragam pula maka perlu ditarik
sebuah garis panjang yang menghubungkan antara satu karya tafsir dari awal
hingga karya tafsir kontemporer.
Salah satu karya tafsir yang fenomenal di Indonesia adalah tafsir Al-Misbah
hasil karya dari Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab
Berbagai problematika kontemporer mengharuskan umat Islam untuk dapat
membumikan bahasa langit ini. Nama-nama mufassir terus ermunculan pada tiap masa.
Di era saat ini, salah satu mufassir Indonesia yang ikut andil dalam upaya
merelevansikan ruh teks suci ialah M. Quraish Shihab. Untuk lebih jelasnya
pemakalah akan mengurai sekilas tentang Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish
Shihab.
B.
Rumusan Masalah
Dari
pembahasan makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah, di antaranya:
1.
Siapakah M. Quraish Shihab?
2.
Bagaimanakah metodologi yang
digunakan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan Tafsir al-Mishbah?
PEMBAHASAN
A.
Sekilas Tentang M. Quraish Shihab
1.
Latar Belakang
Keluarga M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish
Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944.
Ia merupakan anak kelima dari dua belas bersaudara, keturunan arab terpelajar. Pakar tafsir ini meraih MA untuk spesialisasi bidang tafsir al-Qur’an di
Universitas al-Azhar Cairo Mesir pada tahun 1969. Pada tahun 1982 meraih gelar doktor di bidang
ilmu-ilmu al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan
Tingkat Pertama di Universitas yang sama.[2] Ia adalah putra
dari Abdurrahman Shihab (1905-1986 M), seorang guru besar dalam bidang tafsir
yang pernah menjadi Rektor IAIN Alauddin
Makasar. Seperti diketahui, IAIN Alauddin Makasar termasuk perguruan
tinggi Islam yang mendorong tumbuhnya Islam moderat di Indonesia. Abdurrahman
Shihab juga salah seorang penggagas berdirinya UMI (Universitas Muslim
Indonesia) yaitu universitas Islam swasta terkemuka di Makasar. [3]
Pengaruh ayahnya Abdurrahman Shihab begitu kuat. M. Quraish Shihab sendiri
mengaku bahwa dorongan untuk memperdalam studi Al-Qur’an, terutama tafsir
adalah datang dari ayahnya, yang seringkali mengajak dirinya bersama
saudara-saudaranya yang lain duduk bercengkrama bersama dan sesekali memberikan
petuah-petuah keagamaan. Banyak dari petuah itu yang kemudian ia ketahui
sebagai ayat Al-Qur’an atau petuah Nabi, sahabat atau pakar-pakar Al-Qur’an. Dari sinilah
mulai bersemi benih cinta dalam diri M. Quraish Shihab terhadap studi
Al-Qur’an.[4]
Prof. KH. Abdurrahman Sihab mempunyai cara tersendiri untuk mengenalkan
putra-putrinya tentang islam, yaitu beliau sering sekali mengajak anak-anaknya
duduk bersama. Pada saat inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya.
Banyak petuah yang kemudian oleh Quraish Shihab ditelaah sehingga beliau
mengetahui petuah itu berasal dari al-Qur’an, Nabi, Sahabat atau pakar
al-Qur’an yang sampai saat ini menjadi sesuatu yang membimbingnya. Petuah-petuah
tersebut menumbuhkan benih kecintaan terhadap tafsir di jiwanya. Maka ketika
belajar di Universitas al-Azhar Mesir, dia bersedia untuk mengulang setahun
guna mendapatkan kesempatan melanjutkan studinya di jurusan tafsir, walaupun
kesempatan emas dari berbagai jurusan di fakultas lain terbuka untuknya.[5]
Ayahnya
senantiasa menjadi motivator baginya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih
lanjut. Mengenang ayahnya M. Quraish Shihab menuturkan: “Beliau adalah pecinta
ilmu. Walau sibuk berwiraswasta, beliau selalu menyempatkan diri untuk
berdakwah dan mengajar. Bahkan belaiu mengajar di masjid. Sebagian hartanya
benar-benar dipergunakan untuk kepentingan ilmu. Beliau menyumbangkan buku-buku
bacaan dan membiayai lembaga-lembaga pendidikan Islam di wilayah Sulawesi”.[6]
Kesuksesan M.
Quraish Shihab dalam karier tidak terlepas dari dukungan dan motivasi keluarga.
Fatmawati istrinya, adalah wanita yang setia dan penuh cinta kasih dalam
mendampinginya memimpin bahtera rumahtangga. Kemudian anak-anak mereka Najela,
Najwa, Nasywa, Nahla dan Ahmad adalah pihak-pihak yang turut andil bagi
keberhasilannya.[7]
2.
Riwayat
Pendidikan M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab
menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Ujung Pandang. Sejak masa kanak-kanak M.
Quraish Shihab telah terbiasa mengikuti pengjian tafsir yang diasuh ayahnya.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang menjadi santri di
Pondok Pesantren Darul Hadits al-Fiqhiyyah.[8]
Pada Tahun 1958,
ketika usianya 14 tahun ia berangkat ke Kairo, Mesir. Ia diterima di kelas II
Tsanawiyah Al-Azhar. Sembilan tahun kemudian ketika ia berusia 23 tahun pada
tahun 1967, pendidikan strata satu diselesaikan di Universitas Al-Azhar,
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits. Dua tahun kemudian pada tahun 1969
gelar MA diraihnya di universitas yang sama,[9] dalam spesialis
bidang tafsir Al-Qur’an dengan tesis berjudul al-I’jaz al-Tasyri’I li
Al-Qur’an al-Karim.[10]
Kepulangannya ke Indonesia setelah membawa pulang gelar S2 ini, oleh
ayahnya Quraish Shihab ditarik sebagai Dosen IAIN Alauddin Makasar, kemudian
mendampingi ayahnya sebagai wakil rektor (1972-1980). Semasa mendampingi
ayahnya yang berusia lanjut, ia menjabat sebagai Koordinator Perguruan Tinggi
Agama Islam Swasta (Kopertis) wilayah VII Indonesia Timur.[11]
Pada tahun 1980
M. Quraish Shihab kembali lagi ke Universitas Al-Azhar untuk menempuh program
doctoral. Hanya dua tahun waktu yang dibutuhkannya untuk merampungkan jenjang
pendidikan strata tiga itu. Pada tahun 1982 dengan disertasi berjudul Nazhm
al-Durar li al-Baqa’iy, Tahqiq wa Dirasah. Dia meraih gelar doctornya
dengan nilai akademik terbilang istimewa. Yudisiumnya mendapat predikat summa
cum laude dengan penghargaan tingkat I. walhasil, ia tercatat sebagai orang
pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doctor dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas Al-Azhar.[12]
3.
Riwayat Karir M. Quraish Shihab
Sekembalinya ke
Indonesia setelah meraih Doktor dari al-Azhar sejak tahun 1984 M. Quraish
Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana dan
akhirnya jadi Rektor IAIN yang sekarang menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(1992-1998). Pada tahun 1970 M. Quraish Shihab juga sempat dipercaya untuk
memegang jabatan sebagai pembantu rektor bidang akademisi dan kemahasiswaan
pada IAIN Alauddin Makasar (1974-1980).
Selain itu di
luar kampus dia juga di percaya untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain
ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat tahun (1985-1998), anggota Lajnah
Pentashih Al-Qur’an Depatemen Agama (1989-sekarang), Anggota Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional (1988-1996). Anggota MPR RI (1992-1987, 1987-2002), anggota
Badan Akreditasi Nasional (1994-1998), Direktur Pengkaderan Ulama MUI (1994-1997),
anggota Dewan Riset Nasional (1994-1998), anggota Dewan Syari’ah Bank Muamalat
Indonesia (1992-1999) dan Direktur Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta. Guru Besar Ilmu Tafsir di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta (1993). Beliau juga pernah menjabat sebagai
mentri agama RI masa pemerintahan Soeharto. Pada masa pemerintahan BJ. Habibi
ia mendapat jabatan baru sebagai duta besar Indonesia untuk pemerintah Mesir,
Jibuti dan Somalia. Pernah juga ia meraih bintang maha putra.[13]
Keilmuan yang dimiliki Qurais Shihab mengantarnya terlibat dalam beberapa
organisasi profesional antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah;
Pengurus Konsorsum Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan
Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Mulsim Indoneisa (ICMI). Di
sela-sela kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di
dalam maupun luar negeri.[14]
Meski disibukkan
dengan berbagai aktifitas akademik dan non-akademik, M. Quraish Shihab masih
sempat menulis. Bahkan ia termasuk penulis yang produktif, baik menulis di
media massa maupun menulis buku. Di harian Pelita ia mengasuh rubrik “Tafsir al-Amanah”. Ia juga menjadi anggota dewan
redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama.[15]
4.
Karya-karya M. Quraish Shihab
Karya-karya tulis ilmiah M. Quraish Shihab sangat banyak. Pemikiran
dan penafsirannya mewarnai tulisan dan buku yang diterbitkan. Mufassir yang
diangkat menjadi Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga aktif
dalam berbagai forum keilmuan Islam. Beliau mengisi berbagai forum keislaman
terutama dalam Tafsir dan bidang literatur pemikiran Islam. Karya-karyanya
tersebar, tidak
hanya di
Indonesia tetapi juga di negeri tetangga, seperti Malaysia dan Brunai
Darussalam. Diantara karya-karya itu adalah sebagai berikut:
- Karya Ilmiah M. Quraish Shihab dibidang ilmu Tafsir antara lain :
1.
Tafsir
al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung pandang, IAIN Alauddin, 1984)
2.
Membumikan
al-Qur'an; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan,
1994);
3.
Membumikan
al-Qur'ân Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati,
Februari 2011);
4.
Studi
Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996);
5.
Wawasan
al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996);
6.
Tafsir
al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997);
7.
Hidangan
Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999);
8.
Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (15 Volume, Jakarta: Lentera Hati,
2003);
9.
Al Lubab;
Tafîr Al-Lubâb; Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur'ân (Boxset
terdiri dari 4 buku) (Jakarta: Lentera Hati, Juli 2012)
10. Al-Lubâb; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fâtihah
dan Juz 'Amma (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2008);
11. Al-Qur'ân dan Maknanya; Terjemahan Makna disusun oleh
M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2010);
b.
Karya Tulis yang
telah diterbitkan diantaranya:
2.
Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Karya ini merupakan kumpulan makalah
dan artikel selama rentang waktu tahun 1976-1992. Isinya mengenai berbagai
persoalan kehidupan.[17]
3.
Untaian Permata buat Anakku:
Pesan Al-Qur’an untuk Mempelai (Bandung: al-Bayan, 1995). Latar
belakang terbitnya buku ini adalah permintaan putrinya yang akan melangsungkan
pernikahan. Anak putrinya mengharapkan agar ayahnya menggoreskan pena untuk
mereka, nasehat dan petuah yang berkaitan dengan peristiwa bahagia yang akan
mereka hadapi.[18]
4.
Lentera Hati: Kisah dan Hikmah
Kehidupan
(Bandung: 1994). Isinya merupakan kumpulan rubric “Pelita Hati”, yang
diasuhnya pada harian Pelita, yang terbit di Ibukota.[19]
5.
Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i
atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 1996). Buku tersebut
berisi wawasan Al-Qur’an tentang pokok-pokok keimanan, kebutuhan pokok manusia
dan masyarakat, aspek-aspek kegiatan manusia, soal-soal penting umat.[20]
6.
Sahur Bersama M. Quraish Shihab
di RCTI
(Bandung: Mizan, 1997). Buku ini memuat dua puluh topic yang semuanya berkaitan
dengan puasa dan dikemas dengan metode dialog.[21]
7.
Mu’jizat Al-Qur’an ditinjau dari
aspek kebahasan, Isyarat Ilmiah dan pemberitaan ghaib (1997)
8.
Fatwa-fatwa M.
Quraish Shihab: Seputar Ibadah dan Muamalah (Bandung: Mizan, 1999). Berisi
kumpulan jawaban atas pertanyaan seputar shalat, puasa, zakat dan haji yang
diajukan oleh pembaca harian republika melalui rubric dialog jum’at.[22]
9.
Tafsir
al-Mishbah: Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2000).
10.
Perempuan (2005). Dalam
buku ini dijelaskan berbagai persoalan yang menjadi bahan pembicaraan dan
diskusi tentang perempuan.[23]
11.
Menyingkap
Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati,
1998);
12.
Untaian
Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998);
13.
Pengantin
al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999);
14.
Haji
Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999);
15.
Panduan
Puasa bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit Republika, Nopember 2000);
16. Panduan Shalat bersama Quraish Shihab (Jakarta:
Penerbit Republika, September 2003);
17. Anda Bertanya,Quraish Shihab Menjawab Berbagai Masalah
Keislaman (Mizan Pustaka)
18. Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987);
19. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama,
1987);
20. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI
& Unesco, 1990);
21. Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departemen Agama);
22. Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur'an
(Bandung; Mizan, 1999)
23. Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000);
24. Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT.
(Jakarta: Lentera Hati, 2003)
25. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama
dan Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
26. Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan di balik Setiap
Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
27. Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
28. Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal
Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
29. Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir
al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
30. Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
31. Wawasan al-Qur'an Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta:
Lentera Hati, 2006);
32. Asmâ' al-Husnâ; Dalam Perspektif al-Qur'an (4 buku
dalam 1 boks) (Jakarta: Lentera Hati);
33. Sunnah - Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?;
Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2007);
34. M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang
Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008);
35. M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang
Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2010);
36. Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, dalam sorotan
Al-Quran dan Hadits Shahih (Jakarta: Lentera Hati, Juni 2011);
B.
TAFSIR
AL-MISHBAH
Karya yang paling monumental M. Quraish
Shihab ialah Tafsir al-Mishbah. Tafsir yang terdiri dari 15
volume ini mulai ditulis pada hari Jum’at tanggal 4 Rabi’ul Awal 1420 H/18 Juni
1999 M di Kairo dan selesai pada hari Jum’at tanggal 8 Rajab 1423/5 September
2003 M di Jakarta.[24] Tafsir al-Mishbah adalah sebuah tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz lengkap. Penulis
memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya
khazanah pemahaman dan penghayatan umat Islam terhadap rahasia makna ayat Allah
swt.[25] Tafsir yang berbahasa Indonesia ini merupakan Tafsir yang
banyak dikaji para intelektual Islam nusantara. Beberapa hal yang berkaitan dengan
Tafsir al-Mishbah, antara lain:
1.
Motivasi
Penulisan Tafsir al-Mishbah
Motivasi
penulisan tafsir al-Mishbah diantaranya adalah keprihatinan M. Quraish Shihab atas
sikap yang berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia tentang
ketertarikannya terhadap Al-Qur’an, tetapi sebagian besar mereka hanya berhenti
pada pesona bacaan Al-Qur’an ketika dilantunkan, seakan-akan kitab suci ini
diturunkan hanya untuk dibaca. Padahal tidak hanya dibaca, hendaknya disertai
dengan kesadaran bertadzakkur dan bertadabbur. Selain itu tidak
sedikit umat islam di Indonesia memiliki ketertarikan luar biasa terhadap
makna-makna Al-Qur’an, namun dihadapkan pada kendala waktu yang tidak cukup
untuk terlebih dahulu membekali diri dengan ilmu pendukung guna memahami
Al-Qur’an secara langsung dan langkanya buku-buku rujukan yang memadai dari
segi cakupan informasi, kejelasan dan bahasa yang tidak bertele-tele mengenai
Al-Qur’an.[26]
Dari kenyataan
tersebut melahirkan motivasi M.Quraish Shihab untuk menulis sebuah tafsir
Al-Qur’an untuk membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang
benar mengenai pesan-pesan Al-Qur’an. Maka ditulislah Tafsir al-Mishbah yang
salah satu kekuatannya terletak pada kemampuannya menjelaskan tema pokok
surah-surah Al-Qur’an dan tujuan utama dari pesan-pesan yang terdapat dalam
ayat-ayatnya, dengan harapan bisa menjadi penerang bagi mereka yang mencari
petunjuk dan pedoman hidup.[27]
2.
Motivasi
Penamaan Tafsir al-Mishbah
Keputusan
pengarang memilih kata al-Mishbah untuk menamai kitab tafsirnya bisa ditelusuri
dalam kata pengantar karya tersebut. Di sana ditemukan penjelasan mengenai arti
kata al-Mishbah, yaitu lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi
serupa, yang intinya adalah memberi penerangan bagi mereka yang berada dalam
kegelapan. Dengan memilih nama ini, bisa diduga, dengan tafsirnya tersebut
Muhammad Quraish Shihab berharap dapat memberikan penerangan kepada siapa saja
yang sedang mencari petunjuk dan pedoman hidup, terutama mereka yang mengalami
kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara langsung karena kendala bahasa.[28]
3.
Metode
Penafsiran
Setidaknya ada tiga metode penafsiran yang digunakan oleh M. Quraish
Shihab. Tiga metode penafsiran ini telah berkembang di kalangan penulis tafsir
al-Qur’an, yaitu metode tahlili, muqaran dan maudhu’i. metode pertama dilakukan
dengan cara menafsirkan berdasarkan urutan ayat yang ada pada al-Qur’an. Metode kedua
yang merupakan metode komparatif dilakukan dengan cara memaparkan berbagai
pendapat orang lain, baik yang klasik maupun pendapat kontemporer. Akhirnya
metode semi maudhu’i dilakukan dalam bentuk
memberikan penjelasan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang
berkisar disekeliling ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan
kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar. Mengenai alasan mengapa ia
menggabungkan ketiga metode penafsiran secara sekaligus, dijelaskan di dalam
muqaddimah tafsirnya.[29]
4.
Sumber
Penafsiran
Sumber penafsiran
yang digunakan pada tafsir al-Mishbah ada dua: pertama, bersumber dari
ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya ia juga
mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari fatwa dan pendapat para
ulama, baik ulama terdahulu maupun ulama kontemporer.[30] Selain mengutip
pendapat para ulama, ia juga mempergunakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi
SAW sebagai bagian dari tafsir yang dilakukannya. Oleh karena itu tafsir
al-Mishbah ini dapat dikategorikan sebagai tafsir bi al-Ra’yi.[31]
5.
Corak Tafsir
Sesuai dengan
maksud penulisannya sebagai penerang bagi para pencari petunjuk dan pedoman
hidup, tafsir ini memiliki corak adabi ijtima’i, yaitu tafsir yang memeiliki kecenderungan menginterpretasi persoalan
seputar sosial kemasyarakatan atau tafsir yang hadir dengan senantiasa memberikan
jawaban terhadap segala sesuatu yang menjadi persoalan umat, sehingga dapat
dikatakan bahwa Al-Qur’an memang sangat tepat untuk dijadikan pedoman dan
petunjuk. Al-Qur’an dalam pandangan M.Quraish Shihab memiliki tiga
aspek: 1) aspek aqidah, 2) aspek syariah dan 3) aspek akhlak. Dalam upaya
pencapaian ketiga aspek ini, Al-qur’an memiliki 3 cara, yaitu:[32]
a.
Perintah untuk memperhatikan/ber-tadabbur terhadap alam raya;
b.
Perintah untuk mengamati pertumbuhan dan perkembangan manusian;
c.
Kisah-kisah (sebuah pelajaran, uswah, ibrah da sekaligus peringatan
lembut);
d.
Janji serta ancaman baik duniawi maupun ukhrawi.
Corak tersebut sangat terlihat jelas, sebagai contoh ketika Quraish Shihab
menafsirkan kata هوناَ dalam surat al-Furqan ayat 63:
ß$t7Ïãur Ç`»uH÷q§9$# úïÏ%©!$# tbqà±ôJt n?tã ÇÚöF{$# $ZRöqyd #sÎ)ur ãNßgt6sÛ%s{ cqè=Îg»yfø9$# (#qä9$s% $VJ»n=y
“dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan.”
“Kata (هوناَ) human berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini
adalah masdar/indifinite nun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan
demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemaha lembutan. Kini, pada masa
kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam pengertian
kata (هوناَ) human, disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap
rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu
lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri hingga dengan cepat
dan melecehkan kiri dan kanannya. Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran
untuk berjalan perlahan atau larangan tergesa-gesa. Karena Nabi Muhammad saw,
dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit penuh semangat, bagaikan turun
dari dataran tinggi.
Orientasi kemasyarakatan dalam tafsir ini nampak jelas pada sorotannya atas
masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Penjelasan-penjelasan yang dihidangkan
hampir selalu relevan dengan persoalan-persoalan yang berkembang di tengah
kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, penjelasan-penjelasan tersebut dimaksudkan
sebagai upaya menangani atau sebagai jalan keluar dari masalah-masalah
tersebut.[33]
Diantara penafsiran tentang corak sosial-kemasyarakatan tercermin pada
penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat berikut:
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Laksanakanlah
shalat (dengan sempurna), dan tunaikan zakat, serta rukuklah bersama
orang-orang yang rukuk”
Pada ayat diatas, M. Quraish Shihab menyebutkan perinth utamanya ialah menunaikan
shalat dengan sempurna memenuhi rukun dan syaratnya serta berkesinambungan dan
menunaikan zakat dengan sempurna tanpa mengurangi dan menangguhkan serta
menyampaikan zakat tersebut dengan baik kepada yang berhak menerimanya. Dua
kewajiban pokok tersebut merupakan suatu tanda harmoni antara hubungan baik
dengan Allah dan hubungan baik terhadap manusia. Keduanya ditekankan, sementara
potongan ayat setelahnya, yang berbunyi rukuklah bersama orang-orang yang
rukuk; berarti tunduk dan taatlah kepada Allah swt sebagaimaa orang-orang
yang tunduk kepada Allah. [34]
6.
Sistematika
Penulisan
Sebelum mulai
menafsirkan surah, M. Quraish Shihab terlebih dahulu memberi pengantar. Isinya
antara lain, nama surah dan nama lain surah tersebut, jumlah ayat (terkadang
disertai penjelasan tentang perbedaan penghitungan dan sebabnya), tempat turun
surah (makiyyah dan madaniyyah) disertai pengecualian ayat-ayat yang tidak
termasuk kategori, alasan penamaan surah, nomor surah berdasarkan urutan mushaf
dan urutan turun, tema pokok, keterkaitan atau munasabah antara surah
sebelum dan sesudahnya dan sebab turunnya ayat.[35]
Setelah menyajikan pengantar, M.
Quraish Shihab mulai menafsirkan dengan menganalisis secara kronologis dan
memaparkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an sesuai
dengan urutan bacaan mushaf. Hal ini dilakukannya untuk membuktikan bahwa
ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur’an mempunyai keserasian yang sempurna
dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. M. Quraish Shihab
adalah salah satu mufassir yang sangat memberikan perhatian besar kepada munasabatul
ayat. Hal ini dapat dilihat dalam seluruh penafsirannya yang selalu
berusaha mengaitkan kata demi kata dalam surah, kaitan kandungan ayat dengan fashilat
yakni penutup ayat, kaitan hubungan ayat dengan ayat berikutnya, kaitan uraian
awal satu surah dengan penutupnya, kaitan penutup surah dengan uraian awal
surah sesudahnya dan juga kaitan tema surah dengan nama surah.[36]
Sistematika
yang digunakan dalam penulisan tafsirnya adalah sebagai berikut:
Ø Dimulai
dengan penjelasan surat secara umum
Ø Pengelompokkan
ayat sesuai tema-tema tertentu yang disesuaikan
dengan tema besar keterkaitan ayat-ayat tersebut, lalu diikuti uraian ayat, terjemah dan tafsir ayat
Ø Munasabah antara ayat/tema ayat-ayat sebelumnya dengan
ayat yang akan ditafsirkan.
Ø Menguraikan
kosakata yang dianggap perlu dalam penafsiran makna ayat
Ø Penyisipan
kata penjelas sebagai penjelasan makna atau sisipan tersebut merupakan bagian
dari kata atau kalimat yang digunakan Al-Qur’an
Ø Ayat
Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW yang dijadikan penguat atau bagian dari tafsirnya
hanya ditulis terjemahannya saja
Ø Menjelaskan ayat dengan penafsiran M. Quraish Shihab dan
juga menyuguhkan penafsiran mufassir-mufassir lainnya, sebagian besar diungkapkan
untuk tujuan memperkuat atau mengkopromikan penafsiran-penafsiran tersebut
Ø Menutup penafsiran satu ayat dengan memaparkan munasabah
ayat yang sedang ditafsirkan dan ayat sesudahnya.[37]
Tafsir al-Mishbah terdiri dari 15
volume, dengan rincian:
v
Volume 1 : Al-Fatihah s/d
Al-Baqarah, Halaman : 624 + xxviii halaman
v
Volume 2 : Ali-‘Imran s/d
An-Nisa, Halaman : 659 + vi halaman
v
Volume 3 : Al-Ma’idah,
Halaman : 257 + v halaman
v
Volume 4 : Al-An’am,
Halaman : 367 + v halaman
v
Volume 5 : Al-A’raf s/d
At-Taubah, Halaman : 765 + vi halaman
v
Volume 6 : Yunus s/d
Ar-Ra’d, Halaman : 613 + vi halaman
v
Volume 7 : Ibrahim s/d
Al-Isra’, Halaman : 585 + vi halaman
v
Volume 8 : Al-Kahf s/d
Al-Anbiya’, Halaman : 524 + vi halaman
v
Volume 9 : Al-Hajj s/d
Al-Furqan, Halaman : 554 + vi halaman
v
Volume 10 : Asy-Syu’ara s/d
Al-‘Ankabut, Halaman : 547 + vi halaman
v
Volume 11 : Ar-Rum s/d
Yasin, Halaman : 582 + vi halaman
v
Volume 12 : Ash-Shaffat s/d
Az-Zukhruf, Halaman : 601 + vi halaman
v
Volume 13 : Ad-Dukhan s/d
Al-Waqi’ah, Halaman : 586 + vii halaman
v
Volume 14 : Al-Hadid s/d
Al-Mursalat, Halaman : 695 + vii halaman
v
Volume 15 : Juz ‘Amma,
Halaman : 646 + viii halaman
7.
Referensi Tafsir al-Mishbah
Banyak pandangan mufassir yang dikemukakan
oleh M. Quraih Shihab. Sebagaimana madzhab mufassir, sebagian besar merupakan
kalangan dari Sunni, meski demikian adapula pandangan yang didiskusikan dalam
penafsirannya dari Syi’i . Diantara referensi yang digunakan M. Quraish Shihab
dalam tafsirnya ialah[38]:
Tafsir Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i (karya tafsir yang masih berbentuk manuskrip dan
sekaligus bahan disertasi M. Quraish Shihab)
Tafsir Mutawalli al-Sya’rawi
Tafsir Fi Dzilalil
Qur’an karya Sayyid Qutb
Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur
Tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i
Jawahir fi Tafsir al-Qur’an Karim karya Thanthawi Jauhari
Al-Kasysyaf karya az-Zamakhsary
8.
Kelebihan dan Kekurangan Tafsir
al-Mishbah
Di antara kelebihan yang terdapat dalam Tafsir
al-Misbah adalah:
Penafsirannya yang
bersifat konstekstual didasarkan pada pendekatan sosiologis-antrpologis yang
memberikan kemudahan kepada pembacanya untuk memahami makna yang tersirat di
dalam al-Qur'an.[39]
Dalam menganalisis hal
kebahasan sangat bagus karena ditampilkan juga pendapat para ulama seputar
kebahasan itu.
menjelaskan munasabah
secara luas dan rinci.
Sedangkan diantara kekurangannya adalah:
Banyaknya menampilkan pendapat para ulama tetapi tidak menyimpulkan pendapat yang unggul sehingga untuk kalangan awam akan membingungkan.
9.
Contoh-Contoh Penafsiran
Ayat Aqidah (QS. Al-Baqarah: 29):
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا
فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ
سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah ( Allah), yang menciptakan segala yang ada di
bumi untuk kamu kemudian Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya
tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kata
اسْتَوَى berarti tegak, lurus,
tidak bengkok. Kemudian kata itu dipahamii secara majazi yang berarti menuju ke
sesuatu dengan cepat dan penuh tekad bagaikan yang berjalan tegak lurus tidak
menoleh ke kiri dan ke kanan. Makna Allah menuju ke langit adalah
kehendak-Nya untuk mewujudkan sesuatu seakan-akan kehendak tersebut seperti
seseorang yang yang menuju kepada sesuatu untuk mewujudkannya dalam bentuk
seanggun mungkin dan sebaik mungkin. Karena itu, potongan kalimat
setelahnya, (فَسَوَّاهُنَّ)
yakni lalu dijadikan-Nya dalam bentuk sebaik
mungkin tanpa aib atau kekurangan sedikitpun. Beliau lalu mengutip pendapat
Sayyid Qutb, dan menyimpulkannya bahwa tidak ada tempat untuk mempersoalkan
hakikat maknanya, karena kta itu adalah lambing yang menunjukkan ‘kekuasaan’. Demikian
juga halnyya dengan berkehendak menuju penciptaan sebagaimana tidak ada
tempat membahas apa yang dimaksud dengan ‘tujuh langit’ serta bentuk jaraknya.
Cukup kita memahami bahwa pesan ayat ini mengecam orang-orang kafir yang
mempersekutukan Allah padahal Dia pencipta Yang Menguasai alam raya.[40]
Ayat Fiqh (QS.Al-Baqarah: 185 )
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ
وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’n
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
serta pembeda (antara yang ha dan yang batil). Karena itu, barang siapa
diantara kamu hadir (di negri tempat tinggalnya) bulan itu maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblahh baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu pada hari-hari lain. Allah Maha menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak
menghendaki kesukaran bagi kamu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu,
supaya kamu bersyukur.”
Beberapa
hari yang ditentukan yakni dua puluh Sembilan atau tiga puluh hari saja selama
bulan Ramadhan. Bulan tersebut dipilih karena ia bulan yang mulia. Al-Qur’an
merupakan petunjuk bagi manusia terkait akidah dan juga penjelasan-penjelasan
petunjuk itu dalam rincian hukum-hukum syariat. Banyak nilai universalnya,
namun nilai-nilai itu dilengkapi dengan penjelasan mengenai petunjuk, keterangan
dan rinciannya. Penegasan Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan
menisyaratkan sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari Al-Qur’an selama
bulan Ramadhan. Quraish Shihab kemudian menerangkan tentang kawasan-kawasan
yang dapat melihat bulan sabit. Ia juga menerangkan jarak waktu antara
terlihatnya bulan di berbagai benua dengan Indonesia. Ia menjelaskan kajian
ilmiah tentang fenomena dan proses perhitungan awal bulan ramadhan dan juga
kajian selisihnya bulan Hijriah dan Masehi. Terkait keringanan qadha puasa
dihari lain, Quraish Shihab berpandangan bahwa tujuannya agar puasa 29 atau 30
hari tersebut dapat terpenuhi. Ia melanjutkan ayat diatas merupakan penjelasan
tentang hokum berpuasa Ramadhan, keistimewaan, manfaat, waktu dan bilangannya.
Kewajiban berpuasa sangat jelas, karena jika ada halangan yang menundanya wajib
baginya untuk menggantikan puasa ramadhan tersebut. Quraish Shihab menutup
penafsirannya dengan uraian hadis qudsi; Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan
member ganjarannya.[41]
Ayat Israiliyyat
(QS. Al-Kahfi : 65 )
فَوَجَدَا
عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا
وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“lalu mereka berdua bertemu dengan
seorang hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah kami anugrahkan kepadanya
rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya dari sisi Kami
ilmu.”
Siapakah
‘abd’ atau ‘hamba’ dalam ayat diatas? Quraish Shihab berpandangan banyak
ulama berpendapat bahwa hamba Allah yang dimaksud diatas ialah nabi yang
bernama al-Khidr. Tetapi riwayat tentang beliau sangat beragam dan
seringkali dibumbui dengan hal-hal yang bersifat irrasional. Apakah beliau
Nabi/bukan, dari Bani Isra’il atau bukn, masih hidup atau telah wafat, Quraish
Shihab hanya menyebutkan, rinciannya bisa dibaca diseian buku Tafsir. Kada al-Khidr
sendiri bermakna hijau. Nabi saw bersabda bahwa penamaan itu desebabkan karena
suatu ketika ia duduk di atas bulu yang berwarna putih, tiba-tiba bulunya
berubah menjadi hijau (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah). Quraish Shihab menambahkan
agaknya penamaan seta warna itu adalah sebagai symbol keberkahan yang menyertai
hamba Allah yang istimewa ini.[42] Dari ayat kisah
diatas, terlihat bahwa M. Quraish Shihab tidak banyak mengutip kisah-kisah
israiliyyat dalam penafsiran ayat dan kisah. Ia cenderung rasional dan mencoba
membawa nilai-nilai yang terkandung dalam suatu ayat dengan konteks zaman
sekarang. Penafsiran tentang ayat diatas misalnya, Quraish Shihab menjelaskan
lebih jauh tentang keilmuan dan ilmu ladunniy. Isyarat tentang ilmu ladunniy
menurutnya ada dalam ayat lain yakni QS. Al—Alaq: 4-5.
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Muhammad Quraish
Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944. Putra
dari Abdurrahma Shihab, seorang guru besar ahli tafsir. Ayahnya
adalah motivator sejak kecil dalam mendalami ilmu-ilmu Al-Qur’an. Sejak kecil
ia sudah memperdalami ilmu agama hingga sampai pendidikan tingkat perguruannya
di selesaikan dalam bidang Tafsir Al-qur’an di Kairo, Mesir. Ia termasuk ulama
yang produktif dalam menulis, berbagai karyanya telah diterbitkan dan dikenal terutama di wilayah Nusantara. Pendiri Pusat
Studi al-Qur’an (PSQ) ini masih aktif dalam berbagai kegiatan akademik dan juga
penafsiran.
2.
Tafsir al-Mishbah merupakan karya
yang paling monumental. Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini mulai ditulis
pada hari Jum’at tanggal 4 Rabi’ul Awal 1420 H/18 Juni 1999 M di Kairo dan
selesai pada hari Jum’at tanggal 8 Rajab 1423/5 September 2003 M di Jakarta. Pengarang Tafsir bercorak al-Adabi al-Ijtima’i ini menghabiskan waktunya
selama 4 tahun dalam menyusun karya monumental ini. Metode yang
digunakan adalah perpaduan antara tiga metode (tahlili, muqarran dan maudhu’i).
Tafsir al-Mishbah adalah tafsir yang memberikan perhatian besar kepada munasabatul
ayat. Tafsir Al-Mishbah termasuk tafsir bi al-Ra’yi dengan
corak adabi ijtima’i. Adapun sistematika yang digunakan dalam penafsirannya
ialah dengan mengumpulkan beberapa ayat yang memiliki satu kesatuan tema,
menafsirkan berdasarkan kronologi ayat dan mengaitkan keterpautan satu ayat
dengan lainnya.
[1]
Metode tafsir Maudhu’i (Tematik) yaitu metode yang ditempuh oleh seorang
mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang berbicara tentang
suatu masalah serta mengarah kepada suatu pengertian dan satu tujuan sekailpun
ayat-ayat itu cara turunnya berbeda. Kemudian ia menentukan urutan ayat-ayat
itu sesuai masa turunnya, sabab
nuzulnya, menguraikannya dengan sempurna, menjelaskan makna dan tujuannya,
mengkaji seluruh segi yang dapat diistinbathkan darinya, segi i’rabnya,
unsur balaghohnya, segi i’jaznya, dan lainnya sehingga satu tema dapat
dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat al-Qur’an. Lihat. Ali Hasan
Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta,PT Raja Grafindo Persada,
1994), Cet. II, Hal. 78
[2]
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Illahi, Hidup Bersama Al-Qur’an, (
Bandung, Mizan, 2007), h. ix
[3]
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab,
(Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008), Cet. I, h.31.
[4]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 2007), Cet. II, h. 19-20.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, h.14
[6]
Sri Tuti Rahmawati, Hidayah dalam Penafsiran M. Quraish Shihab, Skripsi,
Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, h.10-11. Tidak diterbitkan.
[7]
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h.
32.
[8]
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h.
32.
[9]
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008), h. 237.
[10]
Sri Tuti Rahmawati, Hidayah dalam Penafsiran M. Quraish Shihab, h. 12,
(t.d).
[11] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al Misbah, h.14
[12]
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 237.
[13]
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h.
35-36.
[14]
M. Bibit Suprapto,. Ensiklopedia Ulama
Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara.
Jakarta: Galeri Media Indonesia. 2010, h. 669
[15]
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 238.
[16]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2002), cet. VII, h. 166.
[17]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h.13.
[18]
M. Quraish Shihab, Untaian Permata Buat Anakku: Pesan Al-Qur’an Untuk
Mempelai, (Bandung: Mizan, 1998) cet. IV, h. 5.
[19]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan,
1997), h. 5.
[20]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. xi.
[21]
M. Quraish Shihab, Sahur Bersama M. Quraish Shihab, (Bandung: Mizan,
1997), h.5.
[22]
M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan,
1999), h. vii.
[23]
M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. xiii.
[24]
Sri Tuti Rahmawati, Hidayah dalam Penafsiran M. Quraish Shihab, h. 14,
(t.d).
[25]
Yusuf Muslim Handoyo, Skripsi: Konsep Adil menurut Quraish Shihab dalam
Tafsir al-Misbah, (Surakarta, 2011), h.19
[26]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
Vol. I, h. viii-x
[27]
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h.
28
[28]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
Vol. I, h. xi
[29]
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h.
30
[30]
Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2004), h. xii
[31]
Sri Tuti Rahmawati, Hidayah dalam Penafsiran M. Quraish Shihab, h. 19,
(t.d).
[32]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
vol. I, h. Viii-x
[33]
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h.
29
[34]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
vol. I, h.176
[35]
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 238
[36]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
vol. I, h. xxii-xxiii
[37]
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, h.31
[38]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
vol. I, h. xiii
[39]
Hasan Baharun, Kajian Tentang Tafsir al-Mishbah, diunduh pada hari Selasa
tanggal 21 April 2015 pukul 19:35
WIB http://hasanbaharun.blogspot.com/p/kajian-tafsir-al-misbah.html
[40]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
vol. I, h. 138-139
[41]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
vol. I, h. 403-407
[42]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
vol. VIII, h. 94